9
Pernikahan adalah cita-cita semua orang, termasuk Dokter Zonya. Namun apakah pernikahan masih akan menjadi cita-cita saat pernikahan itu sendiri terjadi karena sebuah permintaan. Ya, Dokter Zonya terpaksa menikah dengan laki-laki yang merupakan mantan Kakak Iparnya atas permintaan keluarganya, hanya agar keponakannya tidak kekurangan kasih sayang seorang Ibu. Alasan lain keluarganya memintanya untuk menggantikan posisi sang Kakak adalah karena tidak ingin cucu mereka diasuh oleh orang asing, selain keluarga.
Lalu bagaimana kehidupan Dokter Zonya selanjutnya. Ia yang sebelumnya belum pernah menikah dan memiliki anak, justru dituntut untuk mengurus seorang bayi yang merupakan keponakannya sendiri. Akankah Dokter Zonya sanggup mengasuh keponakannya tersebut dan hidup bersama mantan Kakak Iparnya yang kini malah berganti status menjadi suaminya? Ikuti kisahnya
Ig : Ratu_Jagad_02
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ratu jagad 02, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23
Sean fokus pada kemudinya. Ia masih belum berani membuka pembicaraan pada Zonya, setelah apa yang terjadi di rumah keluarga Nugroho tadi. Hingga beberapa saat setelahnya, akhirnya mobil mereka 'pun tiba didepan rumah. Zonya langsung turun dari mobil untuk membawa Naina masuk, sebab anak itu sudah terlelap sejak mereka meninggalkan kediaman Nugroho tadi.
Ya, tadi saat Sean keluar dari toilet kediaman Nugroho, ia melihat Zonya yang tampaknya tidak diperlakukan baik oleh sepupunya. Namun bukannya melawan, Zonya malah memilih pergi dan menghindar. Namun begitu acara syukuran selesai, Zonya langsung kembali mendekati kumpulan sepupunya dan langsung memulai keributan. Walau pada akhirnya Zonya yang menang, tapi semua pihak keluarga menyalahkan Zonya, karena menganggap Zonya benar-benar pembuat masalah.
Flashback.
"Zoe! Kau benar-benar pemberontak!" ucap Tante Kikan. Ibu dari Astrid, sekaligus wanita yang menanyakan perihal kehamilan pada Zonya tadi.
"Aku tidak bisa kalian tindas begitu saja" ucap Zonya tajam setelah berhasil melukai Astrid.
"Kak..." Tante Kikan berteriak memanggil Bunda Gita dan Ayah Ardan. "Lihatlah putri kedua kalian ini, sangat tidak mencerminkan diri sebagai direktur rumah sakit. Bahkan dia jauh lebih pantas disebut preman daripada Dokter."
"Jaga ucapanmu!" kecam Zonya.
"Zoe!" teguran keras Ayah Ardan langsung bergema. Namun Zonya tidak menunjukkan rasa takut sama sekali. "Dia Tantemu, adik Ayah. Tunjukkan sopan santunmu."
"Pada Ayah dan Bunda 'pun, aku bisa tidak berlaku santun kalau kalian kelewatan" balas Zonya sengit. "Dengar Yah, aku tidak perlu menjelaskan duduk permasalahnnya pada Ayah, karena Ayah tidak akan pernah percaya dengan apapun yang aku katakan. Tapi yang pasti, aku berani bersumpah bahwa aku tidak bersalah."
"Masih berani kau mengatakan tidak bersalah setelah membuat putriku patah tulang, ha?" teriak Tante Kikan.
Sean baru akan mendekat untuk melerai pertengkaran antara Zonya dan keluarganya. Karena bagaimanapun, secara hukum dan agama, Zonya adalah istrinya. Itu artinya sudah menjadi tugasnya untuk melindungi wanita itu.
"Mas Sean..."
Sean menghentikan langkah, "Anggi?" ia terkejut melihat kedatangan Anggi yang membawa Naina dalam pelukannya.
"Jangan hiraukan ucapan Ayah dan Bunda. Tolong langsung bawa saja Kak Zoe pulang," Anggi menyerahkan Naina kedalam gendongan Sean. Meskipun bingung, akhirmya Sean mengikuti saran Anggi dan langsung menarik Zonya pergi.
*
"Zoe," Sean menyusul langkah Zonya yang sudah ada di depan kamar. "Setelah ini aku ingin bicara."
"Baiklah," Zonya langsung masuk ke kamar untuk membaringkan Naina. Begitu memastikan Naina benar-benar lelap, Zonya langsung kembali keluar dan duduk bersama Sean di ruang keluarga.
"Ada yang luka tidak?" tanya Sean, teringat tadi Zonya membuat keributan dengan sepupunya, hingga membuat suasana riuh.
"Tidak, justru aku yakin kalau Astrid tadi lebih memprihatinkan. Tangannya pasti patah karena tadi aku memelintirnya," ucap Zonya.
Entahlah, Sean tidak bisa menebak apakah ucapan Zonya adalah kalimat kebanggaan atau justru ungkapan penyesalan. "Sepertinya, sepupumu tidak menyukaimu?" tanya Sean.
"Kalau hanya sekedar tidak disukai sepupu, itu hal yang biasa, Mas. Yang luar biasa itu adalah tidak disukai oleh orang tua sendiri," ucap Zonya santai.
