"ABANG HATI-HATI!!!" teriak seorang anak kecil menarik tangan Arrazi yang berdiri diatas pagar jembatan. Hingga keduanya terjatuh di alas jembatan yang berbahan beton.
"Aduh!" rintih gadis kecil yang badannya tertindih oleh Arrazi yang ukuran badannya lebih besar dan berat dari badan kecilnya. Laki-laki itu langsung bangun dan membantu si gadis kecil untuk bangun.
Setelah keduanya berdiri, si gadis kecil malah mengomel.
"Jangan berdiri di sana Bang, bahaya! Abang emang mau jatuh ke sungai, terus di makan buaya? Kalo Abang mati gimana? Kasian Mami Papinya Abang, nanti mereka sedih." omel gadis kecil itu dengan khawatir.
Menghiraukan omelan gadis kecil di depannya, Arrazi menjatuhkan pantatnya di atas jembatan, lalu menangis dengan menekukan kedua kaki dan tangannya menutupi wajah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Icut Manis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
EPISODE 20 : PERKARA KOPI
"Mas, saya tidur dimana?" tanya Daniah membuka obrolan setelah mereka makan malam.
Dan saat ini Daniah berjalan mengikuti Arrazi di belakangnya. Makan malam ini Daniah yang traktir di sponsori oleh uang dari tamu undangan yang sudah menjadi milik Daniah semuanya.
Ia memesan nasi goreng telur dadar 2 bungkus di tempat langganannya melalui aplikasi online. Awalnya Arrazi protes karena Daniah menguasai semua uang yang jumlahnya lumayan banyak.
Namun jangan panggil Daniah kalau tidak bisa membuat Arrazi emosi dan akhirnya untuk diam.
"Katanya mau buktiin kalo saya matre. Lah ini baru permulaan Mas Arrazi. Kedepannya bukan cuma kantong anda saja yang bolong, tapi anda rela jual ginjal buat menuhin kebutuhan istri matre anda ini!"
Ayo, gimana tidak emosi coba kalau Daniah seperti ini. Daripada Arrazi meladeni Daniah yang ngeyel, lebih baik dia diam. Ia paling malas untuk berdebat hanya karena uang. Toh, uang Arrazi lebih banyak daripada uang yang di kuasai Daniah saat ini.
Arrazi menghentikan langkahnya. Menoleh sekilas.
"Terserah kamu."
"Terserah gimana? Ini apartemennya Mas, kamarnya juga cuma satu. Emangnya Mas mau apa saya tidur di kamarnya Mas? Saya suh ogah tidur sama macam garong, bisa mati mendadak saya."
Kalimat Daniah membuat Arrazi harus memutar badan untuk berhadapan dengan manusia yang badannya lebih pendek dari dirinya itu.
TUING!
Arrazi mendorong dahi Daniah dengan jari telunjuknya.
"Aihhh...."
"Itu mulut di jaga!" ketus Arrazi.
"Itu mata di jaga!" balas Daniah yang kesal dengan Arrazi karena menatapnya dengan mata melotot.
Arrazi berdecak. Perempuan di hadapannya ini begitu menyebalkan.
"Terserah kamu mau tidur dimana. Mau di kamar saya, di sofa, di kamar mandi, di ruang tengah atau sekalian di dapur. Terserah!" ketus Arrazi, lalu mempercepat langkah masuk ke dalam kamarnya dan menutup pintu.
Daniah menghentakkan kakinya, tanganya ia kepal dan layangkan ke arah pintu kamar yang baru saja di tutup oleh Arrazi.
"Aaarrgghhh lo ngeselin bangeeeetttttt! Awa aja gue bakal bales kejahatan lo sama gue. Liatin aja!" jerit Daniah dengan suara pelan. Tak berani ia untuk berteriak kencang, mengingat dia penghuni baru di apartemen ini.
CEKLEK!
BRUK!
Bantal dan selimut mendarat tepat di wajah Daniah yang membuatnya terhuyung ke belakang hampir jatuh. Siapa lagi pelaku yang melempar bantal dan selimut itu ke wajah Daniah kalau bukan Arrazi.
"RAZONG LO NYEBELIN BANGEEEEEETTTTTT! KEJAM NGGAK PUNYA PERASAAN!!!" kali ini Daniah sudah tidak bisa menahan suaranya. Ia berteriak sambil menggedor pintu kamar Arrazi.
"BERISIK!" teriak Arrazi di barengi suara gedoran dari dalam membuat Daniah kicep.
