"Buang obat penenang itu! Mulai sekarang, aku yang akan menenangkan hatimu."
.
Semua tuntutan kedua orang tua Aira membuatnya hampir depresi. Bahkan Aira sampai kabur dari perjodohan yang diatur orang tuanya dengan seorang pria beristri. Dia justru bertemu anak motor dan menjadikannya pacar pura-pura.
Tak disangka pria yang dia kira bad boy itu adalah CEO di perusahaan yang baru saja menerimanya sebagai sekretaris.
Namun, Aira tetap menyembunyikan status Antares yang seorang CEO pada kedua orang tuanya agar orang tuanya tidak memanfaatkan kekayaan Antares.
Apakah akhirnya mereka saling mencintai dan Antares bisa melepas Aira dari ketergantungan obat penenang itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puput, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 32
Rika berdiri di depan pintu ruang rawat Aira. Dia tersenyum melihat Aira yang sedang makan bersama Antares dan wajahnya sudah terlihat bahagia. Sekarang hatinya bisa tenang setelah melihat Aira yang semakin membaik.
"Katanya Ibu tidak mau menemui Kak Aira, mengapa ada di sini?"
Rika terkejut melihat putra bungsunya yang mengikutinya hingga rumah sakit. Dia menarik tangan Yudha agar menjauh dari ruangan Aira karena dia tidak ingin Aira mendengar keributan yang ditimbulkannya.
"Kenapa kamu ke sini?" tanya Rika setelah dia menjauh dari ruang rawat Aira.
"Ibu lebih sayang sama Kak Aira daripada aku? Kenapa aku ingin membebaskan Ayah tidak boleh?"
"Karena Ayah kamu melakukan kesalahan, dia pantas dipenjara."
"Bu, aku tidak bisa melihat Ayah dipenjara. Cepat serahkan surat rumah itu, aku akan sewa pengacara untuk bebaskan Ayah."
"Sampai kapanpun, Ibu tidak akan menolong Ayah kamu! Biarkan dia mendapat hukuman dan kamu juga harus segera berubah. Sekarang kamu hanya sama Ibu. Kita harus berjuang sama-sama untuk kehidupan kita selanjutnya."
Yudha menarik tas ibunya dengan paksa tapi Rika menahannya.
"Jangan kurang ajar sama ibu kamu! Kalau kamu mau menolong ayah kamu, tidak usah pulang ke rumah! Ayah kamu itu jahat! Jangan kamu tiru! Ibu menyesal bertahan sama Ayah kamu sampai bertahun-tahun."
"Jadi ibu juga menyesal punya anak sepertiku?" Yudha masih saja menarik tas itu hingga akhirnya ada tangan yang melepasnya dengan kuat.
"Ada apa? Ini rumah sakit, jangan buat keributan seperti ini." Rizal menjauhkan Yudha dari ibunya. "Kamu jangan melawan orang tua!"
"Rizal?" tanya Rika memastikan.
Rizal hanya menganggukkan kepalanya kemudian dia mendorong Yudha agar pergi dari rumah sakit. "Kamu pergi, sebelum aku lapor satpam!"
Yudha membuang napas kasar hingga akhirnya memutuskan pergi dari rumah sakit.
"Terima kasih. Kamu mau menemui Aira?" tanya Rika.
Rizal menganggukkan kepalanya. "Ibu duduk dulu." Mereka berdua kini duduk di taman dan mengobrol sebentar. "Aku mau pamitan sama Aira dan Pak Ares karena nanti malam aku akan berangkat ke Jepang."
Rika membuka tasnya dan mengambil sertifikat rumah milik Aira. "Tolong kamu berikan ini sama Aira, ya. Aku takut sertifikat ini hilang."
"Mengapa Bu Rika tidak memberikan sendiri pada Aira?" tanya Rizal sambil menerima sertifikat itu.
"Aku tidak mau merusak kebahagiaan Aira. Selama ini, aku sudah sangat jahat sama Aira." Kemudian Rika berdiri dan pergi meninggalkan Rizal.
Rizal juga berdiri dan segera berjalan menuju ruang rawat Aira. Setelah sampai di depan ruang VIP itu, dia mengintipnya sebelum mengetuk pintu. Dia tersenyum melihat Aira dan Antares sudah baikan. Akhirnya dia mengetuk pintu dan dibukakan oleh Shena.
"Maaf mengganggu, Tante. Apa saya boleh menjenguk Aira dan Pak Ares?"
"Iya, silakan masuk," kata Shena. Dia membiarkan Rizal masuk, sedangkan dirinya kini keluar dari ruang rawat itu.
Antares dan Aira menatap Rizal yang baru saja memasuki ruangan mereka.
"Bagaimana kondisi Pak Ares?" tanya Rizal. Dia meletakkan parcel buah di meja. Kemudian berjalan mendekati brankar Aira dan Antares.
"Sudah membaik. Terima kasih kamu sudah menolongku dan Aira," kata Antares.
