Arga, lulusan baru akademi kepolisian, penuh semangat untuk membela kebenaran dan memberantas kejahatan. Namun, idealismenya langsung diuji ketika ia mendapati dunia kepolisian tak sebersih bayangannya. Mulai dari senior yang lihai menerima amplop tebal hingga kasus besar yang ditutupi dengan trik licik, Arga mulai mempertanyakan: apakah dia berada di sisi yang benar?
Dalam sebuah penyelidikan kasus pembunuhan yang melibatkan anak pejabat, Arga memergoki skandal besar yang membuatnya muak. Apalagi saat senior yang dia hormati dituduh menerima suap, dan dipecat, dan Arga ditugaskan sebagai polisi lalu lintas, karena kesalahan berkelahi dengan atasannya.
Beruntung, dia bertemu dua sekutu tak terduga: Bagong, mantan preman yang kini bertobat, dan Manda, mantan reporter kriminal yang tajam lidahnya tapi tulus hatinya. Bersama mereka, Arga melawan korupsi, membongkar kejahatan, dan... mencoba tetap hidup sambil menghadapi deretan ancaman dari para "bos besar".
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seraphine E, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20 : Embargo
Sesampainya di rumah sakit, Manda langsung melangkah cepat, hampir berlari menuju ruang operasi. Di lorong rumah sakit yang terasa sepi dan hening, Manda merasa seolah-olah dia baru saja memasuki dunia yang berbeda. Reza yang ikut mengikuti langkah Manda, tampak bingung, entah dia masih mengantuk atau terkejut melihat betapa cepatnya Manda bergerak.
"Hei, Manda, jangan lari kayak gitu dong! Lo kira kita lagi lomba lari maraton!" Reza berteriak, mencoba mengejar dengan langkahnya yang jauh lebih lambat, tubuhnya masih bergoyang-goyang seperti bayi yang baru belajar berjalan.
Namun, Manda sudah tidak peduli. Ia tahu, waktu adalah segalanya. Saat sampai di ruang operasi, ia menemukan seorang wanita yang terlihat sangat hancur, duduk di samping di depan ruang tunggu operasi, matanya merah seperti baru saja menangis selama berjam-jam. Di sampingnya, seorang ibu tua tampak tak kalah merana, wajahnya penuh kerut, dengan tatapan kosong yang seakan-akan kehilangan semua harapan.
Manda, dengan langkah hati-hati, mendekat dan memperkenalkan dirinya, "Halo, nama saya Manda, yang tadi bicara di telepon"
Helen, wanita yang duduk sambil menangis itu, menatap Manda sejenak. “Oh iya, saya Helen, kakaknya Rosa dan ini ibu saya. Ada keperluan apa ya dengan adik saya? Seperti yang kamu tahu, adik saya......” tanya Helen dengan suara serak. Ibunya hanya mengangguk lemah, tidak bisa berkata apa-apa.
"Mohon maaf sebelumnya, saya adalah seorang jurnalis. Dan saya berjanji bertemu dengan Rosa malam ini, karena Rosa menghubungi saya dan mengatakan dia memiliki bukti penting atas kasus pembunuhan Jessica Wiryawan" Manda menjelaskan.
Helen terlihat sedikit bingung. "Jessica Wiryawan? Maksud kamu model Jessica Wiryawan? Dia sudah meninggal? Kapan?" tanyanya dengan tatapan curiga.
"Kemarin malam, diduga dia dibunuh oleh kekasihnya sendiri, Ivan Hermansyah, apa mbak mengenal korban?" tanya Manda.
Manda mengangguk. "Ya, dia sempat bekerja di agensi model tempat saya bekerja, tapi semenjak dia berpacaran dengan Ivan, dia keluar dari agensi. Jadi saya sudah tidak pernah lagi mendengar kabarnya, saya bahkan tidak tahu kalau adik saya masih berhubungan dengan Jessica" ucap Manda sambil mengusap air matanya yang jatuh.
"Tapi kenapa tidak ada beritanya tentang kematiannya? Apa karena keluarga Jessica?" tanya Helen penasaran.
"Keluarga Jessica?" tanya Manda bingung.
Helen mengangguk, dan melanjutkan, "Keluarga Jessica merupakan orang kaya di negeri ini. Tapi sepertinya tidak banyak yang tahu, karena Jessica tidak pernah membicarakan keluarganya, dan hubungannya dengan keluarganya juga tidak begitu baik. Mungkin karena gosip yang bilang kalau Jessica itu anak selingkuhan ayahnya. Setau saya, Jessica meninggalkan rumah untuk mengejar impiannya menjadi model. Apa jangan-jangan keluarganya tidak tahu soal ini?" tanya Helen.
Manda menggeleng, "Saya tidak tahu, mungkin ini karena pengaruh keluarga Ivan Hermansyah yang juga anak pejabat, jadi mereka sebisa mungkin menekan pemberitaan soal ini. Kalau boleh tahu bagaimana bisa Rosa menjadi korban perampokan?" tanya Manda.