***
Daniah menghabiskan roti selai coklat yang di buatnya untuk dirinya sendiri, karena ternyata Arrazi sudah terlebih dahulu sarapan saat dirinya masih tidur di sofa. Arrazi, laki-laki itu benar-benar tega membiarkan istrinya tidur di luar. Sedangkan dirinya sendiri tidur nyaman di kamarnya.
Toh, bukannya Daniah sendiri yang tidak mau sekamar dengannya? Itulah alasan Arrazi tidak mengajak Daniah untuk pindah ke kamar. Lagi pula perempuan itu sudah tidur sangat pulas, ketika tengah malam Arrazi keluar kamar untuk mengambil air minum, bahkan ia tidak bangun, saat tidak sengaja Arrazi menyenggol gelas sampai pecah di lantai.
Setelah sarapan, Daniah mencoba untuk menenangkan pikiran dan hatinya, karena ia berniat akan mendatangi Arrazi yang saat ini sedang di ruang kerjanya. Entah apa yang sedang dilakukan laki-laki itu.
Namun pembahasan yang akan di sampaikan Daniah ini penting untuk keberlangsungan pernikahan mereka. Daniah sudah membawa buku, pulpen dan materai saat dirnya sudah masuk ke ruangan Arrazi setelah mendapat izin dari pemilik ruangan itu.
"Mas, saya minta waktu 30 menit untuk membahas tentang pernikahan. Ini penting but saya. Nggak tau kalau buat Mas." ujar Daniah yang duduk di single sofa yang ada di ruangan itu. Tidak jauh dari meja Arrazi. Sementara itu, Arrazi sedang duduk di kursi beroda tiga, sambil menatap layar monitor laptopnya.
"Buatkan saya kopi."
Daniah mengerutkan keningnya. Ini dia yang salah dengar atau Arrazi yang salah ucap. Kok nggak nyambung. Daniah mendengar suara decakan dari mulut suaminya itu. Ketika ia menoleh, ternyata Arrazi sedang menatap dirinya.
"Buatkan saya kopi, baru saya berikan waktu 30." ujar Arrazi memperjelas.
Daniah mengangguk baru paham. Lalu pergi ke dapur. Mau bagaimana pun, ia yang butuh waktu 30 menit. Anggap saja sedang negosiasi, hanya bikin kopi saja mudah bagi Daniah.
Meskipun mudah bagi Daniah untuk membuat kopi, namun ia tetap menggerutu dengan sikap Arrazi yang memerintahnya untuk membuat kopi.
"Seenak jidat dia nyuruh gue bikin kopi! Mentang-mentang gue yang butuh. Ahh elah...dahlah bikinin aja daripada nggak dapat waktu buat ngebahas pernikahan konyol ini, gue waras, gue ngalah....tenang Daniah....keep calm...Gulanya 4 sendok biar manis. Ya semoga aja mulutnya ikut manis juga kalo ngomong."
Sekitar 5 menit Daniah membuat kopi di dapur sambil menggerutu, kini ia kembali ke ruangan Arrazi dan menyimpan itu di meja Arrazi.
"Silahkan di minum kopinya Tuan. Tapi ingat jangan sering-sering minum kopi, bahaya. Banyak mengandung kafein. Nanti gampang kena penyakit. Gampang juga matinya......" cerocos Daniah. Arrazi hanya mendelik kearahnya dengan kalimat terakhir istrinya.
"Waktu 30 menit di mulai." ujar Arrazi membuat sepasang mata Daniah membulat, karena Arrazi memperlihatkan stopwatch yang sudah berjalan di layar HP-Nya.
"Hah? Edun, beneran dihitung!" gerutu Daniah.
"Waktu terus berjalan, Daniah." ujar Arrazi mengingatkan.
Daniah langsung gelagapan. Ia segera mengambil buku, pulpen dan materai yang ia simpan di sofa tadi. Dan berdiri di depan meja Arrazi.
"Saya mau bahas tentang pernikahan kita Mas. Kita sama-sama nggak terima kan ya sama pernikahan ini. Jadi, supaya nggak ada yang di rugikan diantara kita, saya mau bikin perjanjian pernikahan kita ini sama Mas."
"Perjanjian pernikahan?"
"Iya. Perjanjian pernikahan. Saya akan catat apa saja poin perjanjian kita di buku ini, begitu juga dengan Mas. Dan ini akan kita tandatangani bersama."
