Langit Senja Galata
Aku melepaskan cintaku padamu dalam bentuk kisah yang abadi dalam tulisan, aku pernah mencintai ketidak mungkinan diantara kita. Biarlah semua kenangan manis, pahit getir itu terbingkai dalam bait-bait indah sebagai pertanda akhir dari kisah kita. Dalam ketidak mungkinan dan juga rindu yang tersemat diantara harapan dan kenyataan, aku berharap tidak akan lagi ada temu dalam bentuk apapun diantara kita di masa yang akan datang. Ayzel sedang membaca ulang buku antalogi yang dia tulis dan kini sudah terbit di Indonesia.
“Aku tidak pernah menyesal dengan ketidak mungkinan yang sudah terjadi antara kita Nathan. Dan semua tentangmu aku tutup,” gumamnya lirih sambil melihat pemandangan dari dalam restoran dukkan galat, Ayzel menghela napas panjang. Dia sudah terlalu lama ternyata duduk di restoran.
Ayzel menutup macbooknya dan bangkit dari duduknya, di lihatnya jam yang ada di dinding dukkan galata. Tak terasa sudah beberapa jam duduk di sana, waktu seolah berjalan dengan cepat untuk Ayzel. Langit sudah berubah warna menjadi jingga, sudah saatnya kembali ke apartemennya selama di Istanbul.
“Teşekkür ederiz, çok lezzetliydi!” Ayzel keluar dari dukkan galata setelah menyapa pelayan restoran tersebut dengan mengatakan terimakasih, ini sangat lezat. Dia memang sering datang ke sana jadi sudah hal biasa antara Ayzel dengan pemilik resto maupun pelayan yang ada di sana saling bertukar sapa.
“Rica ederim Ayzel. İyi günler dilerim!” Pelayan resto membalas dengan jawaban terimakasih Ayzel, selamat siang sambil melambaikan tangan padanya.
Ayzel berjalan menikmati pemandangan langit senja galata sore itu, dia berjalan menuju “Otobüs Durağı” semacam halte tempat pemberhentian bus untuk menuju tempat tinggalnya. Ayzel tinggal di Kawasan Arnavutköy yang tidak terlalu ramai namun masih dapat di jangkau dengan jalan kaki menuju kampusnya. Selain itu biaya sewa apartemen (1+1) di Kawasan itu masih terbilang dapat Ayzel jangkau dengan tunjangan hidup dan beasiswa penuh untuk kuliahnya.
Karena Ayzel mengambil jurusan S2 Guidance Psikologi and Conseling (English) jadi dia mendapatkan beasiswa penuh plus tunjangan hidup 4000TL per bulan atau setara 20 juta rupiah, dia hanya perlu memikirkan biaya keperluan sehari-harinya. Untuk sewa apartemen Ayzel mengeluarkan uang sebesar 3500TL per bulan, masih ada 500TL tersisa dari tunjangan.
“Sepertinya besok akan menjadi hari yang panjang, semangat untuk diriku.” Ayzel bermonolog dengan dirinya sendiri.
Ayzel saat ini juga sedang magang di sebuah perusahaan IT yang mengembangkan sebuah aplikasi Kesehatan, selain untuk menambah wawasannya juga karena magang di sana mendapatkan gaji tentunya. Dengan sisa tunjangan tentu tidak akan cukup untuk biaya hidup selama satu bulan, Ayzel mengeluarkan kurang lebih total biaya hiudup 7000TL per bulan atau setara hampir 39 juta rupiah sudah termasuk asuransi Kesehatan karena dia tinggal di sana lebih dari satu tahun. Dengan catatan dia sudah berhemat dan memilih apartemen yang bisa di jangkau dengan jalan kaki menuju kampusnya.
Setidaknya butuh sekitar 4000-5000TL lagi untuk bisa bertahan hidup di Istanbul, bersyukur karena dia magang di perusahaan IT jadilah dia mendapatkan gaji maksimal untuk karyawan magang sebesar 6000TL. Cukuplah untuk menutup biaya hidup selama satu bulan.
