Almira Sadika, terpaksa harus memenuhi permintaan kakak perempuannya untuk menjadi madunya, istri kedua untuk suaminya karena satu alasan yang tak bisa Almira untuk menolaknya.
Bagaimana perjalanan kisah Rumah tangga yang akan dijalani Almira kedepannya? Yuk, ikuti terus kisahnya hanya di sini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Shine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20
Jaket yang di pegang Almira seketika terjatuh dari genggaman disaat penglihatannya menangkap sesuatu yang tak ingin dilihatnya, sebuah sulaman tangan bertuliskan 'ALSABAS' tepat di depan saku bawah sebelah kiri.
Tubuh Almira sedikit terhuyung, beruntung ada dinding yang menahannya sehingga tak sampai terjatuh.
"Kenapa, Al? Apa benar itu milik, Bastian?" tanya papa Steven yang sebenarnya jauh dalam lubuk hatinya yang paling dalam berharap jika itu tidaklah benar.
"Tidak, ini tidak mungkin!" Almira terus menggelengkan kepala menolak kenyataan yang ada. "Tidak, Pa. Orang, orang yang ada di sana bukan kak Tianku, dia pasti orang lain. Kak Tian baik-baik saja, Pa! Kak Tian pasti selamat dan saat ini ada di suatu tempat. Karena aku percaya pada janji kak Tian yang akan secepatnya menemuiku. Aku percaya itu. Aku percaya. Dan mayat yang ada di sana bukanlah kak Tian," tunjuk Almira pada salah satu jenazah yang di tunjuk papa Steven adalah mayat Sebastian.
"Al.. Papa tahu Kau terpukul," ucap papa Steven seraya menghela nafas berat. "Papa pun juga merasakan apa yang Kau__"
"Tidak, Pa!" sela Almira. "Akan aku buktikan jika orang di sana bukanlah kak Tian!" seru Almira seraya berjalan cepat menuju jenazah yang terbaring kaku di salah satu brangkar sana.
"Nona jenazah itu...."
"Aaaakhr....!!!"
Sebelum salah satu petugas medis yang bertugas di sana menyelesaikan ucapannya untuk menghentikan, Almira sudah terlanjur membuka penutup jenazah tersebut, yang berakhir dengan teriakan histeris darinya dan reflek berjongkok seraya menutup mata serta telinganya.
"Aaaakhrrr...!!!!!" teriak Almira kembali ketika membuka mata dan menoleh ke arah samping, yang kali ini teriakannya lebih histeris namun memilukan.
"Itulah, Nona. Saya baru akan mengatankan jika akibat dari kecalakaan itu, menyebabkan luka yang sangat serius pada sebagian besar anggota tubuh korban, termasuk juga wajahnya... Yang seperti Anda lihat, wajahnya tak dapat dikenali," jelas petugas tersebut sembari kembali menutup jenazah tersebut dengan kain yang Almira tadi singkap.
Akan tetapi, bukan itu yang membuat Almira kembali berteriak histeris, melainkan karena melihat tangan penuh luka terjuntai tepat di depan wajahnya. Namun, bukan itu poin pentingnya yang sehingga membuat Almira kembali berteriak dengan teriakan yang begitu memilukan. Itu dikarenakan sebuah cincin yang amat dikenalnya tengah melingkar disalah satu jari tangan mayat tersebut. Cincin yang begitu sangat amat berkesan dalam ingatan Almira. Walau di awal biasa saja, tapi seiring berjalannya waktu.. cincin tersebut memiliki kesan yang tak ternilai. Cincin yang ukirannya sama persis dengan cincin yang saat ini melingkar cantik di jari manisnya, jari manis Almira. Yang membedakan hanyalah ukurannya yang lebih kecil dan ada permata kecil di atas cincin yang Almira kenakan.
"Tidak, tidak, tidak...!!!!"
***
Di sebuah taman Almira tengah berdiri menatap sebuah danau buatan yang menyejukkan mata bagi siapa saja yang melihatnya, apalagi jika di temani pasangan maupun keluarga maka akan menambah kesan romantis dan kehangatan sembari berbagi cerita. Namun tidak dengan Almira, yang hari ini atau bahkan mungkin dihari-hari seterusnya Almira akan sendirian. Sendiri menatap danau buatan tersebut dengan tatapan kosong, dengan tatapan menerawang jauh, saking jauhnya takkan ada seorang pun yang mampu menjangkaunya.
Kilasan bayangan beberapa waktu lalu kembali menari dalam ingatan Almira.
