Nafisa, gadis istimewa yang terlahir dari seorang ibu yang memiliki kemampuan istimewa. Tumbuh menjadi gadis suram karena kemampuan aneh yang dimiliki.
Melihat tanda kematian lewat pantulan cermin, membuatnya enggan bercermin seumur hidupnya. Suatu ketika ia terpaksa harus berdamai dengan keadaannya sendiri, perlahan ia mulai berubah. Dengan bantuan sang sahabat, ia menolong orang-orang yang memiliki tanda kematian itu sendiri.
Simak kisah menarik Nafisa, kisah persahabatan dan cinta, juga perjuangan seorang gadis menerima takdirnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ERiyy Alma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cermin 30
Sepulang sekolah, Fisa dan yang lain sepakat menjenguk ayah Alena di rumah sakit. Menurut para guru yang mengantar Alena tadi pagi, kecelakaan sangat parah. Mobil oleng dan bertabrakan dengan truk kontainer. Ibu tiri Fisa meninggal di tempat, supir sempat alami koma tapi tak lama kemudian turut meninggal juga, hanya tersisa ayah Alena yang masih tak sadarkan diri, seperti keajaiban beliau hanya lecet-lecet saja.
Sepanjang perjalanan Fisa jadi tak tenang, jika memang benar seperti yang para guru katakan, bahwa ayah Alena tidak koma, melainkan hanya lecet-lecet biasa, maka arti dari tanda ungu berubah. Fisa semakin tak mengerti. Kelima siswa siswi itu sampai di rumah sakit, mereka tak diperkenankan masuk kamar pasien bersamaan.
“Kalau begitu, bisa tolong panggilkan teman kami? putri dari pasien,” kata Haikal pada seorang perawat. Wanita itu pun mengangguk, meminta mereka menanti di depan kamar.
Tak lama kemudian, Alena keluar dengan wajah sembabnya, gadis itu tampak canggung. Hanya berdiri di depan pintu tanpa berniat menyapa tamu-tamunya. Fisa maju terlebih dulu, “Alena, bagaimana kabar ayahmu?”
“Ayah, ayahku hanya lecet saja, tapi belum juga sadar,” jawabnya.
“Boleh aku melihatnya?”
Alena menatap Fisa, raut wajahnya penuh pertanyaan. “Fisa, kenapa kamu baik padaku? apa maksud semua ini?”
Fisa tersenyum datar, diam sejenak sebelum akhirnya kembali menjawab. “Apakah berbuat baik itu perlu alasan Alena?”
“Ta-tapi, aku pernah menyakitimu.”
“Kalau begitu minta maaflah, terlepas dari perbuatanmu, aku masih harus tetap berbuat baik, karena itulah yang diperintahkan Allah pada setiap hambanya.” Fisa tersenyum ramah, sementara Alena justru menangis.
Arjuna mendekati keduanya, “Al, aku turut berduka cita atas kepergian ibu dan supir keluargamu, semoga beliau diberikan ketenangan di sisi-Nya. Dan, untuk ayahmu semoga lekas diberikan kesehatan.”
“Doa yang sama dari kita juga Al,” kata Pandu mewakili dua teman lainnya.
“Terima kasih, aku malu pada kalian,” katanya sambil terisak. Fisa maju selangkah dan memeluk gadis itu, berusaha menenangkannya.
“Nggak perlu malu, setiap orang pasti punya kesalahan. Asal kamu mau berubah, masih ada waktu untukmu,” kata Nuria berucap dibalik punggung Fisa.
Alena mengangguk, ia lantas membiarkan Fisa dan Arjuna masuk ruangan. Melihat ayah Alena yang masih tak sadarkan diri, Fisa sengaja membawa cermin, ia melihat tubuh ayah Alena dari pantulan cermin, cahaya ungu masih ada.
“Kata dokter, kemungkinan ayahku butuh waktu lama untuk sadar. Tapi beliau beruntung, tak ada luka parah di tubuhnya, semoga saja beliau segera sadar, kalau tidak.” Alena menangis sesenggukan, “kalau tidak, bagaimana aku menjalani hari-hariku? aku cuma punya ayah saja di dunia ini.”