"Konyol!" cibir Arrazi.
Daniah melayangkan tatapan tajam kearahnya.
"Apanya yang konyol? Justru ini akan menguntungkan bagi kita berdua Mas. Apalagi pernikahan kita ini kan cuma pernikahan perjodohan dari Kakek aku sama Kakek Mas. Jangankan saling cinta, bahkan saling suka aja nggak kan?"
"Kamu kira pernikahan ini permainan?" tanya Arrazi dengan tegas, menatap manik mata coklat milik Daniah.
Daniah menggeleng.
"Nggak gitu juga maksudnya. Ya coba aja kita bertahan dulu sampai setahun kedepan mungkin. Kalo cocok ya lanjut, kalo nggak ya udah selesai. Maka dari itu, supaya nggak ada pihak yang di rugikan, kita buat *wedding agreement* ini. Mas buat, saya juga buat."
Daniah menarik nafa lalu membuangnya pelan, kemudian melanjutkan.
"Nah poin pertama dari perjanjian yang saya buat adalah kita masing-masing aja nggak ada ikut campur urusan satu sama lainnya, nggak ada hubungan suami-istri pada umumnya, di depan keluarga besar baru kita berperan layaknya suami istri beneran......"
"Cukup! Kamu pikir saya mau mengikuti ide konyol kamu ini?"
"Harus."
"Tidak."
"Kenapa? Kenapa tidak? Ohhh, atau jangan-jangan Mas Arrazi udah suka ya sama saya, udah cinta sama saya. Makanya nggak mau?" ujar Daniah menunjuk Arrazi dengan pulpen di pegang sambil memicing mata.
"Nggak usah kepedean!" ketus Arrazi.
"Udahlah ngaku aja nggak usah gengsi." ledek Daniah.
Arrazi mengabaikan Daniah. Ia kembali fokus pada layar laptop di hadapannya. Padahal di dalam dadanya, jantungnya itu berdetak tak beraturan. Kenapa si jantung itu? Arrazi tidak memiliki riwayat penyakit jantung, Woy!
"Ya udah kalo nggak mau ngaku. Sekarang gantian Mas yang bikin perjanjiannya, nih terserah Mas maunya apa. Tapi jangan yang aneh-aneh." ujar Daniah memberikan buku yang sudah berisi catatan perjanjian darinya ke Arrazi. Dia tidak mau banyak debat lagi.
Apalagi saat ini stopwatch sudah menunjukkan menit ke dua puluh lima, sisa lima menit lagi. Arrazi tidak mengambil buku itu, namun ia langsung mengatakannya.
"Semua perjanjian yang tertulis di hapuskan." ujarnya dengan tegas tanpa menoleh sedikit pun. Sontak membuat Daniah mendengus kesal.
"Mana ada isi nya begitu?" protes Daniah.
"Tadi bilangnya terserah saya......."
"Iya. Tapi......"
"Kamu yang bilang barusan, terserah Mas maunya apa." ujar Arrazi mengulang kalimat yang di ucapkan Daniah.
"Ck! Tapi nggak gitu juga. Yang bener ih!" paksa Daniah.
"*Time's up*!" seru Arrazi memperlihatkan layar HP-Nya, stopwatch itu berhenti tepat di menit ke tiga puluh, sambil menampilkan senyuman miring.
Daniah membuang nafas kasar. Dengan picingan mata mengarah ke Arrazi. Lalu berbalik untuk keluar dari ruangan milik orang yang sangat menyebalkan itu dengan hati yang gondok setengah mati.
Meskipun ia masih belum puas, namun Daniah tidak akan ingkar janji. Ia meminta waktu tiga puluh menit dan Arrazi sudah memberikannya. Ahh, mungkin di lain waktu Daniah bisa membicarakan tentang pernikahannya ini dengan Arrazi.
"DANIAH!!" teriak Arrazi dengan suara keras sampai memenuhi ruangannya.
Langkah Daniah terhenti, ia terpaksa berbalik badan dengan kesal, karena teriakan Arrazi.
"Apaan sih? Nggak usah teriak-teriak begitu!" omel Daniah.
"Orang yang di omeli itu beranjak dari duduknya menghampiri Daniah dengan membawa secangkir kopi buatan Daniah. Dengan wajah yang merah karena marah.
"Ini apa?" ketus Arrazi mengulurkan tangan kananya yang membawa secangkir kopi.
