NovelToon NovelToon
Beri Aku Waktu 40 Hari Mas

Beri Aku Waktu 40 Hari Mas

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO
Popularitas:2.6k
Nilai: 5
Nama Author: Yuri_Pen

Halimah, Seorang ibu muda yang tengah mengandung yang harus menerima kenyataan di gugat cerai oleh suaminya karena suaminya lebih memilih perempuan lain yang lebih cantik, lebih mudah dan lebih memperhatikan penampilan dari pada dirinya. dia pun menyetujui permintaan suaminya tersebut dengan syarat dia meminta waktu 40 hari kepada suaminya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yuri_Pen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Hari Ke-15

Hari ke -15 

Samar suara adzan shubuh menggema nyaring, membangunkan ku dari lelapnya tidur. Jam menunjukkan pukul empat lebih tiga puluh menit dini hari, ayam berkokok sahut-sahutan. Tanganku mengucek mata, lalu menggeliat, badan ini benar-benar fresh pagi ini.

Kutinggalkan ranjang, lalu beranjak ke kamar mandi, kulihat Limah sudah memakai mukena putihnya, begitupun dengan Jingga. Mukena dengan motif kartun LOL terpasang menggemaskan di tubuh mungilnya. Mereka sudah bersiap sedari pagi, aku jadi malu sendiri karena bangun paling akhir.

"Hehe, udah pada bangun?" tanyaku cengengesan. Aku melewati mereka lalu meneruskan langkah menuju kamar mandi.

Ku basuh 4 anggota wajib  untuk berwudhu, wajah, kedua tangan sampai sikut, kepala lalu kedua kaki. Tak lupa gerakan sunnah pun aku lakukan disela-sela gerakan wajib wudhu. Ada yang bilang, ketika tidur setan bersarang di semua lubang, maka bersihkanlah! Setelah selesai wudhu, bergegas aku menyambar sarung, dan baju Koko.

Aku terlambat, dengan secepat kilat berlari menuju Masjid, lalu menunaikan shalat berjamaah dengan khusyu. 

Lama rasanya aku tidak merasakan kedamaian lagi. Dari setiap lafal pengagungan asma Allah, ada yang bergetar di dalam sini. Dada. 

Setelah berjamaah shubuh, tak sabar rasanya pulang ke rumah. Mungkin karena merasa ada teman sekarang, atau mungkin ada kehangatan yang telah lama membiarkan jiwaku layu, lalu pupus tertiup angin.

Entahlah, aku tidak tahu. Yang kutahu, pulang adalah rindu yang harus segera dituntaskan.

"Assalamu'alaikum!" sapaku di depan pintu. 

"waalaikumsalam" Limah dan Jingga masih memakai mukenanya. 

"Maaf, Mas telat, ya?" tanyaku sungkan. 

"Belum," jawabnya singkat. 

“Sini Ayah, kita ngaji bareng kayak dulu!” Jingga begitu bersemangat untuk mengaji. Ia sudah duduk manis dengan juz ama di tangannya. Tak mau membuang waktu, aku pun segera mengambil Al-Qur'an lalu membacanya dengan baik serta tajwid yang benar. 

"....Hunna libasun lakum, wa antum libasul lahhunn...." Sejenak aku terdiam ketika membaca terjemahnya. "... Istrimu adalah pakaian bagimu, dan kamu adalah pakaian baginya... " 

Aku tertegun dengan kalimat demi kalimat, mereka mendengarkan ku dengan seksama. Air mataku jatuh perlahan, perasaan ini benar-benar sedang menemukan muaranya, rinduku terlampiaskan sekarang. 

"Shodaqallahul'adziim." Setelah membaca empat halaman aku menutup bacaan, lalu menyimak bacaan Jingga, yang sudah memasuki juz Ama. Cepat sekali perkembangannya.

Jingga mengaji di dua tempat. Di rumah diajari oleh Halimah, dan di mushola diajari oleh ustadz. Sengaja begitu agar ia belajar beradaptasi dengan teman-temannya.   

"'amma yatasaa aluun, 'aninnabail adzim…" Aku menyimaknya, tak kuasa air mataku menetes. 

"Ayah, kenapa nangis?" Dia menengadah kepala nya memandangiku yang mengusap air mata dengan cepat.

"Ayah terharu, kamu pinter banget, Nak." Aku mengusap kepalanya lembut, dia tersenyum. Gurat wajahnya lebih didominasi mirip ibunya dibanding mirip denganku sebagai ayahnya.