"Iya, sama-sama." Satu tangannya kini terulur pada Aira untuk memberikan sertifikat yang dititipkan ibunya Aira. "Tadi, aku bertemu ibu kamu di depan sedang bertengkar sama adik kamu, lalu ibu kamu titip ini."
Aira mengambil sertifikat itu dan menatapnya. "Mengapa ibu tidak masuk ke dalam?"
"Ibu kamu bilang, tidak mau merusak kebahagiaan kamu karena selama ini sudah sangat jahat sama kamu. Sepertinya adik kamu ingin menggadaikan rumah atau mungkin menjualnya untuk menyewa pengacara agar ayahnya bisa bebas," cerita Rizal.
Hati Aira terasa sakit mendengar hal itu. "Aku tidak akan membiarkan mereka berdua keluar dari penjara!"
Antares mengusap lengan Aira. "Aira, nanti aku pikirkan cara untuk memberi pelajaran pada adik kamu agar dia berubah. Sekarang, jangan terlalu stres dulu, nanti setelah kamu sembuh, kamu temui ibu kamu."
Aira mengangguk pelan. Kemudian dia menatap Rizal yang masih menatapnya. "Kamu jadi berangkat hari ini?"
Rizal menganggukkan kepalanya. "Iya, aku akan berangkat malam ini. Uji coba sudah selesai dan perusahaan kita sudah bekerjasama. Masih ada proyek menunggu di Jepang."
"Hati-hati, ya."
Tiba-tiba saja Rizal mendekat dan memeluk Aira. "Maaf, Pak Ares. Beri aku 10 detik saja."
Antares melipat kedua tangannya melihat Rizal yang kini telah melepas pelukannya. "Jangan main peluk calon istri orang sembarangan."
Rizal hanya tersenyum, lalu mundur beberapa langkah. "Semoga kalian selalu bahagia, jangan bertengkar lagi. Nanti kalau menikah, kirim undangan, akan aku usahakan untuk datang. Aku pamit, masih ada urusan di luar."
"Iya, lebih baik kamu cepat pergi."
Aira menatap Antares yang terlihat kesal. Dia tersenyum kecil lalu kembali menatap Rizal. "Hati-hati, ya. Semoga kamu juga segera mendapatkan kebahagiaan kamu."
"Iya, aku pasti akan segera move on dari kamu." Kemudian Rizal keluar dari ruangan itu.
Sedangkan Antares masih saja terlihat kesal.
"Marah?" Aira mendekat dan mencubit kecil lengan Antares.
"Kamu jangan mau dipeluk orang sembarangan."
Aira semain tertawa melihat Antares dalam mode posesif. "Tiba-tiba saja jadi aku tidak sempat menghindar lagian itu untuk yang terakhir kalinya. Rizal mana mungkin berani merebutku dari CEO arogan."
"Siapa yang arogan? Aku lembut dan penuh perhatian."
Aira semakin tertawa. Dia mendekat dan menatap wajah kesal Antares dari dekat. "Jangan cemberut gini."
Tiba-tiba Aira menekan tengkuk leher Aira lalu mencium bibirnya.
Aira tak menolaknya. Dia justru semakin menghapus jarak di antara mereka dan membalas setiap pagutan lembut itu. Cukup lama, hingga napas mereka sama-sama berat.
"Ares, ada Riko." Lagi, Shena masuk di saat tidak tepat tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu dan tanpa mengintip dari pintu.
Aira menjauh dari Antares dan merebahkan dirinya sambil menutup wajahnya dengan selimut karena malu.
"Eh, bos. Kalau mau lanjut silakan," kata Riko sambil menahan senyumannya.
"Iya, Mama tidak lihat kok. Sepertinya Papa sudah datang dan ada di bawah, Mama susul dulu," kata Shena. Mereka berdua akan keluar tapi berhenti karena panggilan Antares.
"Mama dan Riko, tidak perlu keluar lagi." Antares melirik Aira yang masih bersembunyi di balik selimut. "Mana dokumen yang aku minta?"
"Ares, kamu sudah mau kerja? Papa kamu akan mengurusnya." Shena mendekat dan membantu Antares menegakkan duduknya.
Aira membuka selimutnya dan menatap Antares. "Iya, Mas Ares jangan kerja dulu."
Riko tertawa mendengar panggilan Aira yang kini sudah berubah. "Mas?"
Antares menatap tajam Riko agar berhenti tertawa. "Mama, dokumen ini butuh tanda tanganku. Papa memang membantu mengurus di perusahaan, tapi tetap saja tidak bisa menandatangani dokumen."
"Iya, Pak Sky yang meminta saya mengantar ini," kata Riko.
"Ya sudah, ingat jangan banyak gerak dulu biar luka kamu cepat sembuh. Jangan terlalu aktif dulu sama Aira."
Antares hanya tersenyum kecil. Tentu saja setelah sembuh nanti, dia akan semakin aktif.
akhirnya ngaku juga ya Riko...
😆😆😆😆
u.....