Kamu pernah bilang, kenapa aku ngga mau sama kamu. Kamu aja yang ngga tau, aku mau banget sama kamu. Tapi kamu terlalu tinggi untuk aku raih.
Alexander Monoarfa jatuh cinta pada Rihana Fazira dan sempat kehilangan jejak gadis itu.
Rihana dibesarkan di panti asuhan oleh Bu Saras setelah mamanya meninggal. Karena itu dia takut menerima cinta dan perhatian Alexander yang anak konglomerat
Rihana sebenarnya adalah cucu dari keluarga Airlangga yang juga konglomerat.
Sesuatu yang buruk dulu terjadi pada orang tuanya yang ngga sengaja tidur bersama.
Terimakasih, ya sudah mampir♡♡♡
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rahma AR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bertemu lagi dengan 'papa'
Pagi ini Puspa memaksanya untuk menunggu jemputannya. Walaupun sungkan, Rihana tetap bersyukur memiliki teman baru yang sangat baik.
"Kamu tinggal di panti?" Puspa ngga dapat menyembunyikan keterkejutannya. Sungguh di luar dugaannya.
"Iya, almarhum mamaku dulunya bekerja sebagai pengurus panti," jelas Rihana terus terang.
Rihana ngga peduli setelah ini Puspa akan menarik diri dari pergaulan dengannya. Dia akan mengatakan apa adanya. Dari dulu dia ngga pernah berbohong tentang keadaannya pada siapa pun yang mengenalnya.
Puspa tertegun sesaat.
"Maaf, ya," ucap Puspa sambil memegang tangan Rihana lembut. Dia menatap Rihana dengan tatapan ngga enak. Takut kekagetannya tadi menyinggung perasaan Rihana.
Eh, batin Rihana bingung dengan reaksi Puspa. Kirain Puspa akan menurunkannya di jalan dan ngga akan menganggapnya teman lagi karena mereka ngga selevel. Seperti beberapa teman SMAnya dulu.
"Jadi kamu bekerja untuk membiayai anak anak panti lainnya?" tanya Puspa salut. Sedangkan dia bekerja hanya untuk kesenangannya saja. Kedua orang tuanya dan kakak kakaknya sudah sangat mampu. Dia bekerja pun demi manambah koleksi tasnya.
"Aku akan jadi donatur panti kamu," sambungnya lagi penuh semangat.
Rihana tertawa lepas mendengarnya. Ngga disangkanya Puspa akan berkata begitu. Dia sangat bersyukur, di ibu kota yang ngga punya siapa siapa, dia mengenal banyak orang baik dan perhatian padanya
"Tidak perlu. Dari dulu panti kami tidak membutuhkan donatur. Ibu pemilik panti, Bu Saras memiliki usaha konveksi yang lebih dari cukup membiayai hidup kami," jelasnya ringan, tanpa beban.
Tapi itu dulu, sambungnya dalam hati. Tapi Rihana ngga akan menjual kesedihan dan kesusahannya.
"Ooh, hebat juga ibu panti kamu," puji Puspa sungguh sungguh Setaunya panti asuhan membutuhkan banyak donatur. Bahkan ada panti yang sengaja mengeksploitasi anak yatim piatu demi mendapatkan uang banyak dari para donatur. Padahal uang tersebut bukan digunakan untuk kesejahteraan anak panti, tapi untuk foya foya para pengurus itu sendiri. Bersenang senang di atas derita anak yang sudah ngga punya orang tua lagi. Sungguh sangat keterlaluan.
Mendengar cerita panti asuhan milik ibu Saras, tempat tinggal Rihana, membuat Puspa benar benar kagum dan salut. Ternyata masih ada panti asuhan yang idealis seperti itu.
"Setelah mamaku meninggal dunia, Ibu Saras yang mengasuhku sesuai amanat mama," jelas Rihana lagi.
Puspa menatapnya terharu dan bertambah kagum dengan Rihana.
"Kamu kuat dan tabah banget," pujinya tulus. Rihana tertawa lagi menutupi kemirisan hatinya.
Aku kepaksa menjalaninya, Puspa. Tapi aku ngga pernah menyesal, batin Rihana.
*
*
*
"Bos besar akan melakukan inspeksi. Kalian berdiri," titah Bu Zerina selaku manajer perancanaan teknik segera memberikan aba aba. Beliau segera berdiri di depan pintu masuk.
Menurut Rihana, Bu Zerina seusia dengan Kak Daiva. Tapi karena dia manager yang membawahi divisinya, Rihana memanggilnya ibu. Sedangkan Rihana ngga tau Kak Daiva bekerja sebagai apa.
Rihana dan teman temannya pun berdiri begitu melihat sosok bos besar mereka memasuki ruangan bersama dengan para stafnya
Rihana menundukkan kepalanya sangat dalam. Ngga kepengen melihat karena hatinya sudah langsung sedih, teringat mamanya yang sudah tiada.
Tapi entah di sengaja atau engga, Dewan Iskandardinata berdiri di depan kubikelnya.
Jantung Rihana berdebar keras. Ada rindu dan sakit yang memukul kuat hatinya.