Ayzel sudah sampai diapartemennya, dia merebahkan dirinya setelah seharian berjibaku dengan artikel dan jurnal tugas kuliahnya. Belum lama dia merebahkan diri ponselnya berbunyi.
“Ayzel besok usahakan ke kantor lebih pagi! CEO dari korea datang, kamu tidak ada kelas pagi kan?” Ayzel mendapatkan pesan dari Athaya, beliau adalah salah satu HRD dari perusahaan tempat Ayzel magang.
“Baik bu Athaya. Saya usahakan datang lebih pagi, jadwal kuliah saya masih bisa terkondisikan bu.” Ayzel menarik slimutnya, memilih untuk segera tidur karena besuk harus bangun lebih pagi.
Ayzel sudah siap dengan tas ranselnya, untuk menghemat waktu hari ini dia berangkat ke kampus langsung dari kantornya. Sesuai instruksi dari Athaya semalam, hari ini Ayzel berangkat satu jam lebih pagi dari sebelumnya. Dia sudah berada dalam bus sambil mendengarkan musik kesukaannya dengan airpodnya.
Perusahaan tempat Ayzel magang adalah sebuah perusahaan Tech Startup platform kesehatan mental berbasis AI yang juga mengembangkan VR untuk terapi psikologis yang berlokasi di Besiktas. Banyak aktivitas bisnis dan perusahaan di distrik tersebut, jarak dari kantor ke kampus Ayzel juga tidak terlalu jauh dan dapat di tempuh dalam waktu 15-20 menit dengan busa atau metro.
“Merhaba Shahnaz, günaydın,” Ayzel sudah sampai di kantor sedang menyapa rekan satu timnya. Mengucapkan selamat pagi pada Shahnaz.
“Günaydın Ayzel,” Shannaz meminta Ayzel untuk segera duduk di tempatnya. Sekarang sudah terbiasa baginya untuk mendengarkan rekannya itu berceloteh ria, selalu saja ada bahan untuk Shahnaz bercerita.
Saat ini Ayzel menduduki posisi karyawan magang bagian Penelitian Psikologi (Psychology Research Intern) yang berfokus membantu tim riset untuk menguji dan mengumpulkan data dan Pengembangan Program Terapi Digital (Digital Therapy Program Intern) yang berfokus merancang dan membuat konsep terapi digital.
“Ayzel sudah dengar belum? Hari ini ada CEO yang datang dari korea,” Shahnaz dengan cerianya bercerita padanya.
“Semalam bu Atha memintaku untuk datang lebih awal karena itu,” Ayzel mulai membuka macbooknya. Hari ini dia harus menyerahkan beberapa hasil uji yang sudah dia lakukan untuk tim riset perusahaan.
“Hari ini sampai jam berapa?” tanya rekan lain yang satu ruangan dengan mereka.
“Jam satu kak. Aku ada kelas jam dua siang” jawab Ayzel.
“Langsung ke kampus?” Shahnaz yang bertanya.
“Eumm … menghemat waktu,” mereka menyudahi perbincangan pagi itu dan mulai sibuk dengan pekerjaan masing-masing.
Sementara semua staff HRD bersama manajer sibuk mempersiapkan penyambutan CEO dari korea, dari yang Ayzel dengar dia masih muda dan Istanbul menjadi perusahaan ke empat yang dia miliki. Ayzel tak terlalu perduli dengan hiruk pikuk yang terjadi saat ini, selain dia yang harus fokus pada tugasnya saat ini juga karena dia hanya karyawan magang jadi pihak perusahaan tidak terlalu melibatkannya dalam kegiatan resmi perusahaan. Bagi Ayzel justru menguntungkan mengingat dia yang tidak terlalu suka dengan keramaian atau hal-hal yang mengharuskan dia berinteraksi dengan banyak orang, semua itu membuat energinya cepat habis.
