Dulu, nilai-nilai Chira sering berada di peringkat terakhir.
Namun, suatu hari, Chira berhasil menyapu bersih semua peringkat pertama.
Orang-orang berkata:
"Nilai Chira yang sekarang masih terlalu rendah untuk menunjukkan betapa hebatnya dia."
Dia adalah mesin pengerjaan soal tanpa perasaan.
Shen Zul, yang biasanya selalu mendominasi di Kota Lin, merasa sedikit frustrasi karena Chira pernah berkata:
"Kakak ini adalah gadis yang tidak akan pernah bisa kau kejar."
Di reuni sekolah beberapa waktu kemudian, seseorang yang nekat bertanya pada Shen Zul setelah mabuk:
"Ipan, apakah kau jatuh cinta pada Chira pada pandangan pertama, atau karena waktu yang membuatmu jatuh hati?"
Shen Zul hanya tersenyum tanpa menjawab. Namun, pikirannya tiba-tiba melayang ke momen pertama kali Chira membuatkan koktail untuknya. Di tengah dentuman musik yang memekakkan telinga, entah kenapa dia mengatakan sesuatu yang Chira tidak bisa dengar dengan jelas:
"Setelah minum minumanmu, aku milikmu."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pria Bernada, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Nggak Semudah Itu Buat Ngebahagiain
Chira itu orang yang jago banget nutupin perasaannya.
Pas ada yang ngetok pintu kamarnya, dia buru-buru lap air mata dan ngaca dulu, buat pastiin matanya nggak kelihatan merah.
"Rara, ini aku," suara Indah kedengeran.
Meskipun Chira sebenernya nggak terlalu pengen ketemu, dia tetep buka pintu.
Begitu ngelihat Chira, Indah langsung ngehentiin omongan yang tadi mau dia bilang.
Dia paham sih, jadi ibu tiri itu nggak gampang. Tapi dia nggak nyangka, setelah sepuluh tahun, anak ini masih belum bisa anggap dia kayak keluarga.
"Rara, kamu udah lama nggak pulang. Aku udah sempet bersihin kamar kamu, beberapa baju lama mungkin udah nggak muat, jadi aku taruh di satu sisi lemari. Terus aku juga beli beberapa baju baru."
“Ok.”
"Dan, Rara, kamu hampir setahun nggak pulang, masih masa pertumbuhan kan. Aku nggak tau ukuran baju dalem kamu, jadi aku beli beberapa ukuran yang kira-kira cocok buat kamu, semuanya udah aku taruh di lemari. Pilih aja yang pas."
Chira ngelihatin Ibu Tirinya, Indah. Setau dia, Indah bahkan belum nyampe umur 40.
Mukanya nggak beda jauh dari cewek umur 30-an, tampilannya lembut dan cantik sesuai namanya. Punya anak lagi sebenernya bukan hal yang aneh buatnya.
Indah keliatan agak canggung diliatin gitu sama Chira. “A-ada apa?”
Chira senyum sinis, “Kalau kamu mau ngomong sesuatu, langsung aja.”
Kayak niatnya ketahuan, Indah ketawa canggung, terus mulai ngomong, “Rara, aku tau mungkin kamu nggak suka sama anak yang ada di perutku ini. Tapi anak ini sebenernya nggak direncanain sama aku dan ayahmu. Ayahmu tuh, dia sayang banget sama kamu.”
Chira senyum. Pasangan ini emang kompak banget.
“Aku ngomong terus terang aja ya. Aku emang nggak suka sama anak ini, tapi aku juga nggak bakal ngelakuin drama kayak di sinetron; dorong kamu jatuh dari tangga atau ngasih kamu obat penggugur. Melahirkan anak ya urusan kalian, jangan sok-sokan kayak aku punya kuasa buat ngelarang. Palsu banget. Kamu udah cukup tua buat hamil, buat kesehatan, jangan sering-sering ngobrol sama aku, ntar malah aku yang bikin kamu stres.”
Abis ngomong dengan nada tajam, Chira langsung nutup pintu kamarnya.
Dia duduk di lantai sambil bersandar ke pintu, nggak tau berapa lama dia merenung sebelum akhirnya bangun dan buka lemari pakaian.
Ngeliat baju-baju yang udah ditata rapi di dalamnya, Chira nggak bisa nahan senyum, meskipun matanya tetep datar. Kayaknya Indah usaha banget buat nyenengin dia.
Chira asal ngambil sepasang piyama dan masuk ke kamar mandi.
Dia emang nggak suka sama Indah.
Tapi dia tuh orang yang kalem, bahkan kadang bikin dirinya sendiri merinding.
Dia nggak pernah bertingkah kekanak-kanakan cuma gara-gara nggak suka.
Dan sekarang, dia juga bukan anak kecil polos lagi.
Indah masuk dalam hidupnya pas dia umur sembilan tahun.
Nanda, ayahnya, nyoba biar dia cepet nerima ibu tirinya ini dengan ngebiarin Indah yang ngurus dia sebagian besar waktu.
