kisah cinta seorang gadis bar-bar yang dilamar seorang ustadz. Masa lalu yang perlahan terkuak dan mengoyak segalanya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon uutami, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 32
Novi melangkah gontai di pinggir jalan, memegang bungkusan makanan yang seharusnya untuk Satria. Tangannya gemetar, dan matanya berkaca-kaca. Dengan penuh amarah, dia melemparkan bungkusan itu ke tong sampah terdekat. Makanan yang telah dia siapkan dengan penuh kasih sekarang hanya menjadi sampah tak berarti.
Hatinya terasa remuk, seolah-olah telah dihancurkan oleh kekecewaan yang mendalam. Novi terus berjalan, setiap langkahnya seakan menapak di atas pecahan kaca hatinya yang berkeping-keping. Dia menggigit bibirnya, menahan derai air mata yang ingin jatuh.
"Mas Satria, mengapa kau lebih memilih percaya pada Adiba?" gumamnya pelan, suara seraknya hampir tak terdengar oleh angin yang berhembus lewat. "Aku yang mengenalmu lebih dulu. Aku yang lebih perhatian padamu dan Faraaz. Kenapa kamu malah memilih dia? Kenapa kamu lebih percaya padanya? Jahat kamu mas!"
Novi merasa begitu hancur ketika Satria tak mau mempercayainya, lebih memilih untuk percaya pada Adiba, sang istri. Sungguh, dia telah mencoba menjalin pernikahan siri dengan Satria untuk menciptakan retakan dalam rumah tangga mereka, namun sayangnya semuanya kini malah berbalik melawan dirinya. Novi mencoba untuk menahan amarahnya yang semakin membara terhadap Adiba.
"Wanita itu, aku benar-benar sangat membencinya!" Air mata Novi tetap mengalir, menandakan rasa sakit yang terus menerpa hatinya.
Setiap bayang Adiba yang terlintas di pikirannya hanya menambah panas bara benci yang berkobar di dada Novi.
Dengan setiap nafas yang dihela, Novi mencoba meredam gejolak emosi yang menguasai dirinya. Namun, semakin dia berusaha untuk tenang, semakin kuat pula rasa benci itu menggelayuti pikirannya. Di sudut mata, ia melihat pantulan dirinya di jendela toko. Pandangan matanya yang tajam dan wajah yang pucat mencerminkan kehancuran yang dia rasakan.
Novi terhenti sejenak, mengumpulkan sisa-sisa kekuatannya. Dia tahu ini bukan akhir, tapi sebuah pertempuran baru telah dimulai. Pertempuran melawan rasa sakit, kekecewaan, dan pengkhianatan. Dan di tengah kehancuran hatinya, Novi bersumpah akan membalas semua ini, terutama kepada Adiba, sumber dari semua luka ini.
****
Novi terus melangkah pulang ke rumah dengan langkah lemas, hatinya terasa sakit karena kehilangan kepercayaan Satria padanya. Satria yang begitu mudah percaya pada Adiba, istrinya, tanpa pernah mengetahui bagaimana perasaan Novi yang sebenarnya.
"Apa yang salah dalam diriku? Mengapa mas Satria tidak bisa melihat ketulusanku?" batin Novi sambil merasakan luka di hatinya semakin menganga.
Sesampainya di rumah, ibu Novi menyuruhnya mengirimkan keripik pisang buatan sendiri ke toko milik Satria.
"Nov, syukurlah kamu udah pulang." Ibunya Novi. "Ibu baru mau mencarimu, ada keripik yang harus diantar ke tokonya Satria."
"Apa harus hari ini, buk?"
"Semakin cepat semakin bagus, Nov. Ibuk lagi butuh uang juga sekarang."
"Tapi, buk, Novi lagi...."
"Sudah, cepat, antar sekarang saja," suruh ibunya seraya meletakkan beberapa bungkus keripik di keranjang.
"Baiklah, buk," ucap Novi yang tak punya pilihan lagi.
