Emily seorang model yang sukses dan terkenal. Namun, kesuksesan itu tidak dia dapatkan dengan gampang dan berjalan mulus. Mimpi buruk terjadi disaat dia menjadi boneka *** pribadi milik presedir di agensi tempat dia bekerja. Mulut terbungkam saat dia ingin berteriak, namun ancaman demi ancaman terlihat jelas di depan matanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yeppeudalee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Permainan Di Belakangmu
📍Dallas Company
-Ruang Pertemuan-
Reymond memasuki ruang pertemuan kecil di sudut gedung, langkahnya tenang tetapi penuh kewibawaan. Di dalam, Yubin dan Emily sudah duduk menunggu. Yubin, manajer yang selalu terlihat rapi, segera berdiri menyambut. Emily, di sisi lain, hanya mengangkat pandangannya sesaat, lalu kembali menunduk dengan gugup.
“Siang, Pak Reymond,” sapa Yubin, sambil mengulurkan tangan.
“Siang, Yubin,” balas Reymond sambil menjabat tangan itu. Pandangannya beralih ke Emily yang masih diam di kursinya. “Kalian datang lebih awal, ternyata.”
Yubin tersenyum. “Iya, Pak. Kebetulan Emily akhir-akhir ini pekerjaannya tidak terlalu padat, jadi kami memutuskan untuk datang lebih awal ke pertemuan ini.”
Reymond mengangguk kecil. “Ah, maaf kalau saya menghubungi kalian mendadak. Terima kasih sudah menyempatkan waktu untuk datang.”
“Tidak masalah, Pak,” balas Yubin santai.
Reymond duduk di kursinya dan menatap keduanya dengan serius. “Saya meminta kalian kemari untuk membahas rencana perlindungan bagi setiap artis, aktor, idol, dan model di bawah naungan Mvvo Entertainment. Saya ingin memastikan setiap dari kalian merasa aman, baik di dalam maupun di luar lingkungan kerja. Kebetulan saya ingin bertemu langsung dengan beberapa dari kalian di waktu-waktu tertentu.”
“Baik, Pak Reymond,” jawab Yubin, penuh perhatian.
Emily, yang duduk diam sejak tadi, mencuri pandang ke arah Reymond. Tatapan pria itu begitu serius, fokus pada dokumen di tangannya. Ia menggigit bibir bawahnya, mencoba menghalau pikiran yang tiba-tiba melintas.
“Kenapa aku malah berpikir bagaimana caranya agar aku bisa terus dekat dengannya? Apa yang salah denganku?” gumamnya dalam hati.
Saat Reymond mengangkat pandangannya, mata mereka bertemu sejenak. Emily buru-buru menunduk, mencoba menyembunyikan kegugupannya. Reymond, tanpa komentar, menyerahkan beberapa dokumen kepada Yubin.
“Ini surat-surat pernyataan penting,” ujar Reymond sambil menyodorkan dokumen itu. “Kalian bisa membacanya di waktu senggang nanti. Isinya adalah persetujuan dari kedua belah pihak mengenai program perlindungan yang akan kami terapkan.”
“Baik, Pak,” jawab Yubin sambil menerima dokumen itu.
Emily hanya menatap dokumen di atas meja, jari-jarinya menyentuh ujung kertas itu dengan pelan. Pikirannya kembali melayang.
“Perlindungan? Aku baru tahu soal ini. Kalau bicara perlindungan, apa mungkin… Pak Reymond akan melindungi aku juga?” pikirnya, dada berdebar tak menentu.
“Pak Reymond?” panggil Emily tiba-tiba, suaranya ragu-ragu.
Reymond mengalihkan pandangan ke arahnya. “Iya, Emily?”
Emily menelan ludah, mencoba mengatur kata-kata. “Surat perlindungan ini… apa akan membantu saya, atau yang lain, mendapatkan perlindungan dari hal-hal buruk, baik di dalam maupun di luar perusahaan?”
Reymond mengangguk. “Iya, semacam itu. Program ini dirancang untuk melindungi kalian dari berbagai situasi yang mungkin membahayakan, baik secara profesional maupun pribadi.”