Semalaman Rihana berpikir, apakah laki laki ini ngga tau kalo selama ini dia ada?
Bahkan Rihana sampai menarik kesimpulan yang sangat menyakitkan kalo dia terlahir dari hubungan yang ngga resmi.
Rihana juga menduga kalo mamanya mungkin saja diusir dari keluarga karena memilikinya sebagai aib.
Betapa hidup mamanya sangat menyedihkan saat membawanya dalam perutnya yang pasti terus membesar
Mamanya pasti sangat menderita. Hamil dan melahirkan tanpa seorang suami di dekatnya.
Berpikir lagi sampai ke sana membuat mata Rihana terasa sangat panas Rihana segera mengusap kedua matanya ketika air matanya sudah siap untuk tumpah
'Kamu kenapa?" tanya Dewan Iskandardinata yang ternyata tanpa disadari Rihana, memperhatikannya sejak tadi.
Para staf yang ikut bersamanya, Bu Zerina bahkan teman temannya juga melihat ke arahnya
"Maaf, Pak," sahut Rihana dengan suara serak. Dia menghapus air matanya yang ngga henti mengalir dengan sapu tangannya.
"Rihana, kalo kamu sakit, kamu bisa istirahat di ruang kesehatan," titah Bu Zerina jadi cemas melihat gadis itu yang terus menghapus air matanya yang terus menerus mengalir. Seperti sedang menahan rasa sakit yang amat sangat.
"Maaf, bu, saya ijin sebentar," pamit Rihana merasa bersalah. Tapi bagaimana lagi, jika berada di dekat Dewan Iskandardinata, air mata kesedihannya turun begitu saja tanpa bisa dia hentikan.
Puspa dan Winta sebenarnya ingin menemani Rihana, tapi situasi sedang ngga memungkinkan. Mereka sedang diinspeksi oleh bos besar dan petinggi petingginya. Takut malah membuat Bu Zerina akan mendapat teguran nantinya.
Keduanya hanya bisa memandang punggung Rihana yang melangkah pergi dengan perasaan ngga tega.
Begitu juga Dewan yang terdiam, tapi sorot matanya ngga bisa dipalingkan dari gadis muda yang mungkin lebih tua beberapa tahun dari putrinya.
Cara gadis itu menangis seolah menampar ingatannya yang sudah sangat lama terpendam.
"Maaf, kak," ucap gadis itu yang terus saja meneteskan air mata.
"Kenapa kamu baru bilang sekarang?" suara Dewan terdengar sangat frustasi.
Dia baru saja mendapatkan panggilan dari universitas di luar negeri yang sangat dia impikan. Namun yang disampaikan gadis cantik di depannya bisa mengubur impiannya.
"Maaf, kak," ulang gadis itu lagi masih terus saja menghapus air matanya.
"Aku akan bicara pada orang tuaku. Kamu tenanglah," kata Dewan setelah berpikir cukup lama.
Dia akan bertanggung jawab walau kejadian itu bukan mau mereka. Salah satu temannya berbuat ulah dengan memberikannya dan gadis yang merupakan adik kelasnya obat perangsang.
"Pak," pangil Gilang, salah satu direktur yang ikut bersamanya, membuat ingatan masa lalunya terhenti.
"Ya," sahutnya dengan perasaan ngga enak. Matanya menangkap bidang pigura kecil di meja gadis itu.
Ada keinginan untuk melihatnya. Timbul rasa penasaran yang tiba tiba hadir dalam hatinya. Sikap.gadis itu sedikit mengusiknya. Tapi Dewan merasa kurang sopan untuk menyentuh barang pribadi milik karyawan barunya.
Akhirnya Dewan dan stafnya memasuki ruangan Zerina. Mereka akan membahas rancangan rancangan yang sedang dibuat oleh timnya.
*
*
*
Rihana terus saja menghapus air matanya sambil melangkah ke arah ruang kesehatan. Agaknya dia perlu berdiam di sana sebentar. Akan nampak wajar jika ada yang melihatnya menangis di sana Jika di toilet Rihana ngga enak jika dilihat karyawan karyawan yang lain.
"Lho, kok, nangis lagi?" tanya Daiva yang berpapasan dengan Rihana.
Rihana yang sedang menghapus air matanya dan berjalan sambil menunduk, terkejut mendengar suara yang cukup diingatnya.
"Siapa, sih, atasan kamu. Jadi penasaran. Suka banget bikin kamu menderita," ujarnya sambil menggelengkan kepala.
Rihana jadi mengembangkan senyumnya. Perhatian Kak Daiva yang baru dikenalnya kemarin sedikit banyak menghibur hatinya.
"Ngga, kok, kak. Aku agak ngga enak badan. Tadi udah ijin mau istirahat bentar," sangkal Rihana.
"Ooo.... Kamu anak mana, sih?" tanya Daiva ingin tau.
"Perencanaan teknik, kak."
"Oooh, anak anaknya Zerina," kekeh Daiva mengerti.
Tapi Rihana malah bingung kenapa Kak Daiva tertawa santai.
"Ya, udah, istirahat dulu sana."
"Eh, iya, kak."
Keduanya pun berpisah dengan arah yang berlawanan.