Laras terbangun di tubuh wanita bernama Bunga. Bunga adalah seorang istri yang kerap disiksa suami dan keluarganya. Karna itu, Laras berniat membalaskan dendam atas penyiksaan yang selama ini dirasakan Bunga. Disisi lain, Laras berharap dia bisa kembali ke tubuhnya lagi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fitri Elmu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dikerjai
Entah jam berapa, yang jelas sudah tengah malam. Aksa sudah tidur, saat pintunya di dorong dari luar. Dia tidak tahu ada sosok yang mengendap-endap masuk. Hati-hati sekali, sampai langkah kakinya saja berjinjit. Takut menimbulkan suara yang akibatnya bisa membangunkan sang empunya kamar.
Orang itu sempat menggelengkan kepala, melihat posisi tidur Aksa yang terbilang kaku. Miring kanan dan dengan tangan bersilang dada dan kaki sedikit terlipat. Gurat tegas masih terpancar meski dalam lelapnya.
"Ck! Dasar, kaku," gumamnya.
Begitu sampai di samping Aksa, orang itu menyeringai lebar. Mengacungkan senjata yang dibawanya dengan sorot dendam. Tanpa membuang waktu lagi, dia siap mengeksekusi. Tapi sebelum itu, dia pandangi wajah bersih sang pria. Wajah lelap yang bahkan masih menebarkan ketampanannya. Sialan memang. Ini mah gak adil. Emang ada orang yang gak pernah ngerasain jelek? Harusnya sih gak ada. Dan sekarang, akan dia buat wajah di depannya ini menjadi jelek.
Senjata demi senjata menghujam wajah Aksa. Membuat goresan di pahatan wajah tampannya. Dingin, saat senjata itu menyentuh wajah sang empu. Beruntung, Aksa tidak terganggu. Dia masih dalam lelap mimpinya. Srat! Sret! Blush!
Senyum puas terpancar di wajahnya. Orang itu terkekeh kecil. Manggut-manggut melihat hasil pekerjaannya. Dengan cepat dia arahkan kamera ke wajah di depannya itu. Beberapa kali jepretan, sampai dia merasa cukup. Setelah itu, mengambil ponsel Aksa yang terletak di samping pria itu. Menjepret sama seperti yang dia lakukan pada ponselnya tadi. Bedanya, kali ini dia menjadikan hasil jepretannya sebagai foto profil whatsapp Aksa. Hendak mengincar akun sosial media Aksa, tapi ternyata pria itu tidak memilikinya. Sementara ini, whatsapp saja sudah cukup. Dia meletakkan ponsel Aksa ke tempatnya semula. Gerakannya membungkuk melewati tubuh Aksa.
"Haha. Selesai," seringainya, puas. Misi balas dendam, selesai. Mission complete!
Dengan senyum lebernya, dia berbalik hendak keluar. Namun, langkahnya dipaksa berhenti, karna seseorang mencengkram tangannya. Dia terkejut, menelan salivanya kasar.
"Mau kemana, kamu?" Suara bariton bernada rendah menginterupsinya.
Laras meringis. Jangan bilang dia ketahuan. Dia menoleh. Mendapati Aksa menatap lebar kepadanya.
"Hehe ..." cengirnya, memasang wajah tak berdosa.
"Apa yang kamu lakukan disini?"
Jantungnya dag dig dug. Syik syak syok.
"Eng .... Itu, tadi ...."
"Kuncir rambutmu? Semalam jatuh waktu aku menggendongmu, kalau kamu cari itu."
Netra Laras melebar. Dia gak niat nyari itu. Tapi, karna Aksa mengiranya mencari kuncir rambut, dia jadi tahu fakta semalam. Aksa yang menggendongnya!
"Besok aku belikan lagi, tidak usah mencarinya."
Laras mengerjapkan matanya. "Ah, i-iya." Menatap tangannya yang masih dipegang Aksa. "Kalau gitu, gue balik kamar," ujarnya, sembari menunjuk tangannya, minta dilepaskan.
Aksa mengangguk. Melepas pegangannya.
"Lain kali, daripada mengendap-endap, lebih baik bilang langsung. Kalau gelap, aku bisa mengiramu pencuri."
"Em, iya. Sory."
Aksa mengangguk. Masih dengan posisi tidurannya. Matanya merah dan sayu. Sepertinya dia benar-benar mengantuk. Terbangun karna terbangun dirinya.
"Tidur aja, gue balik ke kamar. Sory, ganggu lo tidur."
Aksa tak menjawab. Hanya mengangguk tipis diiringi uapan lebar.
Dengan gerakan cepat, Laras gegas keluar. Untung saja, make up-nya sudah dia masukkan kantong. Sepertinya Aksa gak sadar dengan penampilannya yang mirip badut itu. Buktinya, dia gak ngamuk. Malah mengira dirinya mengendap-endap ke kamar karna nyariin kuncir rambut. Baguslah. Mungkin, besok Aksa baru menyadari kejahilannya. Kalau begitu, besok dia berangkat lebih dulu saja. Menghindari amukan Aksa.
.
.
Sesuai dengan rencana, pukul setengah enam kurang Laras sudah bersiap.
"Bi, ntar kalau Aksa nyariin, aku sudah berangkat ya," ujarnya, memberi pesan pada bi Imah.
"Loh, kok pagi-pagi banget, non?" Bi Imah saja heran. Karna memang sepagi ini.
"Eng ... Ada kerjaan tambahan, Bi. Suruh berangkat pagi," elaknya, memberi alasan.
"Ooo begitu. Ya nanti bibi sampaikan sama den Aksa."
"Makasih, Bi."
"Bibi ambilkan sarapan, non?"
"Gak usah, Bi. Ini aja sudah kesiangan. Takutnya malah telat."
"Ya sudah kalau begitu, non."
Laras tersenyum. Setelah itu pandangannya mengecek tangga atas. Belum ada tanda-tanda amukan Aksa. Mungkin pria itu belum bangun. Cepat-cepat dia ngacir keluar. Sebelum kegocek Aksa. Bisa gawat!
Sementara itu, Aksa baru bangun. Suasana hatinya masih bagus. Beranjak dari ranjangnya, Aksa meraih handuknya. Sekalian mandi.
Menyalakan kran air, dan menggosok giginya lebih dulu. Dan, saat dia mengangkat wajahnya, menatap cermin, kerutan dahinya nampak. Meraba wajahnya yang penuh coretan asal alat make up. Lipstik merah menyala, blush on warna warni menghiasi wajahnya. Ingatannya langsung tertuju ke semalam.
"Laras!!"
Aksa gegas ke kamar Laras dengan perasaan dongkol. Tapi kamar itu kosong.
"Aish! Shit!" umpatnya. Menuruni anak tangga tergesa.
Bi Imah yang sedang mengepel lantai terperanjat kaget melihat penampilan tuan mudanya.
"Laras mana, Bi?" tanyanya.
"La-Laras siapa, Mas Aksa?" bi Imah menjawab dengan tawa yang ditahan. Wajah tuan mudanya memang lucu dan pantas untuk ditertawakan.
"Bunga maksudnya," ketus Aksa. Dia tahu, Bi Imah menahan diri untuk tidak menertawakannya.
"Non Bunga sudah berangkat, mas Aksa. Katanya ada jadwal pagi."
Aksa mengumpat. Laras pasti sengaja menghindarinya. Aksa menarik sudut bibirnya tipis. Awas saja kau, Laras!