Emily terdiam sejenak, lalu mengangkat pandangannya lagi. Kali ini, sorot matanya terlihat lebih tenang.
“Jadi, ini juga ada hubungannya dengan jabatan baru yang sedang Bapak ajukan di Mvvo?” tanyanya.
Reymond tersenyum tipis. “Betul. Program ini juga menjadi bagian dari pengajuan saya sebagai kandidat CEO. Mungkin kalian sudah mendengar bahwa saya akan maju dalam pemilihan nanti.”
Emily tersenyum kecil mendengar itu. Entah kenapa, hati kecilnya merasa lega. Seolah program ini adalah jawaban dari sesuatu yang selama ini ia khawatirkan.
“Terima kasih, Pak Reymond,” ucapnya pelan, tetapi suaranya cukup jelas untuk didengar oleh pria itu.
Reymond menatap Emily sekilas, sudut bibirnya sedikit melengkung. “Hm, semoga kamu suka dengan program ini, Emily.”
“Saya suka, Pak. Saya sangat suka,” jawab Emily sambil tersenyum, tatapannya bertemu dengan Reymond.
Dalam keheningan sesaat, senyuman Emily bertahan sedikit lebih lama dari yang ia sadari. Reymond menahan diri untuk tidak memalingkan wajah lebih cepat, meski ia tahu bahwa tatapan itu mengandung sesuatu yang lebih dari sekadar rasa hormat.
***
— Dalam Mobil Van —
Yubin menatap Emily dengan sudut matanya, sambil menghela napas pelan.
“Wajahmu terlihat bahagia,” komentarnya, nada suaranya terdengar setengah menggoda, setengah waspada.
Emily, yang tengah memeriksa bayangan dirinya di kaca jendela, langsung menoleh. “Apa ini terlihat jelas, eonnie?” tanyanya dengan nada bercanda.
Yubin melipat tangan di dadanya, lalu menggeleng kecil. “Emily, aku sudah memperingatimu. Jangan terlalu berlebihan.”
“Aku gak berlebihan, eonnie,” sanggah Emily, meski pipinya mulai memerah.
Yubin mengangkat alis sambil menatapnya dari ujung kepala hingga ujung kaki. “Bahkan, penampilanmu terlihat jauh lebih cantik hari ini. Makeup natural-mu, senyummu… semuanya. Kamu pasti sadar.”
“Eunggg…” Emily mengalihkan pandangannya, merasa tertangkap basah.
Yubin mencondongkan tubuh sedikit lebih dekat, tatapannya berubah serius. “Please, Emily. Kamu tahu akibatnya kalau kamu ngeyel. Jangan sampai kamu menghancurkan karirmu sendiri.”
Emily menunduk, memainkan ujung jaketnya dengan gelisah. “Aku…”
“Dengarkan aku baik-baik,” potong Yubin dengan tegas, nada suaranya berubah seperti seorang kakak yang memberi peringatan keras. “Kamu tahu lingkungan ini seperti apa. Satu langkah salah, semua orang akan membicarakanmu, dan bukan untuk alasan yang baik.”
“Iya, eonnie,” jawab Emily akhirnya, suaranya lirih.
Emily mengalihkan pandangannya keluar jendela, memperhatikan jalanan yang penuh kendaraan. Tapi pikirannya tidak benar-benar fokus pada apa yang dilihatnya.
“Menghancurkan karirku sendiri? Apa eonnie benar?” pikirnya, dadanya terasa sesak. Ia menggigit bibirnya, mencoba menghalau perasaan yang semakin tidak menentu.
Namun, semakin ia mencoba mengabaikannya, pikiran itu semakin menyesakkan.
“Aku sudah gila. Entah sejak kapan pikiran-pikiran ini muncul. Bahkan, aku sampai berpikir jorok… tentang dia. Tentang Pak Reymond.”
Emily menghela napas, tangannya mengepal erat di pangkuan. Wajahnya perlahan memerah bukan karena malu, tapi karena rasa bersalah yang terus menghantuinya.
