keinginannya untuk tidak masuk pesantren malah membuatnya terjebak begitu dalam dengan pesantren.
Namanya Mazaya Farha Kaina, biasa dipanggil Aza, anak dari seorang ustad. orang tuanya berniat mengirimnya ke pesantren milik sang kakek.
karena tidak tertarik masuk pesantren, ia memutuskan untuk kabur, tapi malah mempertemukannya dengan Gus Zidan dan membuatnya terjebak ke dalam pesantren karena sebuah pernikahan yang tidak terduga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon triani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
4. Harus menikah
Aza terperanjat ketika Abah Yai mengusulkan solusi yang membuat dadanya serasa sesak. Menikah? Dengan Gus Zidan? Orang yang bahkan tidak dikenalnya sama sekali? Matanya membelalak, dan napasnya terasa berat. Tak pernah ia bayangkan hidupnya bisa berbelok ke arah yang begitu jauh hanya dalam hitungan jam.
"Tidak, Abah! Tolong, jangan menikahkan kami!" Aza berseru, suaranya penuh kepanikan. Ia berbalik pada ayahnya, Ustaz Zaki, yang diam mendengarkan saran Abah Yai dengan raut serius. Aza berusaha keras menahan air mata yang hampir tumpah. "Ayah, tolong jangan setuju! Aku tidak bisa menikah dengan orang yang bahkan tidak aku kenal!"
Gus Zidan diam, wajahnya masih penuh dengan rasa tertekan dan kebingungan. Ia menatap Aza yang jelas-jelas merasa terjebak dalam situasi ini, sama seperti dirinya. Meski ia menghormati keputusan Abah Yai, ia juga bisa merasakan tekanan besar yang dirasakan Aza.
Ustaz Zaki menatap putrinya dengan mata yang penuh dilema. Di satu sisi, ia mengerti rasa takut dan ketidaksetujuan Aza, putrinya itu bahkan belum genap sembilan belas tahun, namun di sisi lain, nama baik keluarga dan pesantren Abah yai Jazuli dan juga pesantren abinya yang ia jaga selama ini terancam. Dengan nada berat, ia akhirnya berbicara.
"Aza, kamu harus mengerti... ini bukan soal perasaan pribadi semata. Ini tentang nama baik kita dan pesantren," kata Ustaz Zaki dengan suara yang lebih lembut dari sebelumnya, meski ada ketegasan yang tidak bisa diabaikan. "Wartawan sudah menyebarkan berita ini, dan kalau kita tidak segera bertindak, situasi ini akan semakin sulit dikendalikan."
"Tapi, Ayah... aku belum siap. Aku tidak mengenalnya," Aza memohon, suaranya hampir putus sembari menunjuk tajam kearah Gus Zidan. "Tolong, jangan biarkan ini terjadi begitu saja."
Abah Yai, yang sedari tadi mendengarkan dengan penuh perhatian, menatap Aza dengan bijak. "Nak," suaranya pelan namun penuh otoritas, "aku paham ini berat untukmu. Tapi dalam keadaan seperti ini, kita harus memikirkan dampak yang lebih besar. Jika kalian tidak segera menikah, fitnah akan menyebar, dan keluarga kalian, juga pesantren, akan tercemar."
Aza terisak pelan, merasa terdesak dari segala arah. Ia merasakan beban besar di pundaknya, seolah dunia tak memberikan ruang sedikit pun untuk ia bernapas. Apalagi saat ini ia masih punya seseorang yang ia cintai dan jelas jika menikah mungkin ia akan menikah dengan pria itu. Takdir seperti sedang mengarahkannya ke jalan yang ia sendiri tak siap jalani.
"Ayah... mohon," Aza berkata, mencoba memohon sekali lagi kepada ayahnya. "Ada cara lain, pasti ada, Aza akan menikah tapi dengan pilihan Aza sendiri."
Ustaz Zaki menundukkan kepalanya, menatap putrinya dengan kasih sayang yang dalam. Namun, ia juga tahu, dalam dunia yang mereka hidupi, menjaga kehormatan adalah segalanya.
Gus Zidan, yang dari tadi memilih diam, akhirnya bicara. "Abah Yai, Ustaz Zaki... aku siap menerima tanggung jawab ini jika memang itu yang terbaik. Tapi... kalau Aza tidak setuju, aku tidak ingin memaksa. Ini juga hidupnya." sebenarnya itu hanya alibi Gus Zidan untuk menolak pernikahan ini, dari cara Aza menanggapi keputusan Abah yai, jelas Aza tidak akan setuju, begitu pikirnya.
Aza menatap Gus Zidan, terkejut dengan kata-katanya. Meski tidak mengenalnya, ada sedikit rasa lega mendengar bahwa Gus Zidan tidak ingin memaksanya.
Abah Yai menarik napas panjang, lalu berkata, "Baiklah, kita beri waktu Aza untuk berpikir. Ini keputusan besar, dan aku ingin keputusan itu dibuat dengan hati yang tenang. Namun ingat, semakin lama kita menunggu, semakin banyak fitnah yang bisa tersebar."