Dia nggak nangis atau ngeluh, tapi dia juga nggak pernah deket sama Indah.
Makan saat waktunya makan, ngerjain PR saat waktunya belajar, dan sekolah seperti biasa.
Cemilan yang dibeliin Indah, dia tolak.
Boneka yang dikasih Indah, dia juga tolak.
Gaun cantik yang dikasih Indah, tetep dia tolak.
Anak kecil ini pake cara kekanak-kanakan ini buat nunjukin ketidakpuasannya.
Sampai akhirnya, pas masuk SMP, dia tiba-tiba minta ke ayahnya, Nanda, buat sekolah di selatan.
Saat itu, Indah lagi hamil, dan Nanda baru sadar kalau anaknya ini sebenernya nggak pernah bener-bener nerima istri keduanya.
Besoknya, pas Hari Raya Pertengahan Musim Gugur, Chira bangun pagi-pagi banget. Abis beres-beres, dia langsung cabut dari rumah.
Di bagian timur kota ini ada area vila yang juga jadi tempat wisata. Dia pengen jalan-jalan buat nenangin diri.
Chira jalan terus ke arah timur, samar-samar dia inget ada taman terbuka di sana. Pas bulan September gini, di sana udah banyak banget melati putih kecil yang mekar, wanginya lembut banget, bikin hati adem.
Di sisi lain, ada beberapa pohon oleander merah cerah, bunganya padet banget di tiap cabang. Kontras warna merahnya langsung nyita perhatian.
Chira duduk di tanah lapang sembarangan.
Hari ini, dia pakai gaun gradasi warna langit malam, dipadukan sama kardigan putih tipis. Rambutnya dikuncir simpel pake ikat rambut hitam, mukanya bersih tanpa riasan—kelihatan kayak cewek polos tetangga sebelah.
Dia bisa anteng di sana sendirian, kalau nggak ada yang ganggu.
“Chira, lagi menikmati bunga ya,” tiba-tiba ada suara yang ganggu kedamaiannya.
Chira nengok, ada cowok pake celana pendek hitam sama kaos ungu polos lagi senyum ke arahnya. Sandalnya hitam, rambutnya agak berantakan kayak abis bangun tidur, keliatan jelas baru keluar dari rumah.
“Ngapain lo di sini?”
Zul jalan mendekat. Meski kelihatan masih ngantuk dan acak-acakan, dia tetep punya pesona keren yang agak tengil. Dia ngomong pelan, “Bukannya harusnya gue yang nanya lo? Jangan bilang lo nggak tau rumah gue di sini, lo pagi-pagi udah nyantai di taman rumah gue, emang bukan buat nyari gue?”
Narsis banget emang.
Zul senyum lebar, dia tahu banget semalam dia begadang main sama Fajar, baru tidur jam setengah tiga pagi. Pagi ini dia kebangun, iseng-iseng liat ke jendela, eh, malah nemu pemandangan bagus di luar.
Saking senengnya, dia jadi lupa ngantuk.
Abis dengerin ocehan Zul, Chira baru ngeh, rumah cowok itu emang ada di deket sini.
Dia liat taman di sekitarnya, terus melirik vila yang ada di depan taman, trus natap Zul dari atas ke bawah, dari baju sampai sendal yang semua brand mahal.
Orang kaya banget sih.
Tamannya dibuka bebas gitu, kayak nggak takut ada yang nyolong bunga. Liat Chira diem aja, Zul lanjut, “Chira, jangan-jangan rumah lo juga di sini?”
“Nggak mungkin lah, kenapa kemarin nggak bilang?”
“Aku biasanya nggak tinggal di sini,” Chira jawab datar.
“Jadi, rumah lo di sini juga?” Zul ketawa, “Kita ini jodoh apa gimana?”
Jodoh dari mana.
Chira ngerasa liburannya kali ini bakal nggak tenang.
Dan bener aja, firasatnya nggak salah.
Hari itu juga, Zul berhasil nemuin alamat rumah Chira dengan tepat.
Malamnya, Chira nolak ajakan Ayahnya buat liat bulan, dia milih balik ke kamarnya. Ayahnya dan istrinya malah asik sama Cheli liat bulan di atap.
Tiba-tiba ada yang nimpuk jendelanya pake batu.
Chira: “…”
Begitu dia buka jendela, dia ngeliat cowok berbaju ungu yang dia temuin tadi siang.
Sekarang, dia lagi ngelambai ke arahnya sambil senyum.
Mulutnya bergerak-gerak, Chira bisa baca dari gerakan bibirnya, dia bilang, “Turun ke bawah.”
Chira masih nggak mau.
Akhirnya cowok itu makin nekat, mulutnya jelas-jelas ngomong, “Kalau lo nggak turun, gue naik.”
Gila njir ni bocah ganggu gua Mulu .
Akhirnya Chira turun juga, tapi mukanya bete, “Lo harus ada urusan penting.”
Pesannya jelas banget, kalau nggak penting, dia bakal ngamuk.