Tidak pernah terbersit di pikiran Mia, bahwa Slamet yang sudah menjadi suaminya selama lima tahun akan menikah lagi. Daripada hidup dimadu, Mia memilih untuk bercerai.
"Lalu bagaimana kehidupan Mia setelah menjadi janda? Apakah akan ada pria lain yang mampu menyembuhkan luka hati Mia? Kita ikuti kisahnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Buna Seta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
The Power Of Mbak Jamu. Bab 12
Ruangan Vano yang awalnya ramai dengan celotehan Mia kini menjadi sunyi, karena kehadiran Slamet. Satu gelas teh manis Slamet letakkan di depan Mia dengan dada yang berdebar kencang.
Lalu Mia pura-pura sibuk mengobrak abrik isi tas, menandakan bahwa tidak peduli dengan mantan suaminya yang masih suka mengganggu hidupnya.
"Kamu buat teh hanya satu?" Tanya Vano, menatap Slamet datar.
"Maafkan saya Tuan" Slamet mengatakan bahwa skretaris tidak menyuruh membuat teh dua cangkir.
"Memang harus disuruh ya? Begitu saja kamu tidak punya inisiatif," Vano menunjukkan ketegasan sebagai seorang atasan.
Mia menghentikan tangannya lalu melirik Slamet yang nampak pucat padahal hanya ditanya Vano. Pandangan mata Mia turun menatap kedua tangan Slamet yang dia remas-remas sendiri.
"Cepat sana, buatkan saya kopi,"
"Baik Tuan" Slamet segera berlalu, antara lega dan sesak saling berdesakan di dada. Lega karena terhindar dari omelan Vano, tetapi sesak karena dia dipermalukan di depan Mia.
"Minum saja teh saya Mase" Mia berucap ketika Slamet sudah tidak ada.
"Tidak, saya sebenarnya hanya ingin mengajarkan kepada para karyawan, jika segala sesuatu tidak harus menunggu perintah. Contohnya hal-hal kecil seperti ini. Sekarang coba kamu pikir, pantas tidak dia membuat minuman hanya satu, padahal di ruangan ini ada dua orang," ucap Vano panjang lebar. Kecuali yang bersifat prinsip perusahaan itu sendiri, tentu saja menjadi tanggung jawab yang berwenang.
Mia menatap Vano yang sudah mencoret kertas. Dia tidak menyangka Vano pria yang ramah kepadanya walaupun hanya seorang pedagang jamu. Tetapi kaget juga ketika memarahi Slamet baru saja.
Mia sebenarnya kasihan dengan Slamet. Sudah dipastikan Slamet menyembunyikan rasa malu di depanya. Tetapi Mia senang, agar Slamet dan keluarganya tidak lagi sombong akan kelebihan yang mereka miliki. Bahwa di atas langit masih ada langit. Mia ingat Serentetan penghinaan ibu Maya akan kekurangan Mia.
"Kopinya Tuan" Slamet pun akhirnya datang kembali, meletakkan kopi di depan Vano.
"Terimakasih" jawab Vano tetapi tetap fokus ke pekerjaan lalu menyuruh Slamet keluar.
"Sudah sore, saya juga pamit Mase" ucap Mia.
Slamet yang hendak melangkah pun berhenti, tetapi tidak menoleh. Dia berharap bisa pulang bersama Mia dan mengantarkan pulang.
"Sebaiknya kamu menunggu saya sampai jam lima Mbak, nanti saya antar pulang" jawab Vano, toh dia pulang satu arah dengan Mia, walaupun belum tahu di mana rumah Mia. Namun, Vano sudah bisa menebak bahwa rumah Mia tidak jauh dari kediamannya.
Deg.
Dada Slamet merasa sesak mendengarnya, lalu keluar sambil menenteng nampan di tangan. Dia sadar saat ini Vano bukan saingannya.
Lalu Mia menolak Vano dengan halus. "Tidak usah Mase" Mia bukan hanya takut kepada Dona, tetapi dia tidak mau merepotkan orang lain pula.
"Kamu naik apa?" Tanya Vano mengangkat kepala.
"Gampang Tuan, bisa naik angkutan, bisa juga ojek" Mia menjawab santai lalu beranjak.
"Tunggu" panggil Vano. Dia berdiri dari kursi goyang. Derap sepatu yang dia kenakan menggema di ruangan.
Mia yang sudah mengangkat tangan hendak menarik kenop pintu dia turunkan kembali. Menoleh Vano yang berjalan ke arahnya.
"Ada apa to Mase?" Mia bingung.
"Jamu nya belum dibayar," jawab Vano, ketika sudah berada di depan Mia. Keduanya pun tertawa bersama. Vano lalu membuka dompet hendak ambil uang.
"Oalaaahh... " Mia mengetuk jidat sendiri, mengapa bisa sampai lupa.
"Berapa jadinya?" Vano menarik uang ratusan dua lembar lalu memberikan kepada Mia.