"Iya, dong. Kan Bunda mengajarkan aku, pak ustadz juga," Celotehnya panjang. Tangannya membuka lembar selanjutnya di juz ama.

Ah, Pak Ustadz, duda yang katanya keren itu, memang sedang hangat diperbincangkan para kaum wanita, namun sayangnya kenapa harus istriku yang dia lirik? 'Banyak sekali penggemarmu, Dik' aku membatin iri. 

"Wah hebat banget, Nak!" Aku bertepuk tangan untuk mengapresiasi.

"Pak Ustadz ganteng banget deh, Yah, baik juga," ucapnya lagi.

"Oh, ya? Gantengan mana sama Ayah?" Aku menaik turunkan alis, biasanya anak kecil gak suka bohong.

"Gantengan Pak Ustadz dong. Pak ustadz kan mengajar ngaji jadi cepat masuk syurga," jawabnya polos. Aih dasar bocil gak bisa diajak kerjasama, Limah cekikikan tertawa puas. 

"Terus Ayah gak ganteng?" Aku pura-pura cemberut.

"Enggak. Ayah jahat sama Bunda. Bikin bunda nangis. Nanti ayah enggak masuk surga kayak Pak Ustadz, lo," sindirnya. Deg, detak jantungku seolah berhenti. Kejujuran apalagi ini, Nak?

"Bunda, gak nangis sayang! Bunda lagi memotong bawang terus kamu datang." Limah mengusap punggung Jingga untuk menjelaskan pelan-pelan.

"Emang pas malem-malem itu, Bunda memotong bawang juga?" Matanya menunggu kepastian dari Limah.

Limah terdiam, dan aku? Aku seperti dilempar ke jurang. Bagaimana bisa ku sakiti istriku sendiri? 

"Bunda ke dapur dulu, ya! Mau masak makanan kesukaan Jingga. Supaya Jingga sehat, kuat dan pinter." Dia melipat mukena, dan menggunakan jilbab instannya. Semenjak pagi lalu, dia tidak pernah melepaskan hijabnya secara sengaja di depanku. 

Jingga hanya terdiam ketika ibunya tidak menjelaskan alasannya menangis.

Ku ikuti langkah istriku menuju dapur, kulihat dari belakang bahunya berguncang, namun tangisnya berusaha diredam.

"Maaf…" Aku menyentuh bahunya lembut.

"Pergilah, Mas!" usirnya halus. Aku tahu hatinya sedang terluka namun ia berusaha meredamnya.

"Dik, benar yang dikatakan anak kita?" Aku berdiri di belakangnya.  

"Untuk apa kau tahu?" Ia segera menghapus air matanya kasar. Padahal jelas-jelas, aku sudah melihatnya.

"Agar aku bisa berbuat lebih baik lagi," ujarku serius.

"Sepatutnya orang yang ingin lebih baik lagi, tidak sibuk mencari cinta, andai dia tahu diri tentang peran dan tanggung jawab yang harus dia emban. Andai." Ia menyindirku, aku tidak marah. Karena yang diucapkan nya benar adanya.

"Aku ingin memperbaiki nya. Aku tahu kemarin aku sudah salah." 

"Sudahlah, Mas." Ia membuka kulkas, tapi isinya hanya telur dengan air es saja.

"Dik?" Dia masih diam, aku menyentuh tangannya, ia refleks mengacungkan pisau padaku. Aku tersentak kaget. 

"Maaf," lirihnya.

"Kamu makin galak ya sekarang," candaku.

"Iya, karena yang baik cuma perempuan itu doang kan?"  

"Astaghfirullah, bukan begitu." Dia menggerutu tak percaya.

"Dik," ucapku lembut.

"Mas, apa kau tak sadar sudah menalak ku?" cerca nya.  

"Kapan? Aku tidak pernah menalak mu," tanyaku kaget.

"Sejak kau bilang ingin berpisah. Bukankah kalimat tak langsung itu, menjatuhkan talak satu?" Ya ampun, aku memang sangat ceroboh, bahkan dalam berucap sekalipun. Pantas saja ia segera keluar dari rumah ini. Karena ia tahu dosanya sementara aku telah berburuk sangka kepadanya.

"Kalau begitu, sekarang aku rujuk denganmu kembali, Halimah. Engkau istriku kembali." Aku menghentikan ucapannya, dia mendongak.

"Diterima gak nih?" 