Dengan motor matik, ia mengikat erat keranjang berisi kripik pisang di belakangnya. Jalanan yang biasa ia lalui kini terasa begitu asing dan pilu. Angin sore itu seolah membisikkan kembali kata-kata Satria yang lebih memilih mempercayai Adiba daripada dirinya.
Setiap putaran roda motor itu, pikirannya melayang pada kenangan-kenangan manis yang kini terasa pahit. Air matanya mulai menetes lagi, membasahi pipi yang sudah lelah oleh kesedihan. Di sebuah turunan yang cukup curam, bayangan Adiba dan Satria tertawa bersama muncul begitu jelas di benaknya. Novi yang semakin larut dalam kesedihannya, kehilangan fokus. Tangannya yang gemetar tak mampu lagi mengendalikan stang motor yang terasa semakin berat.
Tiba-tiba, roda depan motor tergelincir pada batu kecil di jalan, membuat motor tersebut oleng. Novi yang panik mencoba menguasai kembali kendali, namun terlambat. Motor tersebut terperosok ke dalam jurang yang tak terlalu dalam, namun cukup untuk membuat Novi terlempar dan kripik pisang berserakan.
Tubuh Novi terasa sakit, namun yang lebih menyakitkan adalah rasa hati yang tercabik. Terbaring di dasar jurang, ia menatap langit yang mulai meredup, sambil berbisik lirih, "Kenapa harus selalu aku yang terluka, mas Satria?"
****
"Novi, kecelakaan! Cepat bawa ke rumah sakit!" teriak seorang saksi saat melihat Novi terjatuh dari motornya.
Di ruang UGD
Novi terbaring lemah di ruang gawat darurat, tubuhnya penuh dengan perban dan pipinya memar. Dengan tergopoh-gopoh, kedua orang tua Novi memasuki ruang UGD, mata mereka langsung mencari sosok anak perempuan mereka yang terbaring lemah dengan selang infus yang menancap di lengan. Dokter yang menangani Novi menghampiri dengan wajah serius, mengungkapkan diagnosis yang membuat kedua orang tua Novi semakin terpukul.
Di sisi tempat tidur, Novi membuka matanya pelan-pelan.
"Satria... suamiku, di mana dia?"
"Nov, apa yang kamu rasakan, nak?" tanya ibunya Novi mengusap kepala anaknya, sangat merasa bersalah karena tadi sudah memaksa Novi mengantar kripik dan malah kecelakaan.
"Mas Satria ..."
Ayah dan ibu Novi saling pandang, kebingungan dan ketakutan bercampur menjadi satu.
"Mas Satria di mana, pak, buk?" tanya Novi lagi.
"Satria? Siapa satria?" tanya sang dokter.
"Mas Satria suamiku, dok."
"Apa?" Bapak dan ibunya Novi terkaget. Dokter melihat itu.
"Bapak tau, siapa satria yang disebut pasien?"
"Iya, dia salah satu orang terpandang di kampung kami, pakis." Ibunya Novi menjelaskan."Dulu, mereka cukup dekat, dan Satria menikah dengan orang lain."
Dokter diam sejenak. Lantas mengatakan, "Biar kami memeriksa lebih lanjut, Bu, pak. Mohon tunggu sebentar."
Setelah dokter melakukan serangkaian cek kesehatan pada Novi.
"Maaf, pasien mengalami gegar otak dan amnesia," ucap dokter itu pelan.
Mendengar itu, ibu Novi menutup mulutnya yang terbuka lebar, air matanya mulai mengalir, sementara ayah Novi menggenggam erat tangan istrinya. Mereka berdua saling pandang dengan raut muka yang penuh kebingungan dan ketakutan.
"Untuk saat ini, jika bisa minta saja pada orang yang bersangkutan untuk membantu memulihkan ingatan Pasien," ujar dokter. "Kami akan membantu dengan pengobatan dan terapi."
"Bagaimana ini, pak? Dia hanya mengingat bahwa dia adalah istri dari Satria." Ibunya Novi gelisah.
