"Apa yang kamu tahu?" tanya Aditya pada pria yang kepalanya berlumuran darah.
"Aku hanya lihat ada tiga orang pria datang lalu dia menyuntikkan sesuatu pada wanita itu. Setelah wanita itu tidak berdaya, mereka menggantungnya seolah dia bunuh diri."
Usai mengatakan itu, pria tersebut menghilang tanpa bekas.
Sebagai seorang polisi, terkadang Aditya menemui kesulitan ketika mengungkap sebuah kasus. Dan tak jarang dia sering meminta informasi dari makhluk tak kasat mata yang ada di sekitar lokasi kejadian.
Aditya memanfaatkan indra keenamnya untuk mengungkap kasus kejahatan yang terjadi di sekitarnya. Tak sendiri, dia ditemani jin cantik bernama Suzy yang rela membantunya melakukan apapun, kecuali mencarikan jodoh untuknya.
"Haiissshh.. Tante Suzy.. yang benar dong kalau kasih info. Nyasar lagi nih kita!" kesal Adita.
"Kalau mau nanya alamat tuh ke Mbah Gugel! Bukan ke aku!"
Aditya hanya menepuk keningnya saja.
"Percuma ngajak jin dongo," gumam Aditya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ichageul, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Saksi Menyebalkan
"Saya lapar. Belikan dulu saya makan baru saya mau memberikan kesaksian."
Langkah Aditya terhenti begitu mendengar ucapan Jiya. Dia segera membalikkan badan. Matanya memandangi Jiya dari atas sampai bawah lalu melihat barang bawaan gadis itu. Sebuah koper, sebuah ransel dan tas selempang yang tersampir di bahunya.
"Kamu kabur dari rumah?"
"Enak aja! Saya lagi merantau. Saya baru sampai Bandung dan langsung kena sial. Pokoknya saya mau makan dulu terus bantu saya cari kost-an, baru saya mau kasih keterangan lagi. Kalau ngga mau melakukan apa yang saya minta, silakan datangi kantor Polsek dan minta kesaksianku di sana tadi."
Setelah mengatakan itu, Jiya menjatuhkan bokongnya di kursi yang ada di sana. Perutnya memang keroncongan karena sejak turun dari kereta langsung dibawa ke kantor Polsek dan harus menunggu lama. Dirinya hanya diberi air minum saja sampai perutnya kembung.
Aditya baru saja akan membuka mulutnya, namun Tristan segera menahannya. Melihat wajah Aditya yang nampak kesal, sepertinya hanya akan terjadi pertengkaran saja di antara keduanya.
"Baiklah. Kami akan sediakan makan untukmu. Tunggu sebentar."
"Saya mau makan nasi Padang pakai cingcang. Sambal ijonya yang banyak. Belikan kerupuk juga. Saya ngga bisa makan kalau ngga ada kerupuk."
"Bawel banget. Namanya minta makan, ngga usah banyak nawar! Masih untung kami mau memberimu makan!" sambar Aditya dengan suara jauh dari kata ramah.
"Udah Dit, turuti aja. Kasihan juga dia capek hampir seharian di kantor Polsek."
"Dipikir kita ngga capek apa? Udah tiga hari kita ngga pulang ke rumah. Sekalinya dapat saksi, mode ngelunjak kaya dia."
"Kamu balik ke ruangan aja. Biar urusan dia, aku yang tangani."
Tristan memang memiliki stok sabar lebih banyak dari Aditya, karenanya pria itu tidak mudah terpancing emosi mendengar keinginan Jiya. Sambil berdecak Aditya kembali ke ruangan di mana anggota timnya berada. Jiya memperhatikan dua petugas di depannya. Dua-duanya berwajah tampan, hanya sifatnya saja yang berbeda. Yang satu lebih ramah, yang satunya lagi menyebalkan.
"Kamu tunggu di sini. Saya akan belikan makanan untukmu."
Tristan segera keluar dari kantornya lalu menuju parkiran. Dia menyalakan motornya kemudian meluncur pergi mencari rumah makan Padang di dekat kantor. Sepuluh menit kemudian dia kembali membawa pesanan Jiya. Sambil membawa bungkusan di tangannya, Tristan masuk dan mendekati Jiya. Dia menaruh dulu bungkusan di dekat Jiya kemudian mengambilkan piring dan tak lupa minuman untuk gadis itu.
Mencium aroma nasi Padang, cacing di perut Jiya langsung berdendang. Tanpa menunggu lama, Jiya langsung membuka bungkusan nasi kemudian memakannya dengan lahap. Tidak dipedulikannya Tristan saat ini yang tengah memperhatikannya. Yang ada dalam pikirannya hanyalah mensejahterakan cacing di dalam perutnya. Tidak lupa gadis itu memakan kerupuk yang dibelikan Tristan. Bunyi krauk ketika Jiya mengigit kerupuk menarik perhatian petugas yang berada di dekatnya.
