Karina kembali membina rumah tangga setelah empat tahun bercerai. Ia mendapatkan seorang suami yang benar-benar mencintai dan menyayanginya.
Namun, enam bulan setelah menikah dengan Nino, Karina belum juga disentuh oleh sang suami. Karina mulai bertanya-tanya, apa yang terjadi pada suaminya dan mulai mencari tahu.
Hingga suatu hari, ia mendapati penyebab yang sebenarnya tentang perceraiannya dengan sang mantan suami. Apakah Karina akan bertahan dengan Nino? Atau ia akan mengalami pahitnya perceraian untuk kedua kalinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fahyana Dea, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hanya Bayangan?
"Ternyata kamu istrinya Nino?" Kevin mendengkus dengan ekspresi mencemooh.
Karina seketika menatap pria itu.
"Kamu pasti terkejut kenapa saya mengenalnya, kan?"
Karina tidak menjawab, ia kembali memalingkan wajah dari Kevin.
Dia kembali mendengkus. "Kenapa di antara semua laki-laki harus dia yang jadi suami kamu?" Karina tetap tidak menjawab. "Ah, apa mungkin karena kamu punya sedikit kemiripan dengan Clarissa."
Karina mendelik. Namun, tetap diam. Ia jadi teringat sesuatu, ketika Karina terbangun di tengah malam, ia pernah mendengar Nino menggumamkan nama itu. Karina sempat terkejut, walau ia sudah menduga jika dia adalah mantan kekasihnya yang meninggal, tetapi sampai sekarang ia tidak pernah bertanya.
Namun, apa benar Nino mencintainya hanya karena dirinya mirip dengan wanita bernama Clarissa? Apa itu sebabnya dia terus mengejarnya bahkan sejak masih menjadi istri Hardi? Jika dirinya hanya dijadikan bayangan saja, berarti Nino sebenarnya tidak benar-benar mencintai Karina? Ia tiba-tiba berkaca-kaca.
"Oh." Wajah Kevin berubah sedih saat melihat Karina yang berkaca-kaca. "Lihatlah," Kevin mengapit dagu wanita itu agar mereka bisa bertatapan. "Ternyata kamu belum tahu tentang ini?"
Karina menepis tangan pria itu dari wajahnya. "Jangan sentuh saya! Dan jangan berani macam-macam dengan saya!" Karina memperingatkan, ia berharap liftnya cepat terbuka. Napasnya tersengal-sengal, merasa kesal sekaligus sakit hati karena mendengar ucapan tentang Nino.
"Memang kenapa kalau saya macam-macam sama kamu? Kamu melaporkan saya ke polisi?"
Tubuh Karina mulai gemetar. Karina menatapnya dengan ketakutan. Ia rasa pria di hadapannya ini sakit jiwa.
"Kamu ataupun Nino, tidak akan pernah bisa menjebloskan saya ke penjara lagi."
Lagi?
Apa maksudnya dengan lagi?
Tubuh Karina tiba-tiba melemas. Bersamaan dengan itu, pintu lift terbuka. Kevin membenarkan kemejanya lalu keluar dari lift dengan gestur penuh wibawa, meninggalkan Karina yang masih berada di lift.
***
Nino kembali ke ruangannya setelah menginstruksikan para stafnya untuk memesan produk yang hampir habis dan meminta laporan mingguan. Setelah semua pekerjaannya selesai, ia akan pergi menemui Amira di rumah sakit.
Beberapa saat lalu, ia menghubungi Karina, tetapi dia tidak menjawab teleponnya. Padahal, ini sudah masuk jam istirahat. Sudah beberapa kali mencoba, tetapi hasilnya tetap sama, Karina tidak menjawab.
Nino menyerah, ia berusaha berpikir positif, mungkin saja dia sedang banyak pekerjaan dan tidak bisa menjawab telepon darinya. Tak lama kemudian, seseorang mengetuk pintu, lalu Nino mempersilakan masuk.
Nino menghela napas pelan saat melihat Desti yang masuk ke ruangannya.
"Ada apa, Bu Desti?"
"Pak Nino, udah mau pergi?" tanya Desti seraya berjalan menghampiri meja Nino.