"Maksudnya?"
"Akan sangat sulit untuk membuat Mas mengerti," Zonya menghempas punggungnya pada sandaran sofa sembari menghela napas dalam.
"Kenapa?"
"Karena Mas adalah anak tunggal, dan yang akan aku ceritakan adalah mengenai anak ke-dua."
"Lalu apa bedanya? Bukankah semua orang tua pasti akan menyayangi anaknya?"
"Pasti," Zonya mengangguk yakin. "Tapi tidak semua orang tua bisa berlaku adil dalam memberikan kasih sayang untuk anaknya."
Sean semakin dibuat bingung dengan arah pembicaraan Zonya yang menurutnya begitu berbelit-belit. Zonya yang menyadari kebingungan Sean hanya tersenyum tipis. Ia kembali menghela napas dan menghadap langit-langit ruang keluarga.
"Menjadi anak ke-dua itu sulit Mas. Diatasnya ada Kakak yang harus ia hormati, dan dibawahnya ada adik yang harus sayangi. Anak ke-dua berada ditengah-tengah. Ia hanya akan bahagia setelah bisa memastikan kebahagiaan kedua saudaranya. Namun demi menciptakan kebahagiaan untuk saudaranya, ia membutuhkan kekayaan hati seluas samudra," Zonya melirik Sean sebentar, sebelum kembali melanjutkan ucapannya. "Kaya hati itu bukan berarti mencintai dengan sepenuh hati, tapi itu adalah kata yang mewakilkan ungkapan pengorbanan yang luar biasa. Dalam keluarganya, anak ke-dua memikul dua beban berat sekaligus, yaitu sebagai adik yang harus selalu mengerti keadaan Kakaknya, dan sebagai Kakak yang harus selalu mengalah pada adiknya."
Zonya memalingkan wajahnya dan menghapus air mata yang mengalir tanpa permisi. Begitu memastikan tidak ada lagi jejak air mata di pipinya, ia kembali menghela napas demi mengurai rasa sesak di dadanya. Setelah itu, ia mulai kembali melanjutkan ceritanya
"Anak ke-dua itu sangat ingin dimanja dan diperhatikan, tapi orang tuanya selalu mementingkan keberadaan anak pertama dan memperhatikan keadaan anak bungsu. Karena bagaimanapun, anak pertama kebutuhannya pasti akan lebih banyak dan anak bungsu selalu menjadi prioritas karena dia adalah lautan cinta terakhir bagi orang tuanya. Dan aku... Aku diajarkan untuk mandiri, dipaksa untuk bisa setara dengan prestasi anak pertama dan selalu dituntut untuk memomong dan menjadi contoh yang baik untuk si bungsu. Lalu, siapa yang akan mengerti tentang aku? Apakah aku harus curhat dengan diriku sendiri, lalu menenangkan diri sendiri, setelah itu mencoba untuk menyemangati diri sendiri secara terus-menerus? Aku bisa gila, Mas."
Air mata yang sejak tadi Zonya tahan akhirnya luruh bersamaan dengan rasa sesak yang kembali menghimpit dadanya. Ketahuilah bahwa ia tidak sekuat itu. Selama ini, sosok Zonya galak hanyalah topeng untuk menipu semua orang. Ia seakan ingin mengatakan pada semua orang bahwa tanpa kasih sayang dan dukungan dari orang tua 'pun, ia pasti akan sukses dengan caranya sendiri.
Namun apa yang terjadi pada hidupnya lagi-lagi adalah sebuah ketidak-adilan. Nasila yang saat itu berkeinginan menjadi seorang sekretaris, meminta izin kepada Bunda Gita dan Ayah Ardan untuk memilih jenjang karier yang berbeda dari kedua orang tuanya. Pada akhirnya, segala keinginan anak pertama akan selalu dikabulkan.
Jarak usia antara Zonya dan Nasila yang hanya selisih dua tahun, membuat Ayah Ardan mendidik keras Zonya untuk menjadi seorang Dokter hebat agar bisa menggantikan dirinya untuk memimpin rumah sakit, karena tidak ada harapan lain selain Zonya. Sebab, Anggi saat itu masih berusia 19 tahun, dan akan membutuhkan waktu yang sangat lama untuk menunggunya menyelesaikan pendidikan dan memulai karier dalam dunia kedokteran. Karena hal itulah, Zonya bahkan tidak diberi kesempatan untuk mengutarakan keinginannya dalam berkarier sedikitpun.
"Apa rasa iri pada Nasila dan Anggi itulah yang akhirnya membuatmu menjadi gadis pemberontak?" tanya Sean.
"Aku tidak ingin seperti ini," ucap Zonya terbata. "Tapi kalau aku terlihat lemah, maka orang-orang disekitarku akan menindasku. Menjadi gadis pemberontak adalah satu-satunya caraku melindungi diri. Ayah dan Bunda memang tidak gagal mendidik aku dengan keras agar menjadi kuat dan siap, tapi mereka gagal memahami isi hati dan perasaanku. Tidak ada anak yang berani melawan orang tuanya di dunia ini, tapi rasa tertekan oleh pikiran dan emosi, membuat anak membutuhkan pelampiasan."