"Saya menemukan Rosa tergeletak didepan rumah, dengan kondisi bersimbah darah, ibu kami saat itu sudah tertidur dan tidak tahu apapun. Tetangga juga sepertinya tidak tahu, karena kejadiannya begitu cepat ditengah malam"
Helen merenung. Matanya menatap kosong, lalu berbicara pelan. "Tapi... yang saya bingung, kenapa hanya laptop yang diambil? Semua barang lainnya, seperti mobil, dompet, dan perhiasannya, masih ada di tubuh Rosa. Itu aneh, kan?" Helen mulai meraba-raba sesuatu yang lebih besar dari sekedar perampokan biasa.
Manda yang mendengar itu langsung terdiam. "Iya, benar. Saya merasa, jika ini bukan perampokan biasa. Apa mbak tahu apa yang ada di laptop Rosa?" tanyanya sambil mengernyitkan dahi.
Helen terjatuh ke kursi, lemas, seperti baru saja mendapatkan kabar yang terlalu berat untuk diterima. "Entahlah saya nggak tahu, tapi Rosa selalu menyimpan file pribadinya disana. Foto, Video, tugas kuliah dan lain-lain." katanya dengan suara serak, hampir menangis lagi.
Manda hanya bisa terdiam, sambil melihat betapa rumitnya misteri yang baru saja mereka ungkapkan. Reza, yang kini sudah ada di samping Manda, berbicara dengan nada santai yang canggung. "Mungkin nggak sih, ada sesuatu yang penting di laptop Rosa, bukti soal pembunuhan Jessica... Mungkin?"
Manda menatap Reza, seolah baru menyadari betapa cerdasnya cara dia berbicara di tengah situasi serius ini. “Kalau itu benar, berarti ada orang yang mendalangi kejadian ini,” ujar Manda sambil berusaha menahan geram.
Reza hanya menyeringai, merasa sedikit lega meskipun situasinya sangat tegang. "Artinya kita harus mencari tahu motif perampokan dan siapa pelakunya" jawabnya, sambil mencoba menenangkan suasana.
Manda hanya bisa mengangguk, menyadari bahwa misteri ini baru saja dimulai.
...****************...
Manda dan Helen duduk dengan wajah cemas, masih mencoba mencerna apa yang baru saja mereka ungkapkan tentang laptop yang hilang dan hubungannya dengan Jessica. Namun, semuanya terhenti ketika pintu ruang rumah sakit terbuka. Seorang dokter muncul dengan ekspresi serius, mengenakan masker bedah yang masih terlihat sedikit berantakan.
"Apakah Anda keluarga pasien?" tanya dokter itu, suaranya penuh kehati-hatian.
Helen segera berdiri, meskipun masih terlihat lemas. "Saya kakaknya," jawabnya, suaranya terdengar hampir tak terdengar.
Dokter mengangguk dan melanjutkan, "Pasien sudah dioperasi, dan operasi berjalan lancar. Namun, ada beberapa hal yang harus Anda ketahui." Ia berhenti sejenak, mengamati ekspresi wajah mereka yang tegang. "Pukulan yang diterima Pasien cukup parah, dan merusak saraf tulang belakangnya. Kami sudah melakukan yang terbaik, tetapi kemungkinan besar pasien akan mengalami kelumpuhan. Selain itu, ada kemungkinan dia akan kehilangan kemampuan bicara. Tapi, kami akan terus memantau kondisinya. Berdoa saja semoga ada mukjizat dari Tuhan"
Manda, yang mendengar itu, langsung terdiam. Seolah kata-kata dokter itu seperti petir yang menyambar di tengah keheningan. Helen menatap dokter dengan wajah kosong, otaknya berusaha mencerna apa yang baru saja dikatakan.
"Jadi, maksudnya... dia mungkin tidak bisa berjalan lagi dan..." Helen berhenti, suaranya bergetar.
"Betul," jawab dokter itu, singkat dan tegas. "Kami akan fokus pada pemulihannya terlebih dahulu."
Seketika itu juga, ruangan terasa semakin berat, seperti udara yang dipenuhi dengan ketegangan yang tak terucapkan. Manda menatap Rosa yang terbaring di ruang rumah sakit, membayangkan apa yang telah dia alami—semua karena laptop yang hilang, yang berisi bukti penting.
"Rosa...," Helen terisak, suaranya hampir tak terdengar. "Kenapa kamu harus menanggung semuanya sendirian?"
Manda berdiri dan mendekat, menepuk bahu Helen dengan lembut, berusaha memberikan dukungan meskipun hatinya sendiri penuh dengan keraguan. "Sabar mbak, semoga Rosa segera sembuh dan apa yang dikatakan dokter tidak terjadi."