"Pelan-pelan aja dek makannya, ngga ada yang akan rebut makanan kamu kok," seru salah satu petugas yang melintas di dekat Jiya sambil mengulum senyum.
"Maaf, Pak. Saya lapar berat nih," jawab Jiya sambil terus mengunyah makanannya.
Di saat Jiya tengah menghabiskan makanannya, Aditya datang mendekat. Dia melihat Jiya yang begitu bersemangat menghabiskan makannya. Sampai-sampai gadis itu tidak menyadari kalau ada sebutir nasi di sudut bibirnya dan di bagian bawah bibirnya terdapat noda kuah santan. Aditya menggelengkan kepalanya melihat Jiya. Saksi yang mereka dapatkan kali ini benar-benar di luar prakiraan cuaca.
"Tris, aku sudah dapat informasi tentang pegawai Sentinel. Ada sekitar 15 orang yang memiliki background mencurigakan."
Kepala Jiya langsung menoleh ketika mendengar kata Sentinel. Tanpa sadar dia mengamati Aditya dan Tristan yang sedang berbincang. Aditya menolehkan kepalanya saat sadar dirinya sedang diperhatikan. Matanya menatap tajam pada Jiya.
"Sudah selesai makannya?"
"Belum. Ngga lihat nih nasinya masih ada," Jiya menunjukkan nasi yang tersisa pada Aditya.
"Kalau begitu habiskan! Jangan jadi tukang nguping!"
Jiya menyebikkan bibirnya pada Aditya lalu meneruskan lagi makannya. Telinganya terus dibuka lebar, mencoba mencuri dengar lagi apa yang dibicarakan kedua polisi itu. Namun Aditya tidak mengungkit soal Sentinel lagi. Jiya memasukkan suapan terakhir ke dalam mulutnya lalu membereskan bungkusan bekas makannya. Diteguknua air putih untuk membasahi kerongkongannya.
"Sudah selesai? Sekarang ikut saya!" ujar Aditya.
"Sebentar. Saya mau..."
"Apalagi?" kesal Aditya.
"Saya mau shalat dulu. Kan udah ashar. Musholanya di mana?"
Tristan berbaik hati menawarkan diri hendak mengantarkan Jiya menuju mushola. Tapi sebelum pergi, gadis itu melihat pada Aditya dan sukses membangkitkan emosi pria itu.
"Tolong jaga koper dan ransel saya. Kalau sampai hilang, saya akan minta ganti rugi dari kamu."
Setelah mengatakan itu, Jiya segera meninggalkan Aditya, mengikuti Tristan yang berjalan di depannya. Dengan kesal Aditya menendang koper Jiya sampai jatuh terguling. Pria itu segera meninggalkan tempat tersebut, membiarkan koper itu terguling begitu saja. Namun kemudian dia kembali lalu membenarkan posisi koper baru kembali ke ruangannya.
Selesai shalat, Jiya sudah siap memberikan kesaksiannya lagi. Tristan membawa gadis itu ke ruangan tim satu jatanras. Dia dipersilakan duduk di depan meja Aditya. Melihat kedatangan Jiya, Aditya segera bersiap di depan laptopnya. Setelah menanyakan identitas Jiya, barulah gadis itu diminta menceritakan lagi kronologi ketika dirinya menemukan mayat Syahroni.
"Kamu ngapain buka-buka tempat sampah?" tanya Aditya ketika Jiya baru memulai ceritanya.
"Ya mau buang sampah! Emangnya saya kurang kerjaan apa, buka-buka tempat sampah," sewot Jiya.
"Kamu lihat noda darah di bawah tempat sampah. Tahu dari mana kalau itu darah?"
"Saya sempat colek dan dari warna dan baunya saya yakin banget itu darah. Makanya saya buka tutup tempat sampah dan di sana saya lihat mayatnya."
"Kamu ngapain colek-colek cairan itu? Apa kamu tahu yang kamu lakukan bisa merusak TKP?"
"Ya saya mana tahu kalau itu darah. Saya kan penasaran. Kalau saya tahu itu darah, ya ngga mungkin saya colek."
"Terus kamu tahu dari mana kalau di sampah plastik itu ada mayatnya?"
"Salah satu tangannya keluar terus dadah-dadah sama saya," jawab Jiya sebal.
"Hahahaha.."