"Itu kopi. Kan Mas sendiri yang minta tadi. Ish si pikun!" ledek Daniah.
"Daniah saya tidak bercanda. Apa maksud kamu membuat kpi asin ini HAH?"
"Asin? Masa sih?" tanya Daniah dengan heran, alisnya mengerut melihat secangkir kopi yang terlihat masih utuh secangkir itu.
"Ah, ini paling alasan Mas aja kan, pengen ngomelin saya lagi. Jelas-jelas kopinya manis gitu, saya kasih gula empat sedok kok." ujar Daniah dengan enteng dan malah bersuuzon kepada laki-laki di depannya.
Tidak mungkin kan Daniah salah memasukkan garam ke kopi itu. Daniah tahu kok bedanya gula dan garam. Namun detik kemudian raut wajah Daniah berubah saat dirinya teringat waktu membuat kopi ia tidak memperhatikan toples berisi apa yang ia ambil.
Daniah sibuk menggerutu, lalu ia menuangkan serbuk putih dari toples ke dalam cangkir tanpa tahu serbuk putih itu apakah gula atau garam.
"Gula empat sendok." ucap Arrazi dengan sarkas, lalu ia memicingkan mata dan tersenyum tipis.
Melihat aura yang tidak enak, Daniah hendak kabur dari ruangan itu, namun sayangnya bahu Daniah keburu di tahan oleh Arrazi.
"Oke. Sekarang kamu cobain rasa kopi ini. Apa benar gula empat sendok yang kamu masukan atau garam empat sendok." ujar Arrazi dengan nada mengintimidasi.
Ia menekan bahu Daniah untuk mendekat ke tubuhnya dengan tangan kirinya. Daniah menggelengkan kepalanya sebelum cangkir berisi kopi itu mendekat ke mulutnya dan segera ia tutup mulutnya dengan kedua tangan.
Buku yang tadinya ia pegang kini sudah terlepas dai tangannya dan mendarat di lantai. Bukannya tidak mau mencoba merasakan kopi yang kata Arrazi itu asin, tapi Daniah sama sekali tidak bisa minum kopi sedikitpun. Kopi sama dengan racun bagi tubuhnya.
"Kamu cobain rasa kopi ini!"
"........"
"Buka mulut kamu! Cobain rasa kopi ini!" sarkas Arrazi.
"Hmmmmmmppphhhh."
Daniah menggeleng brutal. Melihat penolakan Daniah, Arrazi tidak beri ampun, ia berusaha mengenyahkan kedua tangan Daniah yang menutup mulutnya dengan tangan kirinya.
Daniah menggeleng dengan keras, sekuat tenaga mempertahankan tangannya untuk menutup mulutnya. Ia tidak mau racun bernama kopi itu masuk ke tubuhnya. Namun sayangnya, tenaga Arrazi jauh lebih besar di banding dirinya, mau sekuat apapun melawan Daniah akan kalah juga.
Arrazi berhasil melepaskan tangan Daniah dan langsung mencecoki istrinya itu dengan kopi.
"Rasakan dan telan kopinya!"
Daniah menggeleng keras. Rasa pahit dan asin terasa di mulutnya, namun bukan itu yang jadi permasalahannya. Daniah tidak bisa membiarkan kopi yang memenuhi mulutnya itu masuk melewati tenggorokannya.
Baru saja Daniah akan memuntahkan kopi dari mulutnya, Arrazi langsung membekap mulut Daniah, menahan kopi itu keluar dari mulut Daniah.
"Telan Daniah!" sarkas Arrazi.
Daniah meronta-ronta, ingin melepaskan bekapan tangan Arrazi. Namun entah setan dari mana yang merasuki Arrazi, ia tetap membekap mulut Daniah seolah menyimpan dendam kepada Daniah, sampai memaksa istrinya untuk menelan kopi asin itu.
Arrazi ingin istrinya itu bisa merasakan apa yang dia rasakan juga. Ah, pendendam sekali Arrazi ini! Bahkan tangan Daniah di tangan Arrazi juga mata Daniah yang sayu dan sudah mengeluarkan air mata itu, di hiraukan nya.
Arrazi tetap memaksa agar Daniah merasakan begitu aneh kopi buatannya itu.
"Cepat telan, baru saya lepaskan!" ujar Arrazi dengan sarkas, tak ada belas kasihan.