"Almira, sekarang Kau telah membuktikannya sendiri jika orang yang ada di dalam sana adalah Sebastian. Jujur, Papa juga tak menginginkan semua ini terjadi, tapi apa mau dikata.. Takdir berkata lain. Tuhan lebih mencintainya," ucap papa Steven seraya menghela nafas, berharap dapat mengurangi beban yang saat ini menghimpit dadanya. "Pergilah, Al. Segeralah pergi dari sini. Pergilah yang jauh, sejauh yang kau bisa," usirnya dengan suara lemah sembari memalingkan wajahnya ke arah lain.
"Papa mengusirku?" ucap Almira seraya mengusap air mata mendongak menatap tak percaya pada mertuanya itu.
Mendengar pertanyaan Almira yang serasa menusuk di telinga, terlebih jantungnya, papa Steven yang tadinya tak ingin menatap Almira terpaksa kembali menatap. Bukan dirinya tak ingin melihat apalagi membenci Almira seperti mama Siska. Akan tetapi papa Steven lebih ke tak memiliki muka ketika mengucapkan kalimat tersebut, kalimat yang sebenarnya tak ingin papa Steven ucapakan sekalipun dalam pikirannya. Papa Steven hanya terpaksa. Ya, hanya terpaksa.
"Almira, mohon mengertilah. Bukan maksud__"
"Aku mengerti, Pa. Aku sangat mengerti," sela Almira sebelum papa Steven menyelesaikan ucapannya. "Benar apa yang selalu mama Siska ucapakan. Aku adalah wanita pembawa sial, dan itu dibenarkan dengan kepergian kak Tian. Dan Papa, Papa membenarkan semua itu dengan cara mengusirku, benar bukan Pa?!" lanjutnya, dan luruh lah kembali air mata yang sempat berhenti beberapa saat tadi.
Untuk pertama kalinya papa Steven memeluk Almira semenjak Almira menjadi menantunya.
"Dengar Al.. Papa menyuruhmu pergi bukan berarti Papa membenarkan semua yang mama Siska ucapakan. Papa memintamu pergi.. karena Papa tak ingin Kau kembali celaka jika Kau terus berada di sekitar kami, terutama mama. Ingatlah, saat ini tidak hanya Kau sendiri saja yang harus Kau jaga, tapi ingatlah jika ada satu nyawa lainnya lagi yang saat ini tengah Kau bawa, buah hati kalian, bayimu dengan Sebastian," mendengar pernyataan papa Steven, Almira reflek menyentuh perutnya dengan perasaan tak menentu. "Jagalah kenangan dan peninggalan terakhir Sebastian bersamamu. Papa mungkin tak akan selalu mendampingimu, tapi Papa akan berusaha untuk selalu berada di sekitar kalian walau dari jarak jauh. Papa melakukan ini semua hanya demi keselamatan kalian berdua. Papa tak ingin kalian kenapa-kenapa jika terus berada di sini," lanjutnya. "Papa__"
"Keluarga Nyonya Siska?!"
Belum sempat papa Steven menyelesaikan kalimat yang akan diucapkannya pada Almira, terdengar seruan salah satu perawat wanita memanggil, membuat papa Steven reflek mengurai pelukannya dan menghampiri perawat tersebut. "Tunggulah di sini," ucap papa Steven sebelum benar-benar pergi.
Sementara Almira tak memberi respon apa-apa akan ucapan papa Steven. Almira hanya menatap mengikuti langkah papa Steven yang berjalan menghampiri seorang perawat. Sesaat kemudian pandangannya teralihkan ke arah perutnya yang ada pergerakan kecil didalam sana. Seperti ada dorongan yang entah dari mana asalnya, karena dorongan tersebut membuat Almira melangkah mundur secara perlahan tanpa suara, dan disinilah akhirnya.. Dimana Almira saat ini berada, di sebuah taman yang dihiasi sebagian dengan danau buatan di sekelilingnya.
"Mengapa Tuhan? Mengapa Kau selalu mengambil orang-orang disekitarku?! Mengapa Kau mengambil semua orang yang ku cintai?! Mengapa Tuhan? Mengapa?" lirih Almira yang masih dengan tatapan kosongnya. "Apa ini adalah isyarat darimu, Tuhan? Isyarat jika aku tak pantas bahagia di dunia ini? Lalu, dimana letak kebahagiaanku dan bersama siapa? Sedangkan semua orang yang berada di sekitarku yang membuatku bahagia justru Kau ambil dan menjauhkannya dariku. Apakah bahagiaku tak ada di sini? Apa aku harus menyusul mereka agar aku kembali berjumpa dengan bahagiaku? Apakah aku harus__"
"Almira!!"