Bekerja sebagai pelayan di Mansion seorang Mafia???
Grace memutuskan menjadi warga tetap di LA dan bekerja sebagai seorang Maid di sebuah Mansion mewah milik seorang mafia kejam bernama Vincent Douglas. Bukan hanya kejam, pria itu juga haus Seks wow!
Namun siapa sangka kalau Grace pernah bekerja 1 hari untuk berpura-pura menjadi seorang wanita kaya yang bernama Jacqueline serta dibayar dalam jumlah yang cukup dengan syarat berkencan satu malam bersama seorang pria, namun justru itu malah menjeratnya dengan sang Majikannya sendiri, tuanya sendiri yang merupakan seorang Vincent Douglas.
Apakah Grace bisa menyembunyikan wajahnya dari sang tuan saat bekerja? Dia bahkan tidak boleh resign sesuai kontrak kerja.
Mari kita sama-sama berimajinasi ketika warga Indonesia pindah ke luar negeri (〃゚3゚〃)
°~°~°~°~°~°~°~°~°~°~°~°~°~°~°
Mohon dukungannya ✧◝(⁰▿⁰)◜✧
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Four, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
OMLMM — BAB 24
KEBEBASAN
“You understand.”
Grace masih diam tak menjawabnya, sentuhan di tangan Vin serta tatapannya membuat ia terpaku dalam sekejap. Tak lama Maida datang bersama Sia si maid berkulit sawo matang itu.
Seakan tak peduli dengan kedatangan dua orang tadi, Vincent masih menatap lekat wajah Grace dengan jarak mereka yang sangat dekat, sementara Grace menoleh ke arah nampan yang Sia bawa.
“Tuan Vincent. Makanan yang Anda minta.” Ucap Maida sambil mencuri pandang ke arah Grace dengan penasaran dan ada banyak yang ingin wanita tua itu tanyakan.
“Kalian boleh pergi. Katakan kepada yang lain, jangan ada yang menggangguku.” Pinta Vin.
Maida dan Sia sama-sama memandang ke arah Grace yang terlihat termenung dengan pasrah. Saat keduanya mulai keluar dari kamar Vincent.
“Apa yang sudah dia lakukan sampai tuan Vincent menahannya.” Ucap Sia.
“Lupakan saja.”
“Aku tahu Bibi juga penasaran kan!” balas wanita berkulit cokelat itu tersenyum miring. Sia salah satu maid yang terkenal akan kemahalan senyum. Dia hanya akan tersenyum bila itu benar-benar membuatnya senang.
Sementara itu, di kamar. Vin dan Grace sudah duduk di sebuah sofa hitam dengan bentuk melingkar tanpa sandaran. Terdapat meja kaca yang juga berwarna sama.
Tak cuman itu saja, Vin juga sudah melepaskan ikatan di tangan Grace agar wanita itu bisa makan menggunakan kedua tangannya.
“Makanlah.” Ucap Vincent bersandar di sofa singel nya. Kedua alisnya yang berkerut marah karena Grace terus-menerus menolak perintahnya dan hanya memilih diam membuatnya naik pitam.
“Aku tidak suka mengatakan dua kali. Jadi makanlah sebelum aku— ”
“Membunuhku!” lanjut Grace. Wanita itu mendongak menatap Vin yang masih dengan sorot mata yang sama.
“Kalau begitu bunuh saja. Jual organ ku karena semuanya masih bagus, aku tidak pernah merokok ataupun minum. Jadi itu akan membuatmu untung besar. Dari pada aku ditempat seperti ini.” Ujar Grace memelankan suaranya di kalimat terakhirnya.
Vincent tak ingin marah-marah, dan dia mencoba menenangkan diri karena dia tak ingin membunuh Grace dimana dia sudah melakukannya kepada keluarga wanita itu.
“Kalau begitu tidak usah makan.” Vin menyingkirkan nampan berisi makanan tadi dengan kaki kanannya hingga nampan tersebut langsung terlempar jatuh berserakan di lantai.
Grace terkejut melihatnya, makanan yang masih utuh dibuang. “Kau gila. Itu makanan, kenapa kau melakukan itu?”
“Kau yang membuatku membuangnya.”
“Tapi kau bisa memberikan nya kepada yang lainnya.”
Tak ada balasan lagi dari Vin dan hanya berupa tatapan saja. Grace berpaling dar pria itu, betapa dia ingin segera pergi dari sana. Vin meraih sebotol wine yang ada di nakas sebelahnya, menuangnya ke gelas kecil.
“Kau mau?” tawar Vin pada wanita yang jelas-jelas masih merasa kesal akan tindakannya.
Grace hanya meliriknya sinis lalu kembali berpaling. Vincent meneguk minuman tersebut hingga mencecapnya sekilas dan meletakkan kembali gelas tersebut ke meja.
“Aku memiliki dua pilihan untukmu Nyonya Jacqueline palsu.”
“Namaku Grace!” potong Grace masih enggan menatap ke arah Vin.
Pria itu menyeringai kecil. “Tetap di sini sebagai maid atau keluar, namun aku akan memburu mu?”
