Alena adalah seorang gadis ceria yang selalu berbicara keras dan mencari cinta di setiap sudut kehidupan. Dia tidak memiliki teman di sekolah karena semua orang menganggapnya berisik. Alena bertekad untuk menemukan cinta sejati, meski sering kali menjadi sasaran cemoohan karena sering terlibat dalam hubungan singkat dengan pacar orang lain.
Kael adalah ketua geng yang dikenal badboy. Tapi siapa sangka pentolan sekolah ini termasuk dari jajaran orang terpintar disekolah. Kael adalah tipe orang yang jarang menunjukkan perasaan, bahkan kepada mereka yang dekat dengannya. Dia selalu berpura-pura tidak peduli dan terlihat tidak tertarik pada masalah orang lain. Namun, dalam hati, Kael sebenarnya sangat melindungi orang yang dia pedulikan, termasuk gadis itu.
Pertemuan tak terduga itu membuatnya penasaran dengan gadis berisik yang hampir dia tabrak itu.
"cewek imut kayak lo, ga cocok marah-marah."
"minggir lo!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Addinia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Belajar bareng
Alena berdiri di depan gerbang sekolah dengan tas ransel di punggungnya. Ia menatap ke seberang jalan, ke arah sebuah kafe kecil yang terlihat cukup tenang. Tangannya menyentuh layar ponselnya, memeriksa waktu. Tak lama kemudian, suara motor mendekat, dan Kael tiba dengan gaya santainya, memakai jaket kulit.
Kael berhenti di depan Alena, melepas helm. "Lama ya? maaf."
"Gue mutusin kita ngerjainya di kafe seberang aja. Deket, kan." Jawab Alena datar.
Kael menatap ke arah kafe, lalu tersenyum. "Boleh. Ayo, naik gue anter pake motor."
Alena menggeleng. "Gue jalan kaki."
"Yakin? Gue nggak bakal ngebut."
"Gue jalan kaki. Kalo lo mau pake motor. Sana, duluan." Tegas Alena sambil berjalan pelan.
Kael tertawa kecil, lalu menyalakan motornya kembali ke parkiran sekolah.
"Oke, tunggu sebentar, gue titip motor dulu!" Kael berteriak dari jauh.
Kael kembali setelah beberapa menit, kini berjalan santai menghampiri Alena. Mereka mulai menyeberang jalan bersama, dengan Kael mencoba memecah keheningan.
"Lo sering ke kafe itu? Apa karena deket?" Tanya Kael.
"Karena deket." Jawabnya singkat.
Kael mengangguk. "Tempatnya kayaknya nggak terlalu rame."
"..."
Kael tidak menyerah. "Lo tinggal deket sekolah, ya? Gue nggak pernah liat lo naik kendaraan."
"Hm."
Kael menghela napas pendek, menyadari Alena hanya memberi jawaban seadanya. Namun, ia tetap tersenyum, tidak berniat menyerah.
"Lo selalu jawab pendek gitu ke semua orang, atau cuma ke gue?"
Alena menoleh sebentar, lalu menghela napas. "Gue cuma lagi nggak mau ribut aja."
Kael tertawa kecil mendengar jawaban itu. Mereka tiba di kafe dan langsung masuk, memilih meja yang agak di pojok, jauh dari keramaian.
"Wih, keren juga ni cafe." Ucap Kael sambil duduk.
Alena mengeluarkan buku catatan. "Ayo mulai. Gue nggak mau lama-lama."
Mereka mulai membuka buku masing-masing, membahas tugas dari Bu Laras. Alena menggambar diagram sementara Kael membantu memberi penjelasan detailnya.
"Yang ini alurnya udah bener. Tapi coba tambahin keterangan soal fungsi ginjal di bagian ini. Biar lebih lengkap." Ucap Kael sambil menunjuk diagram.
"Gimana contohnya?"
