Menolak dijodohkan, kata yang tepat untuk Azalea dan Jagat. Membuat keduanya memilih mengabdikan diri untuk profesi masing-masing. Tapi siapa sangka keduanya justru dipertemukan dan jatuh cinta satu sama lain di tempat mereka mengabdi.
"Tuhan sudah menakdirkan kisah keduanya bahkan jauh sebelum keduanya membingkai cerita manis di Kongo..."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sinta amalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
29. Biar ngga nakal lagi!
Cukup lama keduanya tertawa bersama hingga lama-lama tawa itu surut namun bersitatap diantara keduanya belum menunjukan tanda akan berakhir, hingga coklat yang sedang Aza pegang saja ikutan meleleh karena tak kuat berada diantara hangatnya kedua insan ini.
Merasa jika tangannya mulai basah dan lengket, Aza menunduk dan menyuapkan coklat itu ke dalam mulutnya, "aku makan ya.." ijinnya. Jagat mendengus tersenyum kemudian menunduk sekejap, tak bermaksud menyia-nyiakan pemandangan manis di depannya Jagat enggan untuk menunduk terlalu lama. Seolah berada di dekat Aza adalah daftar aktivitas wajibnya sekarang.
"Bang J abis nugas pake baju seragam?" tanya nya akhirnya penasaran, padahal tadi pagi ia masih melihat Jagat dengan kaos polos dan celana treningnya.
"Iya."
Sungguh, sebenarnya Aza tak perlu bertanya...sungguh terlalu pertanyaannya itu, ya iyalah abis nugas! Dipikir Jagat berada disini dibayar cuma buat jalan-jalan?!
"Bang J tau ngga, coklat ini selain dari sumber energi juga salah satu bahan makanan yang bisa merubah mood seseorang jadi lebih baik soalnya mengandung zat serotonin, feniletilamin, teobromim..." unjuknya menatap coklat, sambil menunjuk-nunjuk itu pada Jagat seolah ia sedang menggurui.
Jagat menggeleng, yang ia tau hanyalah coklat bisa bikin sakit gigi dan kantong kering kalo belinya kebanyakan. Aza menatap kecut, "apa sih yang bang J tau, taunya makannya doang.." cibirnya.
"Yang saya tau kalo orang mau nunjukin kasih sayang pake coklat...padahal menurut saya kurang greget kalo cuma nunjukin pake coklat saja." Ujarnya mengangguk-angguk begitu yakin dengan pendapatnya.
"Terus, yang greget versi bang J nunjukin rasa sayang pake apa?" kini mulai lagi perdebatan tak berfaedah diantara keduanya demi mengisi waktu senja menuju magrib.
"Kalo memang sayang kenapa ngga pake sekarung beras saja sekalian..."
"Bwah...apa?" Aza sudah kembali cekikikan tak percaya, orang ini lempeng persis papan penggilesan, tapi setiap ucapan yang keluar dari mulutnya itu loh, racun!
Wajah Jagat benar-benar tidak sedang bercanda namun Aza sampai tergelak mendengarnya, rasional sekaleehhh andahhh!
"Kan jadi keliatan banget sayangnya kan,"
"Kan coklat itu simbol hal yang manis-manis bang...masa nanti orang mau ngapel mesti angkut-angkut beras sekarung..." Terbayang di otak somplak Aza, para pemuda yang pada ngapel malam minggu pada mikulin beras sekarung ke rumah pacar.
"Perlambang hal manis, manis di depan, manis janjinya tapi ekspektasinya pahit. Orang kalo cuma dikasih coklat ngga akan kenyang...ibaratnya cuma dikasih hal manis tapi seuprit. Kalo beras kan perlambang sayang tulus, tanggung jawab atas hidup kedepannya, bukan cuma satu hari saja...lebih gentle." Jelas Jagat lebih realistis.
"Duh, seruu banget kayanya...ikutan dong!" diantara tawa Aza dan penjelasan Jagat dengan wajah seriusnya, Nisa datang membawa laporan hasil cek lab Aza bersama alat cek kesehatan dasar. Jagat yang anteng duduk di tepian kasur refleks langsung turun dari sana dan memberikan ruang untuk Nisa mendekati Aza.
"Za, semua organ vital sehat...fix, lo cuma kena kolera aja, gula da rah sedikit rendah. Besok juga kayanya sembuh deh...bisa dong ya lari pagi lagi ini....." alis Nisa sudah naik turun melihat Aza yang praktis dibalas tawa Aza dengan begitu puas.
Jagat menatap Aza dan Nisa bergantian dan hanya jadi pendengar setia keduanya saja.