"Satria sudah menikah dengan wanita lain, dok. Bagaimana ini?" tanya ayah Novi dengan suara yang bergetar. Dokter itu hanya bisa menghela napas, tidak memiliki jawaban yang pasti.
Ibunya Novi meremas tangannya gelisah, "Mungkin lebih baik memanggil Satria untuk membantunya mengingat kenyataan," usulnya.
"Buat apa buk?"
Ibu Novi menarik napas, ragu. "Bagaimana kalau kita meminta satria untuk membantu, misalnya dengan berpura-pura menjadi suami Novi?" usulnya lagi.
"Jangan buk. Tak enak pada keluarga Kiai Rouf. Ini menyulitkan semua orang?" Ayah Novi menepuk bahu istrinya.
"Kita harus coba saja dulu pak, demi kebaikan Novi." Ibunya Novi menyakinkan.
*****
Di ruang perawatan, Novi terbangun dari tidurnya dan melihat sekeliling dengan pandangan yang bingung.
"Di mana mas Satria? Aku ingin bertemu suamiku," ucapnya dengan lembut, namun terdengar ada kekhawatiran di dalam suaranya.
Ibu Novi mengusap air matanya, mendekati tempat tidur dan menggenggam tangan Novi. "Sayang, kamu baru saja kecelakaan. Satria belum ada di sini, tapi akan kami hubungi," ujar ibunya, mencoba menenangkan.
Kedua orang tua Novi duduk di samping tempat tidurnya, saling bertukar pandang dengan cemas. Novi, yang masih lemah pasca kecelakaan, menatap mereka dengan mata penuh harap.
"Ibu, Ayah, kapan mas Satria datang? Aku rindu sekali," tanya Novi dengan suara lemah.
Ibunya menggenggam tangan Novi, berusaha tersenyum meski hatinya terasa berat. "Novi, sayang, ustad Satria sedang sibuk. Mungkin nanti dia akan datang."
Novi mengerutkan kening, merasa ada yang aneh. "Kenapa dia tidak pernah datang? Bukankah dia suamiku? Harusnya dia menunggui istrinya yang sakit ini."
Ayah Novi menghela napas panjang, mencoba mencari kata-kata yang tepat. "Novi, ada beberapa hal yang perlu kamu ingat kembali. Satria... dia..."
Namun, sebelum Ayahnya bisa melanjutkan, ibunya Novi memotong, "Pak..." lirihnya seraya menggeleng pelan. Ibunya Novi tak mau memperparah keadaan anaknya dengan mengatakan yang sejujurnya.
"Tapi, buk...."
"Enggak, pak."
Novi memotong, "Ada apa, pak, buk? Kemana mas Satria? Biarkan aku menelpon dan bicara padanya."
"Nak, Satria sedang sangat sibuk. jangan ganggu dulu, nanti dia pasti datang kemari dan menjagamu," ucap ibunya mencoba menenangkan. "Sekarang istirahat lah dulu, hum?"
Novi pun menurut dan berbaring, ibunya membantu menarik selimut sampai batas dada.
Ibu Novi menatap suaminya dengan putus asa. "Kita harus bicara dengan Satria. Mungkin dia bisa membantu kita pak. aku nggak tega lihat Novi begini terus."
Ayah Novi mengangguk. "Aku akan mencoba menghubungi Satria. Semoga dia mau membantu."
Sementara itu, kecemasan dan kebingungan terus menerpa tanpa henti. Orang tua Novi berharap Satria mau datang dan membantu berpura-pura menjadi suami Novi sementara waktu. walau mereka juga sadar, mereka tahu bahwa menutupi kenyataan tidak akan selamanya berhasil, tetapi mereka juga tidak ingin menyakiti perasaan Novi yang masih rapuh.
Novi terus menunggu, berharap suaminya akan datang menjemputnya. Orang tua Novi hanya bisa berdoa agar ada keajaiban yang bisa membantu mereka keluar dari situasi ini.