"Gak tahu. Aku ragu dengan seorang laki-laki yang bahkan bercandanya tak lucu sama sekali." Aku tahu ia kecewa.

"Ayolah, Dik. Kita rujuk, ya!" Aku memegang tangannya memohon.  

"Ya, sesuai janji kita. Hanya tinggal 25 hari," ucapnya datar.  

"Jangan," ucapku tertahan.

"Kenapa?" 

"Aku ingin kau menjadi istriku selamanya." Aku mengecup tangan itu, lalu merengkuhnya ke dalam pelukan. Ia sudah halal untukku lagi, tidak boleh menolak ku.

"Jangan," ucapnya lirih di samping telingaku.

"Kenapa?" tanyaku kaget.

"Bukankah laki-laki jarang meneteskan air mata? Aku tidak mau melihat air matamu, Mas." Ia melepaskan pelukannya. Aku kaget ketika melihatnya masih memegang pisau. Untung saja aku tidak ditusuknya tadi.  

"Air mata gak selalu tentang sedih, Dik. Bisa juga tanda bahwa ia sedang bahagia,” kataku berusaha meyakinkan.

"Sudahlah Mas jangan ganggu dulu, ya! Aku mau masak," tolaknya.

"Aku bantu, ya!" Dia diam, dan ku anggap itu jawaban.

"Nih, iris bawang!" Dia menyodorkan talenan dan pisau, juga bawang merah dan putih sudah ada di atasnya. 

Aku menerimanya, lalu memotong dua. Mengingat-ingat kembali instruksi dari May tempo lalu.

"Kok gitu?" protesnya tak terima.

"Gini nih!" Dia merebut talenan dengan cepat, lalu mulai mengiris tipis bawang merah bawang putih. 

"Oh gitu. Aku bisa!" Ku rebut kembali pekerjaanku. Mengirisnya tipis, mataku perih. Duh baru memotong satu biji bawang merah aja udah penuh drama. . 

"Nangis?" 

"Sudah kubilang, tidak setiap air mata lelaki karena sedih. Bisa juga karena memotong bawang," ujarku sambil memperlihatkan hasil potongan ku, ia tertawa. Manis sekali.  

"Mas, tahu enggak kenapa bawang merah jadi tokoh antagonis lalu bawang putih jadi tokoh protagonis?" 

"Enggak. Kenapa tuh?"

"Karena bawang merah suka bikin nangis, kaya, Mas." Dia menekan suaranya di telingaku.

"Berarti kamu jadi bawang putih ya, dik?" 

"Aku manusia, bukan bawang!" Nah kan dia gamau diajak tebak tebakan. Aku saja yang jadi korbannya.

"Maksudnya, kan...." sudahlah terserah perempuan aja, maunya apa.

"Nih, Mas, tolong cuci beras! Jangan pake sabun lagi!" Limah segera menjauhkan sabun cuci piring dariku, lalu mengedarkan pandangan dan menjauhkan deterjen. 

"Ish, ish, ish... Harus kayak gitu emang?" Dia tak menjawab. Aku melanjutkan mencuci beras.

"Nah kan! Gak ada yang bener kerjanya." Dia berkacak pinggang di belakangku.

"Apa lagi?" tanyaku tanpa dosa. 

"Buang aja semua berasnya! Nanggung banget." Beras berceceran di tempat cuci piring. Oke aku salah lagi. 

Setelah selesai cuci piring, aku langsung membantu Limah masak, meski kerjaan jadi terhambat karena diri ini, tapi aku sedang ingin dekat dengannya. Apapun hal yang bisa membuatku berdekatan dengannya, akan kulakukan.

*** 

Aku sampai di kantor. Layar-layar komputer berjajar rapih, semua pekerja sudah siap memulai pekerjaan. Ruangan ku berbeda, karena aku adalah manager keuangan, aku sendirian di ruangan. Satu jam, dua jam berhadapan dengan komputer, rasa lelah dan kantuk menghampiri. Kubuka gawai sebentar supaya pikiran sedikit fresh.

"May? Ngapain dia chat aku?"

[A, ada yang ingin May bicarakan besok. Penting!] balas, jangan, balas, jangan? Aku dilema, tapi ini sepertinya penting. 

[Bicara apa?] balasku singkat.

[Nanti aja besok. a ke rumah May, ya!] Aku khawatir dia menjebak ku lagi.

[Gak. Kita ketemu aja di luar,] balasku yakin. Aku khawatir ada acara dadakan yang membuatku mengkhianati perjanjian dengan Halimah. 