“Kalau orang itu Pak Reymond… aku bahkan membayangkan melayaninya dengan bahagia. Apa-apaan ini? Apa mungkin aku sudah kehilangan akal? Apa tekanan dari presedir membuatku begini? Atau… apa aku hanya haus akan sesuatu yang tidak pernah benar-benar kumiliki? Tapi kenapa harus dia? Kenapa Reymond?”
Matanya berkaca-kaca, tetapi ia segera memalingkan wajahnya agar Yubin tidak menyadarinya. Ia tahu, jika ia tidak bisa mengendalikan dirinya, semuanya akan runtuh. Tapi perasaan itu… semakin sulit diabaikan.
“Emily?” panggil Yubin, sedikit curiga dengan perubahan raut wajahnya.
Emily tersenyum kecil, meski itu jelas dipaksakan. “Aku baik-baik saja, eonnie.”
“Pastikan kamu tetap begitu,” jawab Yubin dengan nada setengah percaya. “Kendalikan dirimu, oke?”
Emily hanya mengangguk pelan, sambil kembali memandang jalanan di luar, menyembunyikan gejolak di hatinya.
***
- In Calling -
“Sayang, kamu mau makan malam apa hari ini?”
“Ada apa Rein?”
“Aku akan menyiapkannya untukmu.” Ucap Rein yang kemudian menatap seseorang di hadapannya.
“Tidak usah, berikan saja pada chef di rumah. Kamu lagi hamil, jangan sampai kelelahan.”
“Eunggg … tapi aku sangat bosan.”
“Saya harus bertemu dengan klien, Rein.”
“Ya udah deh, byeee…”
“Hm, bye.”
Panggilan itu berakhir singkat.
“Kamu sangat manja dengannya.”
“Tentu saja, karena dia suami yang paling aku cintai.” Rein tersenyum sembari mengelus-elus perutnya sendiri.
“Saya mendengar kalau dia menjadi kandidat calon CEO di perusahaan ayahmu.”
“He’em, aku sangat bahagia karena akhirnya, dia mau mengikuti keinginanku.”
“Begitu.”
“Kenapa?”
“Gak, gak kenapa-kenapa.”
“Kakak cemburu ya?”
“Wajah saya terlihat cemburu?”
“Iya, terlihat jelas.”
“Yang benar saja, Rein.”
“Aku tahu kalau kakak cemburu, makanya aku datang kemari.” Ucap Rein mendekati seorang pria yang dia panggil dengan sebutan kakak itu.
“Hhhhh…” dan pria itu menghela.
“Tenang saja, kita akan tetap terus berhubungan. Percaya denganku, kak Michael.” Dan pria itu adalah Michael, senior yang cukup dikenal Reymond.
Perlahan, Rein duduk di atas pangkuan menghadap Michael. Mereka saling berpandangan satu sama lainnya.
“Tapi, sejak kehamilanku, dia tidak pernah menyentuhku.” Keluh Rein dengan cemberut.
“Suamimu penggila pekerjaan, kenapa kamu begitu betah dengannya, sayang.” Sahut Michael yang kemudian memegang leher Rein dan menarik leher itu.
Tanpa mendengar jawaban dari Rein, Michael langsung melumat bibir Rein. Dia mencium bibir puan itu dengan penuh napsu saat tangan kanannya pun meraba tubuh Rein ketika dress itu sengaja dia angkat.
“Saya akan memuaskanmu disini, Rein…” bisik Michael lembut.
Dan, Michael langsung membawa puan itu ke atas ranjang tempat tidur. Merebahkan tubuh puan itu yang kemudian kembali dia cium.
Tubuh itu dia jamah dengan puas. Bahkan, Michael mencium perut yang mulai terlihat besar itu.
“Kamu harus naik di atas Rein.”
“Aku akan melakukannya, kakak.”
Dengan nurutnya, Rein duduk di atas tubuh pria itu. Bahkan dalam keadaan hamil, dia pun memilih untuk bercinta dengan pria lain di belakang suaminya.
“Kamu menyukainya?” tanya Michael yang menatap wajah Rein menikmati saat dirinya berada di atas Michael. “Kita harus sering-sering bertemu Rein dan puaskan saya seperti saya memuaskan dirimu.”