Sontak terdengar suara tawa semua orang yang ada di ruangan. Diam-diam mereka menyimak jalannya pembicaraan antara Aditya dengan Jiya. Tristan pun tidak bisa menahan tawanya. Aditya malah semakin kesal mendengar jawaban asal Jiya.
"Kamu jangan main-main jawab pertanyaan saya!"
"Siapa yang main-main. Apa yang saya bilang benar kok. Salah satu Tangan korban keluar atau mungkin ngga tertutup sempurna makanya bisa terlihat sama saya. Emangnya situ ngga lihat foto dari TKP? Sebelum nanya saya, harusnya dilihat dulu dong foto dari TKP. Masa soal gitu aja harus diajarin. Jangan-jangan ijazah akpolnya boleh ngetik sendiri."
"Hahaha.."
"Uhuk.. uhuk.."
Tristan sampai terbatuk mendengar ucapan Jiya. Gadis itu tidak tahu saja kalau pria yang barusan diledeknya adalah lulusan terbaik akademi polisi angkatannya. Aditya menghirup oksigen sebanyak-banyaknya. Tiba-tiba saja rongga paru-parunya terasa kosong berhadapan dengan Jiya. Saksi menyebalkan yang menemukan jasad Syahroni.
"Ya sudah. Untuk sementara cukup. Kalau keteranganmu dibutuhkan kembali, kamu harus datang ke sini lagi."
Tidak ada kata-kata yang dilontarkan Jiya, hanya kepalanya saja yang mengangguk tanda mengerti. Yang diinginkan sekarang menemukan tempat kost dan mengistirahatkan tubuhnya yang terasa letih.
"Kamu boleh pulang," ujar Aditya yang melihat Jiya masih bergeming di tempatnya.
"Saya nunggu janji kedua kalian."
"Janji apa?" kening Aditya mengernyit.
"Kan kalian janji akan mencarikan kost untuk saya."
"Siapa yang janji?"
"Tadi kan saya udah bilang, mau bersaksi lagi asal dikasih makan dan dicarikan tempat kost."
"Siapa yang janji? Saya ngga bilang apa-apa. Kamu memang bilang, tapi namanya permintaan, bisa dikabulkan dan bisa ngga. Dan saya milih ngga mengabulkan permintaan kamu."
"Ya ngga bisa gitu dong. Waktu saya banyak terbuang gara-gara masalah ini. Sebenarnya semua yang saya ceritakan tadi sudah saya katakan di kantor Polsek. Tapi saya harus ngulang lagi kaya radio butut. Kamu pikir saya..."
"STOP!" teriak Aditya yang tidak tahan dengan cerocosan Jiya.
Perdebatan di antara Aditya dan Jiya dibiarkan saja oleh Tomi dan semua rekan-rekan pria itu. Anggap saja itu hiburan di tengah kepenatan yang mereka rasakan. Tristan segera melerai perdebatan yang terjadi.
"Sudah jangan berdebat. Kamu bisa kost di tempat saya kost. Tadi saya tanya pemilik kost dan masih ada kamar kosong. Di sana kost-an campur. Lantai dua khusus buat kost perempuan, lantai tiga kost laki-laki. Kalau kamu berminat, saya antar ke sana."
"Ehm.. boleh."
"Oke sebentar."
Tristan merelakan dirinya mengantar Jiya daripada harus mendengar perdebatan antara rekannya dan gadis itu. Hanya membuat kepalanya pusing saja. Saat akan pergi, ponsel pria itu berdering. Keningnya mengernyit melihat panggilan dari nomor tidak dikenal masuk ke ponselnya. Khawatir ada informasi penting, pria itu pun segera menjawab panggilannya.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumussalam. Ini Tristan ya?" terdengar suara seorang wanita dari seberang.
"Iya. Maaf ini dengan siapa?"
"Ini dengan Bu Stella, Mamanya Adit."
"Oh Tante. Mau bicara dengan Adit?"
"Ngga, Tante ada perlu sama kamu."
"Ada perlu apa, Tan?"
"Zahi lagi di rumah temannya. Sekarang kan udah jam tujuh malam, Tante khawatir kalau dia pulang sendiri. Razan juga belum pulang ke rumah. Kamu bisa kan jemput Zahi di rumah temannya?"
***
Tambah puyeng si Tristan🤣
Besok aku libur ya. Setiap up 5 episode aku libur. Sengaja biar yang ketinggalan bisa ngejar sampai bab terakhir.
BTW cover Indra Ke-6 diganti sama entun dan hasilnya ngga banget. Aditya kelihatan tua. Mau diganti lagi ngga bisa😭
gading udh melebarkan sayap nya ke bangdung juga..
makin deket ni teka teki ke bongkar😁🤭🤭 dan cheryl giliran mu selanjut nya🤭🤭🙏✌️