Dengan putus asa, Daniah menelan kopi yang sudah ada di dalam mulutnya dan barulah Arrazi melepaskan bekapan tangannya dari mulut Daniah. Beberapa detik kemudian, Daniah langsung ambruk. Ia jatuh di lantai dengan lemas.
Wajahnya langsung pucat, merasakan dadanya begitu sesak dan badannya langsung gemeteran. Kopi itu sudah masuk ke dalam tubuh Daniah dan meracuninya.
"Nggak usah akting Daniah. Cepat keluar dari sini." ujar Arrazi melihat Daniah yang duduk dengan kepala tertunduk sambil bersedekap tangan.
"Hoeeekk!"
"Heh?"
Daniah memuntahkan kembali kopi yang baru masuk beserta potongan kecil roti yang ai makan saat sarapan tadi di lantai, mengenai kaki Arrazi.
"Daniah kamu........" ucap Arrazi tertahan, saat ia berjongkok untuk mengecek.
Melihat wajah Daniah yang begitu pucat. Arrazi jadi panik sendiri. Ada apa dengan istrinya itu? Tanpa banyak bicara, Arrazi langsung mengangkat tubuh Daniah yang lemah, lalu membawanya ke kamar.
Daniah muntah kembali saat tangan Arrazi membuka pintu kamar. Muntahnya itu menganai tepat di baju bagian dada Arrazi. Namun Arrazi mengabaikan hal itu. Dengan perlahan, Arrazi membaringkan tubuh Daniah di kasur. Lalu Arrazi pergi ke dapur mengambil air hangat untu Daniah.
Setelah memberikan air putih hangat, Arrazi mengambil handuk kecil dan air sebaskom untuk membersihkan sisa muntahan yang menempel di sekitar mulut dan baju Daniah, lalu ia melepaskan baju Daniah, yang untung saja Daniah memakai tanktop di dalamnya.
Arrazi membaluri punggung, tengkuk dan dada Daniah dengan minyak kayu putih, setelah itu ia mengambil baju Daniah yang ada di lemari, lalu memakaikan di tubuh istrinya. Daniah tidak bisa menolak apapun yang dilakukan suaminya.
Ia benar-benar lemas, kepalanya kini terasa pusing, dadanya juga sesak. Ia diam, memperhatikan setiap gerakan Arrazi, dari sudut matanya mengeluarkan air mata. Daniah menangis, ia begitu marah kepada orang yang saat ini sedang memakaikan baju di tubuhnya.
Seteguk kopi saja sudah membuatnya sesak nafas. Apalagi hampir secangkir yang tadi di cecoki Arrazi. Arrazi gila! Dia sepertinya ingin membunuh Daniah! Selesa memakaikan Daniah baju, barulah Arrazi melepas bajunya di hadapan Daniah.
Tanpa di sadarinya, Daniah langsung memalingkan wajah dari Arrazi. Arrazi menyimpan bajunya bersama baju Daniah yang kotor di lantai, lalu ia ambil baju ganti di lemari. Dasar tidak tahu malu! Buka baju di depan cewek!
Arrazi kembali menghampiri Daniah, di sisi ranjang dengan lutut yang menjadi tumpuan badannya. Ia menyelipkan rambut Daniah yang sedikit menutupi wajah cantiknya ke belakang telinga.
"Gimana kondisi kamu, Nia?" baru kali ini Arrazi memanggil Daniah dengan sebutan 'NIA' dan juga dengan nada suara yang lembut.
Daniah hanya menatap sekilas ke arah Arrazi dengan mata basah.
"Jahat!" ketus Daniah dengan lirih.
"Maaf Nia, saya nggak tau kalau kamu nggak bisa minum kopi." ujar Arrazi dengan lirih, merasa bersalah.
Benar, Arrazi baru tahu kalau Daniah tidak bisa minum kopi karena reaksi Daniah setelah menelan kopi tadi. Sebelumnya Arrazi pernah menangani pasien dengan kasus yang sama.
Namun kali ini reaksi yang di berikan Daniah cukup parah. Sepertinya Daniah alergi akut dengan kopi. Arrazi sampai panik sendiri tadi.
"Maaf Daniah." ucap Arrazi lagi, namun di abaikan oleh Daniah. Perempuan itu memilih untuk berpaling darinya dan memejamkan mata.
Arrazi menghela nafas berat. Ia sangat merasa bersalah dengan tindakanya yang kelewatan itu. Bisa-bisanya Arrazi bersikap kejam terhadap istrinya hanya karena kopi yang rasanya asin itu.
ha..ha...ha