“Ayzel … Ayzel, kamu ngapain? Berhenti dulu,” bu Athaya memanggil Ayzel karena hanya dia yang masih di ruangannya fokus dengan pekerjaannya, sementara yang lain ternyata sudah ke depan untuk menyambut kedatangan CEO.
“Baik bu Athaya,” Ayzel terlalu fokus jadi dia tidak tahu kalau semua sudah keluar dan hanya tinggal dia sendiri di ruangan. Dia menutup macbooknya dan bergegas berjalan di belakang mengekori bu Athaya.
Mereka semua sudah berjajar rapi siap menyambut kedatangan CEO utama, Ayzel juga sudah berada dalam barisan itu. Tepat pukul 10 siang waktu Istanbul terlihat seorang asisten membukakan pintu mobil, seorang pria dengan setelan jas hitamnya keluar dari sebuah mobil Volkswagen Passat berwarna hitam.
Sudah pasti dialah CEO yang jadi bahan pembicaraan di kantor mereka selama beberapa hari ini, bagaimana mungkin tidak terpesona jika CEO nya seperti itu. Pria dengan tinggi 181 cm, berkulit putih bersih, postur tubuh yang proporsional dengan rambut hitam natural ditambah dengan cara jalannya yang tenang semakin membuat dia berkharisma.
“Pantas saja jadi bahan pembicaraan. Baru keluar mobil saja auranya bersinar,” gumam Ayzel lirih saat melihat CEO dari korea yang baru sampai.
Dia adalah Kaivan Alvaro Jajiero, CEO muda dengan beberapa perusahaan Tech Startup dalam bidang psikologi yang berpusat di Korea. Entah apa yang membawanya sampai ke sini dan untuk berapa lama dia di sini taka da satupun staff yang tahu.
Ayzel merasa sedikit tidak asing dengan CEO tersebut, dia merasa pernah berjumpa dengannya tapi di mana. Mereka semua sudah kembali ke ruangan masing-masing dan melanjutkan bekerja setelah menyambut kedatangan atasan mereka.
“Ayzel, CEO kita keren banget” Shahnaz seolah terbuai dengan ketampanan atasan mereka.
“Eumm …iya Shahnaz, tapi lebih keren lagi kalau kamu cepat selesaikan tugasmu!” Ayzel memintanya untuk segera menyelesaikan pekerjaan karena dia harus segera menemui tim riset dan tim digital theraphy. Ayzel harus buru-buru ke kampus hari itu.
“Ih … iya ini aku beresin,” Shahnaz mencebik membuat Ayze dan beberapa rekan satu ruangan mereka tersenyum.
Beberapa staff langsung melakukan meeting dengan CEO mereka yang baru datang, termasuk tim riset dan tim digital theraphy. Meskipun Ayzel adalah anak magang namun kinerjanya diakui oleh senior-seniornya di perusahaan, karena itu untuk sementara dia ada dalam dua divisi yang berbeda.
“Ayzel sudah selesai?” salah satu seniornya terlihat sangat gugup saat keruangan Ayzel.
“Sudah kak. Sebentar lagi saya antar ke ruang meeting,” Ayzel sedang merapikan berkas yang sudah dia copy untuk di bagikan pada tim yang melakukan meeting.
“Aku tunggu di ruang meeting,” Ayzel mengangguk.
Ayzel membawa map-map yang berisikan berkas-berkas hasil riset juga print out konsep terapi sementara, Shahnaz juga ke ruang meeting membantunya membawa map-map lain.
“Permisi. Saya mengantarkan hasil riset dan konsep sementara,” Ayzel masuk setelah sebelumnya mengetuk pintu, suasana tampak tegang padahal meeting belum mulai.
“Silahkan masuk Ayzel. Bagikan sesuai dengan divisi masing-masing, berikan pada pak Alvaro dan asistennya juga” titah bu Athaya pada Ayzel.
“Baik bu Athaya,” dia berjalan membagikan map-map sesuai dengan divisinya. Sampai pada saat dia memberikan map pada Alvaro, Ayzel masih berpikir seperti pernah berjumpa dengan pria itu tapi lupa di mana. Dia sedikit melamun dan sedikit terkejut saat Alvaro membuka suara.
