Mencari Daddy Sugar? Oh no!
Vina Rijayani, mahasiswi 21 tahun, diperhadapkan pada ekonomi sulit, serba berkekurangan ini dan itu. Selain dirinya, ia harus menafkahi dua adiknya yang masih sangat tanggung.
Bimo, presdir kaya dan tampan, menawarkan segala kenyamanan hidup, asal bersedia menjadi seorang sugar baby baginya.
Akankah Vina menerima tawaran Bimo? Yuk, ikuti kisahnya di SUGAR DATING!
Kisah ini hanya fantasi author semata😍
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi Payang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
9. Ditindas
"Kamu ngapain pejam mata?"
Aku buru-buru membuka mataku, menemukan tatapan heran tuan Bimo padaku.
"Aku... aku fikir tuan mau menciumku," cicitku jujur.
Pletak.
"Ugh," aku memegangi jidatku yang tidak sakit setelah disentil pria itu.
"Ternyata otak kamu yang mesum selama ini. Sok-sok'an meneriaki saya mesum. Hei, dengar ya, saya ini laki-laki yang higienis, nggak sembarangan menyentuh perempuan yang belum dilabeli sehat anunya oleh dokter."
Hampir saja aku tersedak. Seumur hidup, baru kali ini menemukan pria yang memiliki mulut tidak berfilter sepertinya. Aku percaya pada kata-katanya? Tentu saja tidak. Aku yakin tuan Bimo hanya mencoba menarik simpatiku.
"Siapa yang melakukan itu padamu?" tuan Bimo menunjuk belahan bawah bibirku yang pecah.
"Bukan siapa-siapa tuan, ini kejedot lantai saat aku terjatuh tadi," sahutku, lalu memalingkan wajah.
Lagi-lagi ia menarik daguku dengan jarinya, kembali menghadapkan wajahku padanya.
"Aku tahu kamu tidak berbohong, tapi aku yakin kamu tidak lengkap menceritakannya. Apa yang melakukan ini adalah orang yang sama menamparmu kemaren?" dia menatapku, menantikan jawaban yang tidak kunjung keluar dari mulutku.
"Aku sudah memperingatkan pak Murdiono, dekanmu itu, bila mahasiswi yang bernama Riska itu masih menjahatimu, aku akan memindahkanmu dari kampus ini."
Deg.
Mataku melebar. Jadi, pak Murdiono mengetahuinya dari tuan Bimo, bukan kak Heru. Tapi, bagaimana tuan Bimo bisa tahu tentang hal itu? Siapa yang memberitahunya?
"Kamu heran?" tuan Bimo seakan tahu apa yang sedang aku fikirkan.
Pria itu menjalankan mobilnya perlahan meninggalkan gerbang kampus, sementara Mirna dan para mahasiswa mahasiswi lainnya masih menatap mobil yang dikemudikan tuan Bimo dengan raut penuh kekepoan.
"Aku tahu banyak hal tanpa kamu memberitahuku. Jadi, jangan coba-coba berbohong padaku," imbuhnya, menatap lalu lintas didepan yang padat seperti biasanya.
"Saya tidak mau pindah tuan, saya masih ingin kuliah disini," melirik dengan ekor mataku pada tuan Bimo yang fokus pada kemudinya.
"Tergantung kamu. Kalau kamu masih bisa ditindas seperti sebelumnya, lebih baik kamu menjauh dari orang-orang yang hobi menindasmu itu. Apa kamu senang menjadi bulan-bulanan mereka seperti manusia bodoh?"
Aku terdiam sesaat, hati ini ngilu mendengarnya.
"Ya, saya memang bodoh tuan, mudah ditindas, termasuk ditindas oleh tuan."
Aku melirik tuan Bimo disebelahku dengan ekor mataku, pria itu bergeming, tak mengeluarkan sepatah kata apapun lagi.
...***...
"Hei, bu Romlah!"
"Iya jeng Anggi," Romlah yang baru selesai melayani pelanggannya segera menoleh kearah datangnya suara.
"Sepertinya senang sekali, dapet rejeki nomplok ya?" godanya, jarang-jarang melihat wajah wanita besar itu seceria itu, lebih sering cemberut dan marah-marah.
"Iya dong, pinter banget sih si bu Romlah ini nebaknya," senyum Anggi melebar.
"Bagus dong jeng, saya ikut senang," Romlah ikut tersenyum lebar.
