Raka Sebastian, seorang pengusaha muda, terpaksa harus menikah dengan seorang perempuan bercadar pilihan Opanya meski dirinya sebenarnya sudah memiliki seorang kekasih.
Raka tidak pernah memperlakukan Istrinya dengan baik karena ia di anggap sebagai penghalang hubungannya dengan sang kekasih.
Akankah Raka menerima kehadiran Istrinya suatu saat nanti atau justru sebaliknya?
Yuk simak ceritanya 😊
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon omen_getih72, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5
Di sisi lain, Nirma baru saja selesai mengaji saat Umi masuk ke kamar.
Malam ini gadis itu tidak dapat terpejam karena sangat gelisah memikirkan hari pernikahannya yang akan digelar dalam beberapa hari lagi.
Sehingga memilih menenangkan diri dengan menjalankan shalat dan mengaji, yang membuat hatinya merasa jauh lebih baik.
"Kamu belum tidur, Nak?" tanya wanita paruh baya itu.
"Belum, Umi." jawab Nirma sambil melepas mukena yang membalut tubuhnya.
Kemudian duduk di tepi tempat tidur, tepat di samping Umi.
Wanita paruh baya itu meraih sisir dan menyisiri rambut panjang putri kesayangannya.
Rambut Nirma panjang dan begitu berkilau, kulitnya putih bersih dan bercahaya meskipun ia sama sekali tidak melakukan perawatan mahal.
"Cantik sekali anak Umi. Laki-laki yang mendapatkan kamu adalah orang yang sangat beruntung, karena kecantikan kamu hanya dia yang bisa menikmati tanpa batasan."
Nirma memutuskan untuk menggunakan cadar sejak berusia 13 tahun, tepat di hari pertama saat ia mendapatkan menstruasi.
"Nirma takut, Umi."
"Takut kenapa, Nak?"
"Takut tidak bisa menjadi istri yang baik."
Umi hanya mengulas senyum. Selepas menyisir rambut, ia membelai wajah polos putrinya.
"Nirma... ada tiga kriteria Istri yang akan membuat Suaminya termasuk ke dalam golongan orang yang beruntung. Yang pertama adalah Istri yang shalihah, yang kedua kalau dipandang menyenangkan hati. Jadi kamu wajib memanjakan hati Suami dengan merawat diri, dan yang ketiga adalah amanah. Saat ditinggal pergi, dia bisa menjaga kehormatan dan harta Suaminya."
"Insyaallah, Umi."
Sepasang mata Nirma dipenuhi cairan bening mendengar nasihat sang Umi.
Keduanya saling memeluk. Umi mengusap punggung putrinya dengan penuh kasih. Mengusap air mata yang jatuh di ujung mata.
"Rasanya Umi belum siap melepas kamu. Rasanya baru kemarin kamu datang ke pondok ini. Lihat sekarang, kamu sudah dewasa dan akan menikah. Setelah ini, surga kamu bukan lagi ada pada kedua orang tua, tapi sudah berpindah kepada Suami."
"Nirma mengerti, Umi. Maafkan Nirma kalau pernah menyakiti hati Umi dan Abah."
"Sama sekali tidak. Kamu adalah hadiah terbaik yang pernah diberikan Allah kepada Umi dan Abah." Umi mengecup kening gadis itu.
"Tidak perduli kamu lahir dari rahim siapa, tapi Umi yakin Ibu yang melahirkan kamu pasti wanita yang sangat baik, sehingga memiliki anak seperti kamu."
"Tapi... Ibu baik mana yang tega meninggalkan anaknya, Umi?"
"Tidak ada seorang Ibu yang tidak mencintai anaknya. Jangan biarkan kebencian di hati kamu tumbuh. Tetaplah berbaik sangka kepada Allah dan takdirnya. Insyaallah ada alasan baik kenapa kamu terpisah dari kedua orang tua kandung kamu."
Nirma mengangguk paham. Air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya jatuh membasahi pipi.
"Tapi, Nirma boleh kecewa kan, Umi?"
"Ganti kekecewaan kamu dengan doa, Nak! Kalaupun orang tua kandung kamu sudah kembali ke pangkuan Allah, doakan supaya dosa mereka terampuni. Kalau pun masih hidup, doakan agar mereka sehat dan bahagia. Mungkin saja saat ini mereka sedang memikirkan dan merindukan kamu. Mungkin saja saat ini mereka sedang menangisi kamu."
Nirma menjatuhkan air mata.
Memikirkan andai ia dan orang tuanya tidak terpisah, mungkin ia akan menikah dengan wali nasabnya, bukan dengan wali hakim.
***
Sudah cukup lama Pak Vino duduk di atas sajadah. Malam ini perasaannya benar-benar gelisah. Tidak dapat terpejam, ia memilih menjalankan shalat.
Bertahun-tahun setelah kepergian putri kecilnya, hari ini adalah pertama kalinya ia merasakan kehadiran Zahra.
Bahkan air matanya terus berderai dalam setiap sujudnya. Ada nama Zahra yang selalu terselip di dalam doa.
"Ya Allah, jika putriku sudah berada di pangkuan Mu, jadikanlah dia syafaat bagiku di hari akhir nanti. Kalau pun dia masih ada, sehatkan badannya, bahagiakan hatinya, dan tempatkan dia di antara orang-orang beriman."
Pakaian terakhir yang dikenakan Zahra saat hilang masih tersimpan dengan baik.
Pakaian sobek itu tidak sekali pun ia perlihatkan kepada Bu Resha atau pun anak-anaknya yang lain. Ia memeluk pakaian tersebut dalam tangis.