Kael menjelaskan sambil menulis. "Misalnya, ginjal itu menyaring darah buat buang limbah nitrogen dalam bentuk urin. Jangan lupa juga tambahin soal pengaturan cairan tubuh."
Alena mencatat pelan. "Oke. Gue ngerti."
Suasana mulai lebih cair. Alena terlihat lebih fokus, dan Kael sesekali melontarkan candaan ringan, meskipun tetap menjaga nada serius.
"Kalo kerja sama gue nggak seserem yang lo pikir, kan?"
Alena melirik sekilas, lalu kembali fokus. "Selama lo nggak ganggu, nggak masalah."
Kael tersenyum, menyadari Alena perlahan mulai menerima keberadaannya. Mereka terus bekerja hingga beberapa halaman tugas selesai dikerjakan.
Alena dan Kael yang duduk berhadapan, saling berdiskusi dengan buku dan catatan di meja mereka, diiringi suasana cafe yang tenang.
...----------------...
Suasana cafe mulai sepi. Alena dan Kael duduk di meja yang penuh dengan buku dan catatan. Alena menyusun diagram terakhir mereka sambil menghela napas lega.
"Kayaknya udah selesai, ya." Ucap Alena.
Kael mengangguk sambil bersandar. "Yap. Gue rasa ini udah cukup buat bikin Bu Laras puas."
Alena mulai membereskan buku-bukunya, memasukkan semuanya ke dalam tas selempangnya. Kael memerhatikan sambil tersenyum tipis.
"Thanks. Kalau lo nggak bantu tadi, mungkin gue nggak bakal ngerti." Ucapnya sambil berdiri.
"Santai aja. Tugas selesai, gue seneng."
Alena hendak melangkah pergi, tapi Kael berdiri lebih dulu dan menahannya dengan lembut.
"Gue anter lo pulang."
Alena langsung menolak, menatap Kael dengan serius. "Nggak usah. Gue bisa jalan sendiri."
Kael menyeringai. "Gue nggak gampang nyerah. Yuk, gue anter. Udah sore, bahaya kalau lo sendirian."
Alena mendengus pelan, tapi menyadari dia tidak akan menang berdebat dengan Kael. Akhirnya, ia menghela napas berat dan mengangguk.
"Fine. Tapi jangan nyusahin gue."
Kael tersenyum puas. "Deal."
Mereka berjalan keluar dari kafe menuju parkiran sekolah. Di sepanjang jalan, Alena tetap diam, sementara Kael bersiul pelan, terlihat sangat santai. Setelah sampai di parkiran, Kael menuju motornya, sebuah motor gede yang terlihat mencolok. Ia mengambil helm dari gantungan dan langsung memakaikannya ke kepala Alena.
"Helm ini wajib. Gue nggak mau lo kenapa-kenapa." Ucap Kael sambil tersenyum kecil.
Alena memelototinya dengan tajam, tapi tidak menolak. Ia hanya membiarkan Kael memasangkan helm tersebut.
"Gue bisa pake sendiri."
Kael tertawa kecil. "Gue bantuin aja. Anggep aja ini bonus."
Alena menyerah dan menaiki motor Kael dengan ragu. Karena tubuhnya yang lebih kecil, ia hanya bisa memegang pundak Kael untuk menjaga keseimbangan.
Kael menoleh sedikit, bercanda. "Nggak apa-apa pegang yang erat, gue nggak bakal marah."
Alena mendesis pelan. "Fokus aja bawa motor lo."
Kael tertawa, lalu menyalakan motornya. Suara mesinnya menggelegar, menarik perhatian beberapa orang di sekitar parkiran. Dengan gerakan mulus, Kael melajukan motornya keluar dari sekolah, membawa Alena pulang dengan hati-hati.
Motor Kael yang melaju di jalan sore, dengan Alena yang duduk diam di belakangnya, sementara angin sore meniup lembut rambut mereka.
...----------------...
Kael berhenti di depan rumah Alena, mematikan motornya. Alena turun dari motor, lalu mencoba melepas helmnya sendiri, tapi terlihat kesulitan. Ia menarik tali helm itu berkali-kali, tapi tidak berhasil.