[Baik,] jawabnya. Aku langsung meletakkan handphone. Entah mengapa pesan darinya sudah hambar untukku.

Jam berdentang lambat, padahal pekerjaanku sudah selesai, ya sudah lebih baik pulang duluan aja.

"Duluan ya, Bos!" Aku menghadapi Pak Anshor. 

"Loh kenapa gitu?" tanyanya bercak pinggang. Mungkin ia berfikir aku mencuri waktu. Padahal sengaja semua ku kerjakan cepat agar segera bertemu dengan anak dan istriku.

" Saya sudah selesai kerja, pak bos."

“Oh begitu. Baiklah!” Tanpa menunggu lama, beliau mengizinkan.

"Jangan balik lagi" ujarnya ketika aku pamit. Apa maksudnya jangan balik lagi? Semoga bukan sindiran pemecatan ku. 

*** 

"Hai Sayang…" Aku menerobos pintu, dan langsung mencari sosoknya.

"Datang tuh, ya ucapin salam dulu dong, Mas. Jangan nerobos kayak gitu. Islam kan ngajarin kita beretika," sahutnya sambil menghampiriku.  

"Iya deh, maaf. Assalamu'alaikum, Dik?" Ku ulangi ucapanku agar ia senang.

"waalaikumsalam, apa?" ketusnya.

“Nih salim dulu sama, Mas.” Aku menyodorkan tanganku, ia langsung melotot.

"Jangan galak-galak dong!" Aku mencubit pipinya.

"Gak sopan." Dia ngambek, perempuan maunya apa si? Marah Mulu.

"Dik?" Dia pergi lalu mengunci pintu kamar. Aih, salah apalagi aku ini? 

Sore, kami terdiam tanpa percakapan, malam pun berlanjut dan aku masih seperti itu, saling diam. Rasanya aku seperti patung yang didiamkan terus-terusan. Limah mendadak menjadi pendiam tanpa aku mengetahui alasannya.

"Kenapa? Kalau ada apa-apa tuh bilang, Sayang! Mas gak bisa baca isi hati kamu," ujarku lembut.  Ia sedang bersiap untuk memasak tapi wajahnya begitu tak bersahabat.

"Nggak kenapa-napa!" Ia cemberut sambil menyilangkan tangan di dadanya.  

"Enggak kenapa-napa tapi ko cemberut gitu? Sini cerita sama Mas, ya!" bujuk ku. Aku berusaha memeluknya, ia diam saja.  Namun ia diam, dan aku bingung harus ngomong apa lagi. 

"Noh kerjain sendiri!" Dia melepaskan pelukanku lalu meninggalkanku dengan setumpuk sayuran yang tidak banyak aku tahu.

"Apa nih? Gimana masaknya duh!" Aku menggerutu sendiri. Daun bayam, cabe, bawang, telor di plastik bening, di samping meja, entah ada daun apa lagi. Aku tidak mengerti.

"Aku nyerah, Dik!" Tapi dia kembali mengunci pintu kamar, alamak harus aku yang masak kalau gini caranya.

Beberapa kali pintu ku gedor, namun naas dia tak bergeming sedikit pun. Baiklah! Aku akan masak sendiri. Kumasukkan semua bahan jadi satu, lalu rebus. Tunggu sampai matang.

Mudahnya memasak. Aku senyum-senyum sendiri dengan hasilnya, segera aku hidangkan di meja, dan...

"Mas, aku dan Jingga jalan-jalan keluar dulu ya sebentar. Jangan dicari! Aku ingin menghirup udara segar." Aku membaca selembar kertas di atas meja ruang tamu. Alamak, lagi-lagi harus aku yang makan masakan sendiri. 

1
Sarifah aini eva rrgfwq
lanjut trus donk jgn pke sambung jdi putus2 bcany
andri alkantara: Hallo kak terima kasih sudah mau membaca Novelku. biar gak ketinggalan setiap episode nya yuk jangan lupa follow dan bantu suport aku untuk terus berkarya.... Terima kasih
total 1 replies
Becce Ana'na Puank
Luar biasa
Fushito UwU
Duh, kehidupan karakternya keren bingits!
andri alkantara: Yuk bantu Follow akun ini biar aku bisa lebih semangat menulisnya dan ikuti terus kisah Halimah☺️
total 1 replies
Celia Luis Huamani
Bukan sekadar cerita, tapi pengalaman. 🌈
Beerus
Kereen! Seru baca sampe lupa waktu.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!