Fisa dan Arjuna hanya saling pandang, kemudian kembali mendekati Alena dan menepuk pundaknya. “Kata siapa kamu cuma punya ayah, kamu juga punya aku dan Arjun. Ya kan Arjun?” Fisa melempar pertanyaan tak terduga pada Arjuna, lelaki itu sempat tergagap saat menjawab pertanyaannya.
“I-iya.”
“Arjun, tak adakah yang ingin kamu katakan pada Alena?” tanya Fisa yang lagi-lagi membuat keadaan menjadi canggung di antara mereka.
“Ah, i-iya.” Arjuna maju selangkah, dari tempatnya berada ia mengeluarkan sebuah flashdisk dan memberikannya pada Alena. “Al, maafkan aku, ini copy an dari isi flashdisk kamu, aku salah telah menghapus file aslinya. Aku terpaksa melakukannya untuk Hana.”
Alena tersenyum, menerima pemberian Arjuna dan berkata, “aku sudah tahu, nggak apa-apa Arjun, kejadian bersama Hana itu seratus persen salahku. Dan sekarang, melihat ayah seperti ini membuatku sadar, aku sudah tumbuh menjadi gadis yang buruk. Ini mungkin hukuman dari tuhan untukku, aku akan menerimanya dengan ikhlas.”
Arjuna dan Fisa hanya bisa diam, gadis di depannya terisak lagi, bahu bergetar sambil memandang wajah sang ayah yang seolah tengah tertidur dengan tenang.
“Meski beliau mendidikku dengan keras, tapi aku sayang menyayangi ayahku. Setelah kepergian mama aku hanya punya ayah saja. Dan sekarang, karena dosaku ayah jadi seperti ini. Fisa, Arjun kalau aku minta maaf pada semua yang sudah pernah kulukai, apakah mereka akan memaafkanku?”
Pertanyaan yang sulit bagi Arjuna dan Fisa, mereka bukan tak tahu bagaimana kelakuan Alena selama ini. Tapi demi menjaga semangatnya, Fisa kembali berkata, “mungkin memang tidak mudah, tapi aku harap kamu mau berusaha.”
Alena mengangguk mantap, “aku tak akan menyerah, nanti aku akan minta maaf pada semua teman-teman yang pernah aku sakiti, siapa tahu dengan begitu ayah akan kembali sadar,” katanya.
Fisa tersenyum senang, saat itu terdengar suara ketukan dari luar. Pandu dan Haikal menyerahkan kantong berisi makanan dan minuman, kata mereka itu untuk Alena. Khawatir gadis itu tak peduli diri sendiri karena terlalu terpuruk.
“Makanlah, jaga kesehatanmu jika memang ingin meminta maaf pada yang lain,” seloroh Pandu, entah sejak kapan ia mencuri dengar pembicaraan ketiga temannya itu.
“Benar yang dikatakan Pandu, Al. Dan lagi, kamu nggak sendiri, kita akan usahakan sering datang. Ya kan teman-teman?” Haikal melempar pertanyaan lain, tapi teman-temannya hanya diam membuatnya jadi serba salah.
“Terima kasih Haikal, Pandu, kalian tak perlu sering datang, cukup doakan kami saja,” ujar Alena lagi.
Setelah itu mereka berpamitan pulang saat seorang pembantu rumah tangga yang pernah dilihat Arjuna telah datang, pembantu wanita paruh baya yang sudah seperti ibu bagi Alena itu sangat memperhatikan putri majikannya, meski beberapa kali terlihat Alena menolaknya. Hanya saja Alena jadi jauh lebih kalem, Fisa dan yang lain berharap kejadian ini benar-benar akan merubah seorang Alena menjadi lebih baik.
“Fis, kamu nggak lihat ruh ayah Alena?” tanya Nuria di tengah perjalanan mereka kembali.
“Ada kok,” jawab Fisa.
“Terus kenapa kamu nggak berbincang?”
“Nggak perlu, biarkan saja Alena benar-benar sadar sebab kejadian yang menimpa ayahnya. Toh, aku juga tidak bisa membantu ayahnya sadar kembali, yang jelas, masih ada kesempatan. Ayahnya akan kembali sehat.”
Nuria dan yang lain mengangguk mengerti, kelima siswa siswi itu memutuskan pulang, mungkin mereka akan kembali esok atau beberapa hari kedepan.
....