Pak Vino tidak mengerti perasaan apa yang sedang menguasai hatinya.
Tetapi, bayangan gadis bercadar yang ia temui di pondok benar-benar mengingatkannya kepada gadis kecilnya yang hilang belasan tahun lalu.
Bahkan, rasanya begitu berat meninggalkan pondok tersebut.
"Senoritanya Papa... andai kamu tahu sebesar apa rindunya Papa terhadap kamu. Andai kamu tahu sebesar apa Papa ingin memeluk kamu." Ia bergumam dalam hati sesaat setelah dzikir.
***
"Aku minta maaf, Hellen. Kamu tahu aku tidak bisa berbuat apa-apa untuk menentang Opa dan Abi."
Entah cara apa lagi yang harus dilakukan Raka untuk membujuk kekasihnya yang sedang terisak-isak itu.
Sejak tiba di kafe tempat mereka janjian, Hellen terus menangis tanpa henti. Terlebih setelah mendengar kabar pernikahan sang kekasih.
"Aku paham, Raka. Aku tidak menyalahkan kamu. Aku mengerti bahwa keluarga kamu tidak pernah menyukai aku, karena itu mereka memilihkan gadis lain untuk kamu." Wanita itu menyeka air mata yang membasahi pipi.
"Aku juga tidak mengerti dengan mereka. Aku sudah berusaha menolak berulang-ulang. Tapi Abi, Umi dan Opa tidak peduli. Mereka tetap pada pendirian mereka."
"Tidak apa-apa. Jangan melawan mereka. Kalau kamu menentang terus, aku akan dipandang semakin buruk oleh keluarga kamu. Aku tidak apa-apa, aku akan belajar ikhlas. Lagipula, Nirma adalah temanku."
"Teman macam apa dia? Seharusnya dia tidak menerima lamaran itu karena dia bersahabat dengan kamu."
"Jangan salahkan Nirma. Dia pasti juga hanya mengikuti keinginan orang tuanya. Aku tidak marah padanya, aku hanya sedih karena dia menjauhiku."
"Dia itu pakaiannya saja yang tertutup. Tapi kelakuannya benar-benar buruk."
"Tidak, Raka. Nirma itu gadis yang baik. Terima dia sebagai Istri kamu. Aku akan berdoa supaya kamu dan Nirma selalu bahagia."
Mendengar kalimat itu, rasa bersalah Raka terhadap Hellen semakin besar. Lihatlah betapa baik kekasihnya itu. Ia bahkan mendoakan yang terbaik untuk mereka.
"Abi dan Opa salah karena tidak bisa melihat kebaikan dalam diri kamu." Raka menggenggam tangan Wanita itu.
"Penilaian orang berbeda-beda. Bukan salah mereka." Hellen menyeka sisa air mata dengan selembar tissue. "Jadi kapan pernikahan kamu?"
"Minggu depan." Raka memasang wajah malas setelahnya.
Hatinya meradang setiap kali mengingat rencana pernikahannya dengan Nirma.
"Pernikahan kamu pasti akan digelar dengan pesta meriah. Akan ada banyak tamu penting dan rekan bisnis perusahaan yang memberi selamat."
"Tidak!" potong Raka. " Aku sudah bilang pada Opa dan Abi tidak mau pernikahan besar-besaran. Jadi, pernikahan itu akan digelar secara sederhana di pondok dan hanya melibatkan kerabat dekat saja." ucap Raka, membuat kening Hellen berkerut tipis.
"Apa Nirma setuju?"
"Aku tidak peduli pendapatnya. Kalau dia tidak setuju, batalkan saja pernikahannya." Raka mendengkus kesal. Meraih secangkir kopi dan menyesapnya perlahan.
"Dia pasti kecewa. Wanita manapun yang menikah, pasti menginginkan sebuah pesta meriah untuk bisa dikenang seumur hidup."
Raka menatap Hellen dengan raut tak percaya.
"Kamu masih bisa memikirkan perasaannya setelah semua yang dia lakukan kepada kamu?"
"Nirma itu temanku, Raka."
"Stop menyebut dia teman!" Raka menyorot tajam, muak rasanya.
"Oke." Hellen menempelkan ujung sedotan pada bibirnya. Menyesap jus orange favoritnya. "By the way ... apa boleh aku datang ke pernikahan kamu?"
Raka terdiam sejenak menatap mata sembab sang kekasih.
"Kamu yakin?"
"Setidaknya aku bisa memberi selamat untuk kamu dan Nirma. Memberikan doa yang baik di hari itu. Aku janji tidak akan menangis. Aku hanya akan datang sebagai teman, bukan sebagai kekasih kamu."
"Lebih baik kamu tidak usah datang. Itu hanya akan menyakiti kamu."
"Aku akan lebih sakit lagi kalau tidak bisa datang." Sorot matanya penuh harap.
Akhirnya Raka menyerah. Ia benar-benar tidak sanggup menolak permintaan kekasihnya.
Apalagi niat Hellen yang begitu tulus mendoakan dirinya dan Nirma. Ketulusan inilah yang membuat Raka takluk.
"Hel, aku janji pernikahan kami hanya sebatas status di buku nikah saja. Aku tidak akan menyentuhnya sampai kapan pun."
"Jangan bicara begitu, Raka. Apapun bisa terjadi."
Hellen menatap kekasihnya dengan mata berkaca-kaca.
"Apa kamu sudah melihat wajah Nirma?"
*************
*************
lanjut Thorrr" bgs cerita nyaaaa....