Netha Putri, wanita karir yang terbangun dalam tubuh seorang istri komandan militer, Anetha Veronica, mendapati hidupnya berantakan: dua anak kembar yang tak terurus, rumah berantakan, dan suami bernama Sean Jack Harison yang ingin menceraikannya.
Pernikahan yang dimulai tanpa cinta—karena malam yang tak terduga—kini berada di ujung tanduk. Netha tak tahu cara merawat anak-anak itu. Awalnya tak peduli, ia hanya ingin bertanggung jawab hingga perceraian terjadi.
Sean, pria dingin dan tegas, tetap menjaga jarak, namun perubahan sikap Netha perlahan menarik perhatiannya. Tanpa disadari, Sean mulai cemburu dan protektif, meski tak menunjukkan perasaannya.
Sementara Netha bersikap cuek dan menganggap Sean hanya sebagai tamu. Namun, kebersamaan yang tak direncanakan ini perlahan membentuk ikatan baru, membawa mereka ke arah hubungan yang tak pernah mereka bayangkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lily Dekranasda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Suasana Yang Berbeda
Perjalanan selama tiga puluh menit menuju kamp militer terasa cukup lama bagi El dan Al. Mereka duduk dengan wajah lesu di kursi belakang, sesekali saling menatap, lalu menghela napas panjang. Sean, yang duduk di depan, hanya mengamati mereka melalui kaca spion, sementara Niko tetap fokus menyetir tanpa banyak bicara.
Sesampainya di gerbang kamp militer, kendaraan mereka dihentikan oleh petugas pos jaga. Begitu melihat bahwa Sean yang datang, para petugas dengan sigap berdiri tegak dan memberi hormat militer.
“Selamat datang, Komandan!” seru salah seorang petugas.
Sean hanya menganggukkan kepala sebagai balasan, lalu melambaikan tangan agar Niko melanjutkan perjalanan menuju rumah dinasnya.
Ketika mobil akhirnya berhenti di depan rumah dinas Sean, ketiganya turun. Niko segera keluar dari kursi kemudi dan membukakan pintu untuk El dan Al.
“Terima kasih, Niko,” ujar Sean singkat.
“Siap, Komandan. Kalau tidak ada yang perlu lagi, saya pamit pulang dulu,” jawab Niko sambil memberi hormat.
Sean mengangguk. Setelah Niko pergi, Sean menatap rumah dinas di hadapannya. Bangunan itu terlihat rapi dan bersih, namun suasana di sekitarnya Sangat sepi. Tidak ada tanaman yang menghias halaman, hanya hamparan rumput hijau dan beberapa pohon besar di kejauhan.
Ketiganya berdiri di ambang pintu, tak langsung melangkah masuk. Semua hanya diam, lalu secara bersamaan mendesah panjang.
“Haah...” desahan mereka terdengar serempak, membuat Sean melirik ke arah si kembar.
“Papa, Al nggak mau di sini. Al mau pulang ke rumah Mama,” rengek Al sambil memeluk lengan Sean.
El, meskipun tidak sampai merengek, ikut mengangguk setuju. “Papa, rumah ini nggak nyaman. Nggak kayak rumah Mama. Di sana kan lebih hangat...”
Sean mengerutkan alisnya. Ia tidak menyangka si kembar akan langsung merasa tidak betah. Tapi ia harus mengakui, rumah dinas ini memang terasa terlalu formal dan kaku dibandingkan rumah Netha.
Sean terdiam, memandangi bagian dalam rumah dinasnya. Sebagai seorang tentara, ia terbiasa dengan kesederhanaan dan efisiensi. Rumah dinas ini memang fungsional, tetapi jauh dari kesan hangat dan nyaman.
Dinding rumah didominasi warna hijau tua khas militer, tanpa hiasan apa pun. Perabotannya sederhana, bahkan terkesan kaku. Tidak ada sentuhan pribadi yang membuatnya terasa seperti rumah. Jika dibandingkan dengan rumah Netha yang penuh dengan tanaman hias, pencahayaan alami, dan pernak-pernik kecil yang manis, rumah ini seperti dua dunia yang berbeda.
Sean menghela napas. Ya, aku sendiri juga lebih suka suasana rumah Netha...
Melihat anak-anaknya yang mulai merajuk, Sean mencoba mengambil langkah cepat.
“El, Al, dengar,” ujarnya sambil menepuk pundak mereka. “Papa tahu rumah ini tidak seperti rumah Mama. Tapi, Papa punya sesuatu yang bisa bikin kalian lebih betah di sini.”
“Apa itu, Papa?” tanya Al, wajahnya masih cemberut.
Sean tersenyum tipis. “Kalian ingat mainan yang Papa janjikan waktu itu? Yang belum sempat Papa berikan? Papa sudah bawa semuanya. Ada di kamar kalian sekarang.”
Mendengar itu, mata El dan Al langsung berbinar. Mereka saling pandang, lalu bergegas masuk ke dalam rumah menuju kamar mereka.
Sean tersenyum kecil melihat reaksi mereka. Namun, senyum itu segera memudar ketika ia memandangi ruang tamu yang kosong. Mungkin aku harus membawa beberapa barang dari rumah Netha ke sini. Setidaknya biar tidak terlalu kaku seperti ini. Atau membawa Netha aja agar bisa mendekorasi rumah nya ini agar lebih hangat. Pikir Sean sambil tersenyum sendirian.
Sean melangkah ke dalam rumah, duduk di sofa kecil di ruang tamu sambil menghela napas panjang. Ia membuka kancing atas seragamnya untuk sedikit lebih santai. Tanpa disadari, pikirannya melayang ke rumah Netha.
