Apa jadinya ketika seorang mantan Casanova jatuh cinta pada seorang gadis yang polosnya tingkat dewa?
"Kau tahu tidak apa artinya cinta?"
"Tahu,"
"Apa?"
"Kasih sayang dari orangtua pada anak mereka."
Jleebb
Akan bagaimanakah kisah mereka selanjutnya? Mampukah seorang CIO MORIGAN STOLLER menaklukkan hati sang pujaan hati yang terlalu lambat menyadari perasaannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rifani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
~ 28
Selamat tahun baru, guys. Maaf baru bisa up karena lagi sibuk. Semoga di tahun ini kehidupan kita semakin baik dari tahun-tahun sebelumnya ya. Aminn ....
***
Kedua tangan Juwita terkepal kuat setelah mendengar perkataan ayahnya. Raut wajahnya begitu masam, jengkel karena tidak sesuai dengan yang dia inginkan.
(Begini pun orang suruhan Ayah masih tak bisa menghabisi Elil? Aku tidak percaya ini. Elil hanya gadis biasa, mengapa begitu sulit menyingkirkannya?)
"Sayang, jangan marah dulu. Ayah memang sengaja memintanya agar tidak membunuh gadis itu. Efeknya bisa sangat berbahaya untuk kita karena di belakang Cio ada keluarga Ma yang selalu siap menghancurkan siapa pun jika berani mengusik ketenangan anggota keluarga mereka. Ayah harap kau bisa memaklumi," ucap Tuan Hetler seraya memasang ekspresi penuh sesal. Dia tahu putrinya tak puas akan apa yang dia lakukan.
"Aku bisa memakluminya, Ayah. Tetapi Elil ... gadis itu cuma gadis biasa. Selemah inikah kekuatan Ayah sekarang?" tukas Juwita menahan kesal. Sebisa mungkin dia menyembunyikan emosi yang tengah meluap.
"Bukan lemah, Ayah hanya tidak mau terjadi hal buruk pada kita, terutama dirimu. Tolong mengertilah."
"Memangnya kurang mengerti apa diriku? Dihina dan dipermalukan, harus ke mana aku membawa wajah ini pergi?"
"Juwita, Ayah .... "
"Sudahlah,"
Juwita mengibaskan tangan. Dia kemudian berbalik keluar meninggalkan ruangan ayahnya. Kekecewaan jelas terlihat di wajah, diselingi dengan tatapan bengis saat teringat wajah Elil yang sok polos.
"Kali ini kau boleh saja lolos, Elil. Tetapi jika aku yang sudah turun tangan, tidak ada kata ampun meski kau bersujud di bawah kakiku. Tuhan menciptakan Cio hanya untuk diriku, kau jangan coba-coba merebutnya atau ... mati. Cihhh!"
Penuh amarah Juwita pergi meninggalkan rumah. Sambil menyetir mobil, dia menghubungi seseorang. Kegagalan ayahnya tak bisa dia terima. Gadis sialan itu harus sesegera mungkin disingkirkan agar Cio tak terhasut semakin jauh olehnya.
["Wah wah wah, ada angin apa tiba-tiba kau menghubungiku, Nona Juwita? Apa ranjangmu sudah kembali menjadi dingin dan butuh dihangatkan? Aku selalu siap sedia melakukannya untukmu. Hahaha,"]
"Tutup mulut sampahmu itu, bedebah. Aku menelponmu bukan untuk membahas hal menjijikkan itu. Jadi lebih baik kau diam dan jangan bicara melantur. Mengerti?!" amuk Juwita bertambah semakin kesal mendengar omongan mesum orang yang diteleponnya.
Terdengar tawa menggelegar dari dalam telepon begitu mendengar ucapan Juwita yang sarat akan kemarahan. Dan hal ini membuat Juwita kian emosi. Akan tetapi karena ada tujuan tertentu yang menjadi alasan kenapa dia menghubungi b*jingan tersebut, mau tidak mau Juwita harus menekan emosi dan membiarkannya bicara sesuka hati.
["Inilah kenapa aku begitu menyukaimu, Nona. Sikap angkuh serta cetusmu selalu membuatku merasa penasaran. Mengapa, hah? Mengapa sikapmu berbeda seratus delapan puluh derajat ketika sedang berpacu b*rahi di atas ranjang? Kau sedang memanfaatkanku apa bagaimana?"]
"Bukan hanya aku saja, tapi kau juga. Jangan berlagak bodoh ya seolah kau tidak melakukan hal yang sama sepertiku!"
["Maksudnya?"]
"Sudahlah, kita langsung bicara ke intinya saja. Aku tak mau membuang waktu." Juwita berdehem. Begitu akan membahas soal Elil, sorot matanya seketika berubah. Begitu dalam kebencian yang dia rasakan pada gadis itu sehingga mampu merubah emosinya dalam sesaat. "Aku ingin kau membunuh seseorang untukku. Jika kau berhasil melakukannya, aku akan memberikan bonus yang sangat besar. Tidak ada penolakan. Kau harus mau melakukannya!"