Kael yang masih duduk di atas motor menahan tawa. "Gimana? Katanya bisa sendiri?"
Alena kesal, menatap Kael tajam. "Diem. Helm lo jelek!"
Kael turun dari motor sambil tersenyum lebar. Ia mendekat, lalu dengan mudah membantu melepaskan helm dari kepala Alena.
"Nih. Gampang, kan? Tapi tetep aja lo butuh gue."
Alena mendengus pelan. "Udah. Pergi aja sana."
Dari dalam rumah, mama Alena, Larasati, yang sedang berdiri di jendela, melihat kejadian itu. Matanya langsung berbinar penuh rasa ingin tahu. Ia membuka pintu dengan heboh dan melangkah cepat ke arah Alena dan Kael.
"Ale! Siapa cowok ganteng ini? Temen sekolah kamu, ya?" Tanya Mamanya sambil tersenyum lebar.
Alena kaget, langsung berbalik. "Mama! Ngapain keluar?"
Mama tidak menggubris, malah menatap Kael. "Kenalin dong, Mama mau tau. Kamu pacarnya Ale, ya?"
Kael terkekeh kecil, berusaha menjaga sopan santun. Ia berdiri tegak dan memperkenalkan dirinya.
"Selamat sore, Tante. Nama saya Kael, temen sekelas Alena."
Mama tertawa kecil, menatap Alena dengan tatapan menggoda. "Oh, temen, ya? Tapi kok kemarin kamu nangis di kamar, kamu bilang sama mama kalo kamu diputusin sama pacar kamu? Ini pacar baru kamu, sayang?"
Alena kaget, langsung melotot. "Mama! Stop! Jangan ngomong sembarangan!"
Kael terlihat terkejut namun tertawa kecil sambil memandang Alena. Alena memberi tatapan tajam kepada mamanya, lalu memberi kode kepada Kael untuk segera pergi.
"Kael, mending lo pulang aja sekarang. Makasih udah nganterin gue."
Mama menahan Kael. "Eh, jangan pulang dulu! Mampir dulu, Kael. Tante bikinin teh, ya?"
"Nggak usah, Ma! Dia sibuk. Kael, pulang aja." Sela Alena.
Kael tersenyum sopan dan melirik Alena, lalu memutuskan untuk pamit.
"Terima kasih, Tante, tapi saya nggak bisa lama. Mungkin lain kali."
Larasati terlihat kecewa, tapi tetap tersenyum. "Ya udah, hati-hati di jalan, ya, Kael. Kalau ada apa-apa sama Alena, kamu jagain dia, ya."
Kael tertawa kecil. "Siap, Tante. Pasti."
Kael melirik ke arah Alena yang tampak sudah tidak sabar agar dia pergi. Ia kembali ke motornya, memakai helm, dan menghidupkan mesin.
"Gue duluan. Jangan lupa kerjain ulang tugasnya kalau perlu."
"Iya, iya. Udah sana." Jawab Alena datar, melambaikan tangan singkat.
Kael akhirnya pergi. Alena menghela napas panjang, sementara mamanya tersenyum penuh arti, menatap ke arah motor Kael yang menjauh.
"Ganteng, sopan, lagi. Sayang banget kalo bukan pacar kamu, Ale."
"Ma, stop ngomong kayak gitu." Alena masuk kedalam rumah.
Kael mengendarai motornya dengan santai, tapi pikirannya terus melayang pada Alena. Ia teringat tatapan dinginnya, keluhan pendeknya, dan cara ia berusaha menjaga jarak.
Kael tersenyum kecil, merasa penasaran lebih dari sebelumnya. Ia memutuskan untuk menunggu sampai hari esok untuk menemukan lebih banyak tentang Alena.
Kael yang melaju di jalan dengan matahari terbenam di belakangnya, pikirannya penuh dengan pertanyaan tentang Akerjai