Nino melirik jam tangannya. "Sebentar lagi, kenapa?"
"Ada sesuatu yang harus didiskusikan, sebentar doang, kok." Desti duduk di depan meja kerja Nino.
Pria itu mengangkat sebelah alisnya. "Diskusi apa?"
"Tentang produk minyak goreng dan gula pasir. Kayaknya buat minyak goreng dan gula pasir itu pembeliannya harus dibatasi. Soalnya stok dari pemasok juga di kasih terbatas, kan?"
Nino menautkan jari-jarinya di depan wajah. Akhir-akhir ini, dua produk itu memang langka dan produksinya tidak sebanyak dulu.
"Saya sudah koordinasikan dengan Pak Wahyu tentang ini dan dari distributor memang ngasih stok yang lebih sedikit dari biasanya," sahut Nino. "Kayaknya memang harus dibatasi pembeliannya, bagaimana kalau setiap customer maksimal membeli satu kilogram untuk gula pasir dan dua liter untuk minyak goreng. Mungkin ini efektif biar semua pelanggan kita kebagian, mengingat dua produk ini merupakan bahan pokok yang harus ada di rumah."
Desti mengangguk-angguk.
"Atau mungkin Bu Desti punya saran lain untuk maksimal pembeliannya. Apa tidak terlalu sedikit per pelanggannya harus dibatasi segitu?" Tambah Nino.
"Saya kira itu cukup, Pak. Mengingat dua bahan ini juga harganya mulai melambung tinggi. Jadi, ini menghindari para pelanggan panic buying, juga menjaga stok di kita tetap aman."
Nino mengangguk mengerti. "Oke."
"Oh, ya, dan juga … kita harus mengurangi stok produk bayi merek tertentu. Saya lihat grafik penjualannya kurang, ada yang lebih diminati daripada itu. Jadi, untuk saat ini jangan dulu tambah stok. Kalaupun mau stok kayaknya harus dikurangi." Desti menambahkan.
"Oke, nanti saya koordinasi lagi dengan staf lainnya."
"Ya, udah, saya cuma mau bicara itu."
"Oke." Nino mulai membereskan meja kerjanya. Namun, Desti masih duduk di sana dan membuat Nino terheran-heran.
"Ada yang mau dibicarain lagi, Bu?"
Desti sedikit terbata-bata. Ia ragu sejenak. "Sebenarnya … saya … mau minta maaf, Pak."
Nino mengernyit. Ia terkekeh. "Minta maaf kenapa? Bu Desti punya salah apa sama saya?"
Desti menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia tersenyum kikuk. "Saya … minta maaf kalau selama ini selalu gangguin Pak Nino. Saya … selalu deketin Pak Nino, padahal saya tahu Bapak udah punya istri. Saya takut perbuatan saya itu nantinya jadi karma di suatu hari nanti."
Nino tersenyum. "Udah saya maafin, kok, Bu. Gak apa-apa."
"Saya berharap suami saya nanti seperti Pak Nino, yang tahan godaan." Desti tertawa dan Nino pun ikut tertawa. "Saya mau menikah akhir bulan ini." Ucapan itu membuat tawa Nino terhenti dan menatap wanita di depannya lekat-lekat. "Saya harap, Pak Nino sama istri bisa datang ke pernikahan saya nanti."
"Wah, kejutan sekali saya dengar berita ini."
Desti tersenyum. "Iya, saya dijodohkan sama orang tua dan ternyata orang yang dijodohkan itu teman SMA yang pernah saya suka dan ternyata dia juga suka sama saya dari dulu." Desti tersipu malu saat menceritakan itu.
Nino tersenyum lebar. "Saya ikut bahagia dengan kabar ini."
"Maaf saya jadi curhat, Pak. Pak Nino mau pergi sekarang?"
Nino mengangguk sebagai jawaban.
"Ya, udah, saya permisi, Pak."
Nino mempersilakan. Setelah itu, Desti keluar ruangan. Nino segera meninggalkan ruangan sesaat setelah Desti pergi. Amira pasti sudah menunggunya sekarang.