Penuh penekanan saat Juwita memberikan perintah. Dia yang begitu tergila-gila pada Cio, membuatnya tutup mata akan bahaya apa yang bisa tercipta. Termasuk menghadapi kebuasan laki-laki yang baru saja dia mintai bantuan. Pasti akan ada permintaan yang berurusan dengan ranjang, tapi Juwita tak peduli itu. Memberikan tubuhnya pada pria hidung belang bukanlah masalah selama bisa mendapatkan apa yang dia inginkan.
["Hmm Nona, kau sungguh tidak sopan. Pantaskah menekan seseorang seperti ini? Aku bukan orang lain lho. Cetus sekali. Manis sedikitlah. Dan satu hal lagi, aku tak butuh uangmu. Jadi .... "]
"Jika orang itu mati, maka aku akan mengatur tiga malam untuk menemanimu. Kalau ini masih kau tolak, berarti kita memang tak berjodoh untuk menjadi partner."
["Aku setuju. Di mana hotel itu, biar aku yang tentukan. Bagaimana?"]
"Terserah. Yang penting orang itu mati." Juwita tersenyum tipis. Pengorbanan kali ini pasti akan berbuah manis. Sambil terus menyetir, dia mulai menyampaikan keinginan yang mengendap di hati. Sesekali dia juga melayangkan umpatan saat b*jingan itu menimpali ucapannya dengan kalimat mesum. Sangat menjijikkan, tapi harus tetap dilakukan demi sebuah tujuan.
"Pokoknya aku tidak mau ada kegagalan. Singkirkan gadis itu dari muka bumi ini agar apa yang aku inginkan bisa segera ku miliki!" tukas Juwita seusai menyampaikan perintah.
["Baiklah, sesuai yang kau mau. Tetapi ingat, jangan coba-coba menipuku. Begitu orangnya mati, kau harus melayaniku sampai aku puas. Tak peduli secandu apa aku pada tubuhmu, kalau kau berani melarikan diri, dengan nyawaku aku bersumpah akan menghancurkan hidupmu dan keluargamu. Paham?"]
"Ya ya ya, terserah apa katamu saja. Yang penting tugas ini bisa kau selesaikan dengan baik. Masalah burungmu itu tak perlu kau risaukan. Aku bukan orang yang tidak tahu balas budi."
Negosiasi akhirnya berlangsung lancar dengan tubuh Juwita sebagai jaminan. Terkesan murahan memang, tapi dia melakukannya demi mendapatkan cinta seorang pria luar biasa. Tak masalah jika harus menggadaikan tubuhnya, toh hanya beberapa hari saja. Jadi tak terlalu buruk juga mengingat siapa yang akan dia dapatkan kelak.
"Habislah kau, Elil. Laki-laki yang jiwanya terselubung napsu pasti tidak akan berpikir dua kali dalam melakukan upaya untuk memuaskan hasrat mereka. Ayahku mungkin lemah, tapi tidak denganku. Kali ini kau bermasalah dengan orang yang salah!"
Hatchii
Di lain tempat, Elil yang sedang makan cemilan terlihat bersin beberapa kali. Tak lama kemudian, dia tampak mengernyit tajam.
"Siapa yang sedang membicarakanku ya? Sebegitu bencinya sampai terasa ke sini. Apa jangan-jangan Ilona? Tapi kenapa pula dia membencimu?" ujar Elil menerka-nerka. Tak ingin mati penasaran, dia memutuskan untuk menghubungi Ilona saja.
Sedikit lama Elil menunggu sampai panggilannya mendapat respon. Tanpa berpikir dua kali, dia langsung mengungkapkan rasa penasaran yang mendera pikiran.
"Na, kau sedang membicarakanku ya? Dari tadi aku terus saja bersin. Kau punya dendam apa padaku?"
["Hei gadis tengik, bicara apa kau hah? Sekalinya menguap langsung asal menuduh orang. Kerongkonganmu minta dicuci apa bagaimana? Heran!"]
"Galak sekali. Aku kan cuma bertanya saja. Kenapa sewot sih?" protes Elil agak ngeri membayangkan kerongkongannya dicuci oleh Ilona. Sahabatnya sungguh bar-bar. Gebrakannya membuat jantung berdebar-debar.
Omelan panjang terus Elil dengar setelah tuduhan yang dia layangkan. Dengan tampang yang sangat polos, dia mendengarkan ocehan Ilona sembari menikmati cemilan. Sungguh perpaduan yang sangat unik. Kuping menerima serangan kalimat mematikan, sedangkan mulut menerima kenikmatan yang begitu asik. Elil senang.
"Na, tahu tidak. Omelanmu serasa bumbu balado untuk keripik yang sedang ku makan. Bisa tambah kata-kata yang lebih pedas lagi tidak? Sepertinya seru," celetuk Elil dengan mulut penuh makanan.
["ELILLLL!!"]
***
kapan up maaak
jangan keluyuran sendiri sendiri ada
👁️👁️ yang sedang mengintai dirimu
😳