Dengan kata-kata itu, suasana di ruangan menjadi sedikit lebih tenang, meski ketegangan masih terasa kuat. Aza tahu, waktu untuk berpikir yang diberikan mungkin tidak akan lama, dan keputusan ini akan mengubah hidupnya selamanya.
Aza merasa harapannya runtuh ketika mendengar pernyataan tegas ayahnya. Ustaz Zaki, yang ia kira akan membelanya, ternyata justru menekan dirinya untuk setuju dengan usulan Abah Yai. Ayahnya yang selama ini selalu mendukungnya dalam banyak hal, kini bersikap berbeda.
"Aza," Ustaz Zaki berkata dengan nada serius, "kamu harus mendengarkan dan mematuhi keputusan ini. Aku tahu kamu merasa ini mendadak, tapi kita tidak bisa bermain-main dengan nama baik keluarga dan pesantren. Abah Yai Jazuli dan Gus Zidan adalah orang-orang yang sangat dihormati. Menikah dengan Gus Zidan adalah jalan terbaik untuk menghindari fitnah yang lebih besar."
Aza menatap ayahnya dengan mata yang memerah, berusaha mencari tanda-tanda pengertian. Namun yang ia lihat hanyalah tatapan penuh keyakinan. Ia tidak tahu betapa ayahnya sangat menghormati keluarga Abah Yai Jazuli, pemilik pesantren besar di Jawa Timur, tetapi ia tidak siap menerima ini begitu saja.
"Ayah...," Aza berkata dengan suara gemetar, "aku tidak mau tahu siapa mereka, aku juga tidak peduli jika pesantren mereka besar dan dihormati. Yang aku tahu, aku tidak kenal Gus Zidan. Aku bahkan baru bertemu dengannya hari ini, secara tidak sengaja!"
Namun, Ustaz Zaki tetap dengan pendiriannya. "Aza, kamu harus melihat gambaran yang lebih besar. Ini bukan hanya soal kamu dan Gus Zidan. Ini soal menjaga nama baik keluarga kita dan pesantren. Fitnah yang sudah beredar tidak bisa dibersihkan dengan mudah jika kita tidak segera bertindak."
Aza ingin berteriak, ingin protes, tapi kata-kata ayahnya membuatnya terdiam. Ia tahu betapa pentingnya kehormatan dalam keluarga ayahnya, betapa seriusnya konsekuensi dari gosip yang sudah menyebar. Namun, hatinya menolak. Ia belum siap untuk menikah, apalagi dengan seseorang yang tidak ia kenal.
Gus Zidan yang sedari tadi diam, kembali merasa tergugah oleh perdebatan itu. Ia melihat bagaimana Aza berusaha keras melawan takdir yang seolah menjeratnya, sementara Ustaz Zaki terus menekan putrinya untuk setuju.
"Ustaz Zaki," Gus Zidan akhirnya angkat bicara lagi, suaranya lebih tenang namun tegas, "meski saya menghormati keputusan Anda, saya ingin ini juga menjadi keputusan Aza. Saya tidak ingin dia merasa terpaksa atau tertekan. Ini pernikahan, bukan sekadar solusi sementara."
Ustaz Zaki menghela napas panjang. "Gus Zidan, saya paham niat baikmu, tapi dalam situasi seperti ini, kita harus berpikir secara realistis. Kita harus melindungi kehormatan dan nama baik. Terkadang, kita harus mengorbankan sedikit perasaan pribadi demi kebaikan yang lebih besar."
Aza semakin merasa terpojok. Di satu sisi, ia tahu ayahnya benar—fitnah akan merusak nama baik mereka semua jika tidak segera diselesaikan. Di sisi lain, ia merasa hidupnya akan berubah drastis tanpa ia punya kuasa untuk memutuskan.
Air mata mulai mengalir di pipi Aza. "Ayah, tolong... beri aku waktu. Aku tidak siap," katanya lirih, suaranya bergetar karena emosi yang memuncak.
Namun, Ustaz Zaki hanya menggeleng pelan. "Waktu bukan sesuatu yang bisa kita buang sekarang, Aza. Jika kamu menghormati keluargamu dan pesantren, maka ini adalah jalan yang harus kamu terima."
Aza terdiam, hatinya berkecamuk antara rasa marah, sedih, dan tak berdaya. Keputusan ini seolah diambil dari tangannya, dan ia harus menghadapi kenyataan yang tidak pernah ia bayangkan akan terjadi.
Bersambung
Happy reading
emak nya Farah siapa ya...🤔...
aku lupa🤦🏻♀️
yang sebelm nya ku baca ber ulang²....
hidayah lewat mz agus🤣🤣🤣🤣🤣🤣....
eh.... slah🤭.... mz Gus....😂😂😂
100 dst siapa ikut😂😂😂😂
hanya krn anak pun jadi mslh tambah serem....
ke egoisan yang berbalut poligami dan berselimut dalil...🤦🏻♀️... ending nya Cusna terluka parah.....