“Saya memang keren, tapi kamu tidak perlu sampai tergkagum seperti itu,” Ayzel mengerjap kaget, tentu saja dia merasa malu karena ada banyak orang saat itu dan dia hanya bisa tersenyum mendengar perkataan atasannya.
Ayzel menahan rasa malunya, dia ingin segera keluar dari ruangan itu setelah memberikan map pada Alvaro dan Asistennya. Ayzel bersama Shahnaz berjalan menuju pintu untuk keluar dari ruang meeting, namun Ayzel di hentikan oleh seseorang.
“Kamu berdua mau kemana?” merasa menjadi yang di maksud jadilah Ayzel dan Shahnaz berbalibadan. Shanaz sudah dengan kringat dinginnya, sementara Ayzel sebenarnya menahan kesal karena malu.
“Kami mau kembali ke ruang kerja pak,” ucap Ayzel.
“Mereka anak magang pak Alvaro, jadi tidak setiap hari harus ikut meeting. Jam kerja mereka juga menyesuaikan kuliah mereka,” Athaya menjelaskan pada Alvaro.
Alvaro mengangguk mengerti dengan penjelasan Athaya, dalam hati Ayzel merasa lega. Tapi sesaat kemudian belum sempat dia membalik badan Alvaro sudah mengeluarka ucapan yang membuat hari-hari Ayzel kedepan sepertinya menjadi lebih sibuk.
“Kamu! Mulai besok menjadi asisten saya selama saya di sini,” Alvaro menunjuk pada Ayzel. Ayzel tertegun mungkin saja dia salah dengar, matanya membulat sempurna tak percaya dengan apa yang di dengarnya. Kemudian Ayzel menatap pada Athaya meminta pertolongan.
“Mohon maaf pak Alvaro. Tapi Ayzel adalah anak magang, dia tidak bisa full di perusahaan karena masih menempuh pendidikan S2 nya di Bogazici. Spesialisasinya juga bukan di bidang administrasi untuk menjadi asisten pak Alvaro karena dia calon Spikolog,” Athaya menjelaskan pada Alvaro dan menawarkan orang lain untuk menjadi asistennya.
“Saya tetap mau dia. Siapa nama lengkapnya?” Alvaro tetap menunjuk Ayzel.
Ayzel tidak berkutik, rasanya ingin menghilang saat itu juga. Membayangkan jadi asisten CEO? Bagaimana hari-harinya nanti jika itu benar terjadi.
“Lunara Ayzel Devran Zekai pak,” Athaya menjawab pertanyaan Alvaro. Sementara Ayzel masih mencerna semuanya, tidak bisa berkutik karena atasannya langsung yang berbicara.
“Emm … baiklah Ze besok kamu jam 7 pagi sudah harus sampai kantor,” Ayzel merasa sial hari ini bertemu dengan CEO yang membuat rekan-rekan perempuannya terpesona.
“Ze siapa pak?” merasa bingung tentunya siapa yang di maksud jadilah Ayzel bertanya.
“Kamulah. Siapa lagi,” Ayzel menahan emosinya. Bisa-bisanya dia di panggil Ze oleh Alvaro, yang boleh memanggilnya Ze hanya Humey adik sepupunya. Dia merasa kesal kenapa Alvaro punya pemikiran memanggilnya dengan sebutan Ze, dia juga merasa kesal tiba-tiba menjadi asisten pribadi.
Ayzel kemudian ijin pamit karena waktu sudah menunjukkan jam satu siang, dia sudah harus berangkat ke kampus karena ad akelas jam dua siang. Athaya mengijinkannya dan menyuruhnya bergegas untuk keluar sebelum Alvaro atasannya itu berulah. Tanpa Ayzel tahu, Alvaro tersenyum melihat Ayzel yang menahan kesal karena ulahnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 36 Episodes
Comments