"Tapi sekarang gue cuma mau memastikan tekanan da rah lo berapa," Nisa menyerahkan kertas hasil cek kesehatan milik Aza sesaat setelah Aza menaruh coklat miliknya di atas meja.
"Za, kalau begitu saya pamit undur diri dulu...kebetulan belum sempat bersih-bersih juga..." Aza mengangguk mengiyakan, Jagat mengangguk singkat pada Nisa dan bergegas pergi.
Nisa mendengus geli, "cieee...pengagum dokter Aza nambah lagi nih...kalo gini caranya, dokter Aza cepet sehat dong!" godanya sembari membelitkan alat cek tekanan da rah di lengan Aza.
Aza hanya menggeleng tak membenarkan namun tak pula menyalahkan, "cuma perhatian kecil."
"Justru yang kecil yang menggigit." godanya kembali usil.
Aza memperhatikan Nisa yang tengah mengeceknya, "oke bagus kok...bagus." ia melepaskan alat itu.
"Mama Nania gimana?" tunjuk Aza ke arah gorden depan." Nisa langsung menoleh ke belakang, "sejauh ini terkontrol membaik. Obat-obatan yang kurang malam ini dikirim...tapi kayanya butuh waktu juga, mengingat penyakitnya dibiarkan agak lama, tak langsung ditangani."
Aza mengangguk-angguk iba sekaligus paham.
"Kalo gitu gue cek mama Nania dulu ya, Za." diangguki Aza.
Aza sudah lebih segar lagi pagi ini, namun dokter Teja masih menyarankannya untuk sehari lagi memulihkan diri, menghabiskan cairan infus yang tersisa di labunya.
Kemarin, ia seharian berada di atas kasur. Membuat Aza benar-benar dilanda rasa jenuh. Bahkan matahari saja sudah mulai mengintip dari celah-celah awan, masa iya Aza kalah pamor sama matahari! Dan hari ini, ia memilih untuk sekedar berjalan-jalan keluar ruangan dan berkeliling sekitar saja demi meregangkan otot dan urat malunya biar ngga kaku nanti waktu dia malu-maluin.
Namun tunggu...Aza celingukan seraya membungkuk mencari-cari sandalnya. Seingat Aza semalam waktu ke kamar mandi ia masih memakai sandalnya, tapi pagi ini ia sudah tak lagi menemukan sandalnya...apakah hilang? Digondol kucing? Tikus? Masa iya Kucing doyan sandal? Kucing tuh doyannya janda kembang....eh ikan!
"Sendal gue manaahhhh? Ck!"
"Ada yang ngambil kah? Masa sih, sehafal gue ngga ada yang kesini selain Nisa, dokter Dimas sama bang J..." ia menggaruk-garuk kepalanya gatal, ketombenya mungkin sudah berubah jadi emas karena seharian kemarin ia tak mandi, hanya berseka saja.
"Ihhh, kan ngga lucu kalo gue ilang sendal di camp Kongo, orang-orang tuh ilang sendal di mesjid..." ocehnya lagi.
Aza mencari-cari sandal sampai keluar ruangan dengan mendorong tiang infusan, ia terpaksa bertelan jank kaki mencari-cari sandal.
"Sendal yuhuuu..."
"Kocak banget!!! Pagi-pagi orang nyarinya duit, ini malah nyari sendal!" omelnya lagi mendumel berjalan terus entah kemana tujuannya, ia tak habis pikir, apakah sandalnya memiliki kaki sendiri? Karena ia begitu yakin semalam ia masih menaruh sandal di bawah ranjang.
"Hofttt! Fix bukan rejeki gue itu sendal...." ujarnya mulai mengikhlaskan. Namun ketika ia akan kembali ke dalam kamar, mata Aza tak sengaja melirik siku-siku penyanggah atap selasar ruangan yang tinggi dan ia cukup terkejut saat melihat sandal warna pinknya sedang ngaso cantik disana.
"Loh, itu sendal gue disitu!" ia mendekati siku-siku dan mencoba meraih-raih dengan satu tangan yang bebas, dimana sebenarnya sia-sia saja usahanya karena ketinggian siku-siku tak tergapai olehnya.
"Ck. Susah ih! Ini siapa yang usil naro sendal gue disini sih! Gue sumpahin pan tatnya kempes sebelah!"
"Woyyy! Ambilin ihhhh!" ia bahkan sudah meloncat-loncat sambil jerit-jerit mengomel.
Ada sepasang mata menatap dari kejauhan selepas melaksanakan subuh berjamaah, dan ia hanya mengurai senyum melihat kesusahan Aza, "ha...biar ngga nakal lagi."
.
.
.
.
lanjut