Mia menarik 100 ribu dari tangan Vano, sambil menjelaskan satu botol jamu tersebut dia beri harga 25 ribu.
"Ya sudah... yang 100 ribu untuk transportasi" tulus Vano.
"Kebanyakan" jujur Mia, ongkos ojek pulang pergi hanya 10 ribu, tentu saja Mia menolak. Namun, Vano memaksa.
Mia pun akhirnya mengambil uang tersebut, mengucap terimakasih sambil memasukkan ke dalam tas.
Ceklak.
Pintu pun ada yang membuka dari luar tanpa mengetuk lebih dahulu, membentur badan Mia yang berdiri tepat di pinggir pintu. Spontan Vano menarik tangan Mia hingga tubuh Mia membentur dada Vano.
"Kalian..." Seorang wanita menatap tajam Mia dan Vano.
Mia segera bergeser ke pinggir Vano, bukan takut dengan seringai wajah Dona karena dia tidak bersalah. Tetapi Mia tidak mau dicap wanita perebut pacar orang.
"Jadi benar yang aku pikirkan selama ini? Kalian berselingkuh di belakang aku?!" Tuduh Dona dengan suara membentak.
"Dona... kamu salah paham" Vano memegang pergelangan tangan calon istrinya itu.
"Lepas" Dona menghempas tangan Vano, lalu berpaling ke arah Mia. Dengan wajah merah padam Dona mendekati Mia.
Mia hanya diam, tetapi berkali-kali menarik napas panjang. Benar saja apa yang dia pikirkan, lagi-lagi ada yang salah paham. Mengapa dimana-mana ada saja wanita yang menuduhnya demikian.
Dona mengangkat tangan hendak menampar pipi Mia.
Kraakk.
Secepatnya Mia menangkap pergelangan tangan Dona, mencengkeram kuat. Dona mengaduh sembari menarik-narik tanganya tetapi sulit lepas. Dona tidak menyangka tangan Mia sekuat itu.
"Vano... tolong..." ucap Dona memelas melirik Vano.
"Lepas Mbak" ujar Vano.
Mia melepas tangan Dona lalu keluar tanpa menutup pintu.
"Makanya Dona, kamu jangan main tuduh," ucap Vano sembari menutup pintu, lalu kembali berjalan ke meja kerja di ikuti Dona.
Dona semakin marah, karena Vano bukan membela dirinya, tetapi menyalahkan.
"Mbak Jamu kesini itu karena mengantar jamu pesanan Mama" Vano berusaha menjelaskan.
"Tapi kenapa kesini?" Dona merengut, tangannya menarik kursi lalu duduk dengan kasar hingga kursi menimbulkan suara.
"Tadinya aku suruh mengantar jamu ini ke rumah, tetapi dia takut sama kamu. Pantas saja dia takut, kamunya kasar begitu," Vano bicara sambil memasukkan lap top ke dalam tas kerja. Tidak mungkin dia melanjutkan kerja jika Dona sedang marah seperti itu.
Dona menunduk memandangi lengannya yang masih merah kerena bekas di cengkram Mia. "Awas kamu tukang jamu" batin Dona, merasa dipermalukan di depan Vano.
"Ayo pulang" Vano sudah berdiri di samping Dona, bahkan sudah membawa tas. Mereka pun meninggalkan kantor, tetapi Vano akan mengantar Doa ke kediaman orang tua Dona.
**********
Sementara Mia rupanya masih di pantri, berdebat dengan Slamet yang memaksa akan mengantarkan pulang.
"Sudahlah Mas, sekarang ini saya dengan kamu sudah tidak ada urusan yang sifatnya pribadi. Kamu senang apa? Ibu Maya melabrak saya seperti kemarin" pungkas Mia lalu meninggalkan Slamet.
Slamet hanya bisa memandangi mantan istrinya melenggang pergi. Ya. Sesal memang selalu di akhir. Sudah satu tahun Slamet menikah dengan Ranti atas desakan orang tuanya. Ranti memang bisa memuaskan dirinya di atas ranjang, tetapi rupanya tidak cukup hanya puas di ranjang saja yang Slamet butuhkan.
Slamet pun akhirnya ke parkiran menjalankan motornya pulang. Dalam perjalanan pikirannya menoleh ke dua bulan yang lalu ketika Mia masih menjadi istri. Menyambut ketika dia pulang kerja, sesibuk apapun Mia. Menyempatkan memasak, membuatkan kopi. Bahkan baju seragam kerja pun Mia siapkan. Mia tidak pernah menuntut seberapapun nafkah yang dia berikan. Tetapi semua itu tidak dia temukan di diri Ranti.
Tiba di rumah perut Slamet keroncongan, karena tadi siang tidak membawa bekal. Dia buka penutup meja tidak ada apapun di sana.
"Nggak ada makanan Mas, Mas Slamet tidak membeli makanan sekalian" ucap Ranti yang tiba-tiba sudah berada di samping Slamet.
...~Bersambung~...