Sean duduk di ruang tamu, menatap sekeliling rumahnya. Ia berpikir keras, bagaimana caranya membuat tempat ini terasa lebih hangat dan nyaman seperti rumah Netha.
Ia membayangkan ruang tamu rumah Netha yang penuh dengan nuansa hangat. Sofa empuk yang dikelilingi bantal-bantal kecil, rak buku yang penuh dengan novel, dan aroma wangi lilin aromaterapi yang sering digunakan Netha. Tidak hanya itu, kehadiran Netha sendiri memberikan suasana yang sulit dijelaskan dengan kata-kata.
Netha memang berubah. Bukan hanya dia, tapi rumahnya juga berubah. Semuanya jadi terasa lebih hidup dan nyaman.
Sean menggelengkan kepala, mencoba menghapus bayangan itu dari pikirannya. “Ah, aku tidak boleh terlalu memikirkan itu sekarang. Yang penting anak-anak merasa nyaman di sini,” gumamnya.
Sementara Sean merenung di ruang tamu, di kamar anak-anak, El dan Al sibuk membuka kardus yang berisi mainan-mainan baru. Mata mereka berbinar ketika menemukan robot-robot kecil, mobil-mobilan, dan puzzle yang mereka idam-idamkan sejak lama.
“Lihat ini, Al!” seru El sambil memegang robot berwarna biru.
Al, yang sedang membongkar mainan lain, mengangguk dengan semangat. “Papa benar-benar ingat janjinya. Ini keren banget!”
Mereka mulai bermain bersama, tertawa dan bercanda sambil mencoba berbagai mainan. Perlahan, rasa sedih karena meninggalkan rumah Netha mulai tergantikan oleh kebahagiaan kecil dari mainan-mainan baru mereka.
Sean, yang penasaran dengan keadaan anak-anaknya, memutuskan untuk mengintip ke kamar mereka. Dari pintu yang sedikit terbuka, ia melihat mereka sibuk bermain dan tertawa bersama. Pemandangan itu membuat hatinya sedikit lega.
Setidaknya, mereka mulai merasa lebih baik di sini, pikirnya.
Namun, ia tahu, ini hanya solusi sementara. Cepat atau lambat, El dan Al pasti akan meminta kembali ke rumah Netha.
Setelah memastikan anak-anaknya baik-baik saja, Sean kembali ke ruang tamu. Ia mulai memikirkan cara untuk membuat rumah dinas ini lebih nyaman bagi anak-anaknya.
Tiba-tiba, Sean tersenyum sendiri. Ia teringat saat melihat Netha beberapa waktu lalu di halaman rumah mereka. Bagaimana ia dengan mudah mengatur dekorasi rumah, membuat suasana menjadi hidup, dan memberikan sentuhan khas yang hanya dimiliki Netha.
Mungkin aku harus meminta bantuannya untuk mendekorasi rumah ini, pikir Sean. Bukan hanya agar rumahnya lebih nyaman, tetapi juga untuk alasan lain yang membuatnya tersenyum malu: agar ia bisa menghabiskan lebih banyak waktu bersama Netha.
Sean tahu, ini adalah ide yang cukup nekat. Netha belum pernah sekalipun menginjakkan kaki di rumah dinas ini. Selain itu, anggota militer dan atasannya juga belum pernah bertemu langsung dengan Netha. Membayangkan reaksi mereka saja sudah membuat Sean merasa geli.
Menjelang sore hari, Sean masih sibuk dengan pikirannya sendiri. Si kembar, yang sudah selesai bermain dengan mainan baru mereka, mulai bosan dan keluar dari kamar. Mereka duduk di ruang tamu bersama Sean, sesekali bertanya kapan mereka bisa kembali ke rumah Netha.
Namun suasana berubah ketika terdengar ketukan di pintu. Sean segera bangkit untuk membukanya, dan di sana berdiri Jordi, salah satu teman sekaligus bawahannya di militer.
“Komandan! Anda sudah datang?” kata Jordi sambil tersenyum lebar.
Sean mengangguk kecil. “Ya, kali ini saya datang lebih awal.”
Jordi melirik ke arah si kembar yang duduk di dalam. Wajahnya langsung cerah. “El, Al! Wah, kalian di sini juga? Lama nggak ketemu! Apa kabar?”
El dan Al tersenyum lebar, senang melihat Jordi. Mereka langsung berlari mendekat, menyambut pria itu dengan antusias.
“Kami baik, Om Jordi!” jawab El.
“Iya, Om Jordi lama nggak main sama kami,” tambah Al dengan nada ceria.
Jordi tertawa kecil, lalu mengacak-acak rambut mereka. “Ya sudah, nanti kita main lagi, ya. Apakah kalian?”
Sean menggeleng. “Belum. Kalau kau ada waktu, tolong belikan makanan untuk saya dan anak-anak.”
Jordi langsung menyanggupi. “Siap, Komandan! Tunggu sebentar, saya akan cari yang terbaik.”
Setelah kembali membawa makanan, Jordi bergabung dengan Sean dan si kembar di meja makan. Suasana yang tadinya sedikit tegang kini mulai mencair. Jordi, yang selalu ceria, membuat si kembar tertawa dengan cerita-cerita lucunya tentang kehidupan di kamp militer.
“Ayo, El, Al, makan yang banyak. Nanti kita main ke lapangan latihan,” ujar Jordi sambil menyendokkan nasi ke piring Al.
El dan Al tersenyum lebar. “Om Jordi baik banget!” puji Al dengan polos.
Sean, yang duduk di seberang mereka, hanya mengangguk kecil. Ia menikmati suasana ini, meskipun pikirannya masih melayang ke rumah dan Netha.
Setelah makanan habis, si kembar kembali ke kamar mereka untuk bermain, sementara Sean dan Jordi pindah ke ruang tamu.