Namun, di dalam hati Manda, rasa khawatir mulai menggelisah. Jika Rosa tak bisa berbicara lagi, bagaimana mereka bisa mengungkap kebenaran? Apakah mereka masih punya cukup waktu sebelum segalanya terlambat?
...****************...
Manda melangkah gontai keluar dari rumah sakit, seolah langkahnya begitu berat, seperti membawa beban dunia. Sepanjang jalan, pikirannya terfokus pada Rosa, laptop yang hilang, dan kegelapan yang melingkupi kasus pembunuhan Jessica. Apa yang harus dia laporkan sekarang? Bukti yang dijanjikan tidak ada, dan saat ini dia lebih mirip detektif yang kehilangan jejak daripada jurnalis yang sedang mencari kebenaran.
"Jurnalis apa gue, kayaknya lebih cocok jadi tukang ojek aja," gumamnya sambil menatap kaki yang tampak begitu berat digerakkan.
Di sebelahnya, Reza yang tadinya bersemangat seperti anjing kecil yang ingin ikut main bola, kini terlihat bingung, bahkan takut. "Manda... lo kenapa sih? Mau jatuh apa gimana?" tanyanya dengan wajah khawatir.
Manda menoleh sebentar, mata hitamnya seakan-akan berbicara dengan penuh kekesalan. "Gue baru sadar, Reza. Mungkin gue tuh lebih cocok jadi pemulung berita aja. Nyari berita skandal artis cerai kayaknya lebih gampang." jawabnya dengan nada datar, seakan dunia ini sedang berputar dalam sebuah komedi satir yang buruk.
Tapi saat mereka baru saja sampai di luar rumah sakit, ponsel Manda berdering, dan tampaknya telepon itu bukan dari nomor yang dia harapkan—bukan nomor Rosa atau siapa pun yang punya bukti. Bukan juga nomor dari pemilik restoran fast food yang bakal ngasih diskon, yang jelas Manda udah butuh banget.
“Hello, Manda?!” suara pimred di telepon langsung menggetarkan, walaupun sebenarnya lebih terdengar seperti suara yang sedang menahan lapar.
"Ya, Mas Doni?" jawab Manda, berusaha terdengar profesional meskipun hatinya lagi galau tingkat dewa.
"Mulai besok, ada embargo berita untuk kasus Jessica selama tiga hari. Nggak boleh ada liputan apapun tentang itu." Suara Doni itu tegas, seolah-olah dunia pers memang akan berhenti berputar kalau Manda nekat nulis.
Manda terpana sejenak, otaknya meledak seperti popcorn di microwave. Tiga hari? Tiga hari tanpa bisa nulis apa-apa tentang kasus pembunuhan Jessica? Bisa-bisa berita ini malah dilupakan orang! "Hah?! Apa? Embargo? Jadi gue harus ngapain, Mas? Nunggu angin balik lagi?"
Tapi Doni tidak menjawab lagi dan malah menutup teleponnya.
Tiba-tiba, Manda tertawa terbahak-bahak, suara tawanya bisa terdengar oleh orang-orang yang sedang menikmati kopi di warung sebelah. "Hahaha! Jadi... gue capek-capek lari ke rumah sakit, ngelawan waktu, eh, ternyata cuma untuk dengerin ini? Embargo? Serius?" Manda menggelengkan kepala, nyaris jatuh pusing. "Terus lo mau gue nulis apaan?? Sapi kawin?!"
Di sebelahnya, Reza yang sejak tadi nggak berani banyak omong akhirnya bertanya dengan suara pelan, "Manda, lo baik-baik aja kan? Lo jangan sampe... stress gitu."
Manda menatapnya dengan wajah yang tiba-tiba berubah jadi serius, tapi langsung mengubahnya menjadi senyuman konyol. "Oh, gue baik-baik aja. Cuma ya... gue kayak jadi bahan tertawaan dunia jurnalis. Lo bayangin aja, ada embargo berita untuk kasus yang sebenarnya belum juga terungkap, gimana gue nggak stress? Eh, tapi kalau ada embargo, berarti kan nggak ada orang yang bakal tahu gue ngapain, Reza. Ini malah jadi kayak liburan panjang!" Manda menggoyangkan ponselnya ke udara seolah sedang merayakan kebebasan yang sangat terpaksa.
Reza mengerutkan kening, bingung. “Jadi, lo nggak marah gitu?”
Manda mengangkat alis dan menatap Reza dengan pandangan seolah-olah dia baru sadar kalau dunia ini penuh ketidakpastian. “Marah? Gue udah marah dari kemarin, Reza. Tapi sekarang gue malah pengen ketawa. Karena kalau nggak ketawa, gue bisa jadi gila, kan? Anggap aja ini semacam... uji ketahanan mental.”
Dengan itu, Manda melangkah pergi menuju mobil, diikuti oleh Reza yang hanya bisa menggelengkan kepala, karena bagaimanapun juga, hidup ini memang kadang lebih aneh dari cerita fiksi yang paling konyol sekalipun.
...****************...