Oh, ayolah! Dua pilihan macam apa itu? Grace sama sekali tidak bebas akan keduanya namun pilihan kedua membuat Grace bisa bernapas lega di luar Mansion namun hanya satu yang tidak membuatnya senang, yaitu ucapan pria sialan itu yang bersungguh-sungguh.
Grace dengan percaya diri dan berani, mulai menatap ke arah Vin yang masih nampak senang dan tegas. “Jika hanya itu pilihannya. Maka aku memilih keluar.” Jawab terus terang Grace tanpa pikir panjang.
Mendengar hal itu, Vin sudah menebaknya sejak awal. Pria itu hanya menyeringai miring dan kembali menuangkan wine nya. “Are you sure?” tanya nya sekali lagi yang kini meneguk segelas wine lagi.
Grace mengangguk yakin walaupun sebenarnya dalam hati dia belum siap jika harus diburu seperti binatang oleh Vin dan anak buahnya mungkin. Namun yang pasti, Grace sudah menebaknya bahwa pria did depannya saat ini bukanlah pria baik-baik, mungkin Grace bisa menyebutnya <
Vincent dengan santainya mulai menyalakan sebatang rokok dan menghisapnya seraya bersandar dan menatap ke arah Grace. “Kalau begitu pergilah.” Ujarnya hingga diiringi dengan asap rokok yang mengebul keluar dari mulutnya.
Mendengar hal itu, Grace masih ragu-ragu karena bisa saja itu hanya jebakan semata saja.
Menyadari kalau Grace masih ragu, Vin menyeringai ke arahnya. “Kau tidak berani?” ejeknya langsung berhasil memancing emosi Grace hingga ia berdiri.
“Aku bukan seorang pengecut.” Balas Grace dengan nada menantang.
Pria bermanik biru dengan kemeja hitamnya itu hanya memperhatikan Grace. Perlahan-lahan kaki Grace mulai bergerak pergi dari kamar tersebut, namun matanya fokus ke Vin yang masih menatapnya dengan tenang sangat tenang.
Kewaspadaan Grace terhadapnya, membuat Vin semakin bersemangat untuk memburu mangsanya. “I'm so excited!” Vin mematikan rokoknya ke dalam asbak la beranjak dari duduknya.
Grace yang sudah keluar dari kamar Vin, dengan cepat dia berlari keluar menuju gerbang, bahkan panggilan dari para maid yang mengenalnya juga bibi Maida pun dia tak menghiraukan nya.
Sambil berpakaian yang cukup terbuka, Grace berhasil sampai di gerbang, namun penjaga di sana malah mengehentikan langkahnya.
“Maaf— ”
“Bos kalian yang menyuruhku pergi.” Potong Grace malah membuat dia penjaga di sana saling memandang. Jika memang itu perintah Vincent, kenapa mereka tidak diberi kabar.
Tiba-tiba dari arah lain, Jack datang dengan menahan rasa kemang di area kejantanan nya akibat ulah Grace. “Biarkan dia pergi, ini perintah Bos Vincent.” Ucap Jack yang langsung dituruti.
Grace menoleh ke arah Jack yang masih nampak kesakitan namun tak ada dendam dalam diri pria itu. “Sorry.” Ucap Grace kepadanya.
Setelah gerbang dibuka, wanita itu langsung berlari keluar dan merasa bebas dari Mansion sialan itu.
“Bibi, dia berhasil keluar.” Kata salah satu maid yang sedang membersihkan halaman depan. Maida yang juga melihatnya pun merasa heran dan penuh tanya, kenapa Vincent tak memberitahunya jika memang ingin melepaskan Grace. Bukan karena apa? Tapi... Kesepakatan awal, bahwa Maida bagian mengurus para maid dan dia berhak tahu alasan semua maid keluar dari pekerjaan apalagi keluar Mansion.
Meski begitu, apa-apa pun, tetap Vincent lah yang berhak atas segalanya yang ada di Mansion nya.
Grace berlari sekencang mungkin, rambutnya yang indah nan panjang itu tak sesekali menerpa wajahnya yang cantik. -‘Kau berhasil Grace!!’ girangnya dalam hati hingga senyuman lebar terukir di bibir peach nya.
Dia tak menyangka bahwa akan bebas dari tempat dan orang-orang di Mansion VincentDo. Langkah kaki Grace masih berlari cepat melewati kerumunan-kerumunan di sana tanpa memperdulikan tatapan orang-orang.
Perban yang ada di lengannya juga mulai kendor akibat pergerakan nya. Saat Grace berhenti tepat di pinggir jalan dimana orang-orang pejalan kaki juga ada di sana, wanita itu tersenyum lega walaupun napasnya tersengal-sengal.
“Hhffuuu— pria sialan!” gumam Grace merasa lega dalam seumur hidupnya. Hal dan kebebasan seperti inilah yang membuatnya cukup puas.
Namun senyuman lebarnya perlahan menghilang saat manik matanya meneliti salah satu mobil hitam yang berhenti d jalanan depan, diaman lampu merah masih menghentikannya beserta mobil lainnya.
“Shit!” umpatnya seraya menggeleng tak percaya saat dia melihat Vincent duduk di kursi pengemudi dengan sorot mata tajam dan juga seringaian kecil saat melihat mangsanya.