"Berkat idenya bu Romlah tadi pagi suruh saya menelpon langsung, ya saya telpon. Eh, ternyata yang ngangkat si bosnya Vina. Dan jadilah saya dapet 20 juta, di transfer langsung sama bosnya itu, bayarin utangnya si Vina dan adik-adiknya," papar Anggi panjang lebar.
Romlah termenung mendengarnya, semalam ia memang menghubungi Vina tapi tidak aktif. Jadi dirinya hanya memberitahukan lewat sms saja, kalau adik-adiknya itu tidur bersamanya karena takut gelap, akibat lampu padam dirumah mereka. Ternyata subuhnya ada balasan, kalau gadis itu meminta nomor rekeningnya karena tidak bisa kembali dalam beberapa minggu dengan alasan baru berkerja.
Tidak lama berselang, dirinya yang sedang bergelut didapur, menyiapkan sarapan begitu kaget saat mendapat notif bank. Saking penasarannya ia buru-buru ke ATM terdekat. Ternyata benar, saldonya bertambah 70 juta.
Tangannya gemetar begitu melihat angka itu, membuat security yang memperhatikan bertanya apakah dirinya baik-baik saja.
Bagaimana mungkin Vina dapat uang sebanyak itu? Batinnya subuh tadi. Dan sekarang dirinya kembali mempertanyakan hal yang sama, bagaimana gadis itu bisa mendapatkan uang sebanyak itu?
Dan obrolan tadi pagi dengan Anggi, bagaimana wanita besar itu asal berceloteh mengatai kemungkinan keponakannya itu bisa saja menjadi simpanan om-om membuat dirinya jadi kefikiran walau gadis itu bukan putrinya.
"Saya nyesel loh bu Romlah, kenapa tidak menyebutkan angka 30 atau 60 juta, pasti bosnya Vina itu transfer," Anggi terus berceloteh.
"Nanti saya minta lagi deh. Lumayankan, bosnya pasti transfer lagi," ucapanya lagi, dengan raut penuh perencanaan.
"Sebaiknya jangan jeng, kasian Vina. Gaji seorang OB diperusahaan tidaklah besar, apalagi hanya paruh waktu. Dia pasti banyak berhutang pada bosnya demi mengirimkan adik-adiknya uang, juga mengirim ke jeng Anggi," ucapnya, tetap berfikir positif.
"Dia itu keponakanku, wajar aku minta, apa lagi dulu aku sudah banyak membantu mereka bu Romlah," Anggi tetap pada pemikirannya yang aji mumpung itu.
"Bukan membantu jeng, tapi dihitung hutang, Vina kan bayar pake rumah bapaknya, lalu bu Romlah minta lagi ke bosnya 20 juta yang bukan hutangnya Vina," tak sadar Romlah berucap demikian saking sebel dengan Anggi yang bicara asal, tanpa difikir.
Raut gembira Anggi berubah dalam sekejap. Apa yang dilontarkan Romlah kontan menyulut emosinya walau didalam hati ia mengakuinya.
"Suka-suka saya. Keponakan, keponakan saya! Kok situ yang nggak terima, pasti ngiri ya?!" ketus Anggi kesal.
"Bukan ngiri jeng, mereka anak yatim piatu, dosa! Memanfaatkan ketidak berdayaan mereka jeng."
"Dosa-dosa-dosa, emangnya situ nggak makan uangnya juga, kan udah dikirim juga sama si Vina, malah duluan dari saya. Siapa yang tahu kalau situ lebih banyak!" tuduhnya.
Romlah hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat sikap tetangganya ini, susah sekali dinasehatin hal yang benar.
...***...
"Kita ngapain kesini tuan?" aku memandangi sekelilingku, saat tuan Bimo memarkirkan mobilnya di area parkir rumah sakit.
"Berobat, jangan sampai bibirmu infeksi, sekalian periksa kelamin."
"Uhuk!" aku tersedak, wajahku memerah, begitu juga bola mataku yang sedikit berair.
"Ke-kelamin?" aku terbata.
"Iya, sekalian kita menemui dokter kelamin. Aneh?" pria itu menunjukan wajah heran sembari keluar dari belakang kemudi.
Aku bergeming, kepalaku kian riuh tentang banyak hal.
"Ayo turun, tunggu apalagi, aku tidak banyak waktu," tuan Bimo membuka pintu mobilnya disebelahku.
Aku turun tanpa bicara, berjalan gontai disebelahnya dengan fikiran tak fokus masuk kedalam rumah sakit.
Bersambung...✍️