***
Nino sampai di rumah sakit tanpa hambatan yang berarti, ia tiba dengan tepat waktu. Sebelum masuk, ia mempersiapkan diri terlebih dahulu. Nino sedikit gugup, beberapa kali ia menghela napas cukup dalam, sebelum akhirnya mengetuk ruangan Amira.
Setelah mendengar suara wanita itu mempersilakan masuk, Nino membuka pintu.
"Hai," sapa Amira. "Gimana kabar kamu?"
"Baik, Mbak."
"Karina?"
"Baik juga."
Amira memerhatikan Nino sejenak. "Kok kamu tegang gitu, sih?" Ia terkekeh. "Rileks. Kita udah pernah melakukan pertemuan kayak gini, kan?"
"Iya, Mbak. Tapi … tetep aja, aku merasa gugup."
Amira tidak sengaja melihat tangan Nino yang dibebat perban. "Tangan kamu kenapa?"
"Oh." Nino memegang tangan untuk menyembunyikan perbannya, tetapi tentu saja sudah terlambat. "Ini … kemarin, aku gak bisa kontrol emosi. Akhirnya aku melampiaskannya dengan meninju tembok beberapa kali."
Amira tampak terkejut. "Kenapa?"
Nino menarik napas dalam. Jika teringat kejadian kemarin saat melihat orang itu, Nino merasa emosinya kembali merangkak naik. "Aku melihatnya kemarin, Mbak."
Amira mengernyit, mencoba memahami apa yang Nino katakan dan membaca ekspresinya.
"Laki-laki brengsek itu, dia udah keluar penjara, Mbak." Napas Nino sedikit berat. Kemarahan terlihat jelas di wajahnya.
Amira membuang napas pelan. Ternyata benar dugaannya, Nino tahu.
"Mbak tahu. Mbak juga terkejut." Amira berusaha menahan kesedihannya.
Nino tak kalah terkejut mendengar Amira juga mengetahuinya.
"Harusnya dia bisa lebih lama membusuk di penjara! Tapi kenyataannya apa? Dia sudah bebas berkeliaran, padahal baru menjalani setengah dari masa hukumannya." Napas Nino tersengal-sengal, tangannya mengepal dengan erat. "Aku jelas mendengar kalau hakim memutuskan delapan tahun penjara buat dia, Mbak. Meskipun itu sama sekali gak adil!"
Melihat hal itu, Amira segera menenangkan. Ia mengusap pundak pria itu. "Kamu harus bisa kontrol emosi, Nino. Kalau enggak, apa yang kamu lakukan kemarin akan sering terjadi dan bisa mencederai tangan kamu lebih parah pagi."
"Aku tahu, Mbak."
Amira mengambil clipboard-nya. "Kita gak bisa berbuat apa-apa lagi. Kita gak bisa menuntut dia masuk penjara lagi." Amira memakai kacamatanya. "Mbak dengar, dia dapat remisi. Makanya dia bisa bebas lebih cepat."
"Tapi ini gak adil, Mbak. Harusnya dia dihukum mati, biar setimpal dengan apa yang dia lakukan sama Clarissa." Emosi Nino masih memuncak, ia benar-benar ingin menghajar pria itu jika ada di hadapannya.
"Kita gak bisa melawan kekuatan uang dan kekuasaan. Kamu tahu sendiri kalau orang tuanya itu orang penting di pemerintahan. Dan, Mbak juga dengar … sekarang dia menjadi direktur di perusahaan kakaknya."
"Bajingan!" Nino mengumpat pelan seraya mengalihkan tatapan ke arah lain.
"Selama dia gak mengganggu kamu, biarkan aja. Kita gak bisa berbuat apa-apa lagi, Nino. Mbak juga merasa kecewa, tapi … kita udah semaksimal mungkin meminta keadilan buat Clarissa."
Nino diam. Ia membuang napas berat.
"Sekarang, kamu harus fokus untuk pemulihan kamu." Sebelum ia memulai, Amira tiba-tiba teringat sesuatu. "Nino, apa alasan kamu menikahi Karina? Kamu menikahi dia bukan karena mirip dengan Clarissa, kan?"