Emily seorang model yang sukses dan terkenal. Namun, kesuksesan itu tidak dia dapatkan dengan gampang dan berjalan mulus. Mimpi buruk terjadi disaat dia menjadi boneka *** pribadi milik presedir di agensi tempat dia bekerja. Mulut terbungkam saat dia ingin berteriak, namun ancaman demi ancaman terlihat jelas di depan matanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yeppeudalee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ingin Mengakhiri
- 20.10 -
- Dalam Kamar Tidur -
Dia terduduk lemas dikursi rias saat cermin rias menghadapnya. Sorotan mata yang terlihat hopeless begitu jelas tergambar diwajahnya.
“Hhhh…” hari yang melelahkan, keluhnya pelan saat menunduk dan menatap jari-jemari.
Pikirnya; sampai kapan dia harus melewati hari-hari yang menyeramkan saat ini? Pikirnya; harus berapa lama lagi, dia mendapatkan penyiksaan mental dan batinnya.
Bukan hanya itu, dia kembali memikirkan Yubin yang dia pikir, wanita itu lebih dulu menjadi korban dibandingkan dirinya sendiri.
Tangisan Yubin yang terekam jelas ditelinganya, semakin membuatnya takut, untuk bertemu dengan Mattheo, seorang predator yang teramat jahat.
Pandangan itu teralihkan, Emily mengambil ponsel yang ada di samping. Dia melihat layar ponsel itu, dan membuka satu kontak. Menatap kontak itu dengan tatapan resah namun, dirinya mulai menangis seketika.
Hiks
Hiks
Hiks
Tubuhnya gemetaran, dia ketakutan dan merasa tertekan untuk apa yang harus dia jalankan saat ini.
“Aku memintanya, dan aku mendapatkannya.”
Dia pernah mengemis untuk bisa menjadi seorang model yang terkenal. Namun, untuk meraih itu semua, dia harus mengorbankan dirinya menjadi santapan predator yang begitu keji, seperti Mattheo.
Tangisan itu semakin larut dengan kesendiriannya di dalam kamar. Emily bahkan, tidak bisa mengatakan semua ketakutannya pada orang-orang di sampingnya, dia berpikir, kalau dirinya tidak memiliki kekuatan untuk melawan seseorang yang bisa menghancurkannya, bahkan Baby meimeinya.
“J-jangan menangis Emily! perjalanan kamu masih panjang. Kamu harus melihat Baby sukses. Setelah Baby sukses, kamu bisa bebas. Kamu harus kuat untuk Baby, setelahnya, kalau sudah tidak kuat, mari kita akhiri hidup ini.”
Dan pikirannya, mulai berada disatu titik untuk mengakhiri semuanya, setelah dia melihat Baby sukses dan mampu berjalan sendiri.
***
📍 Xgrey Bar
“Rey?” Sebuah suara memanggil, dan Reymond menoleh dengan cepat.
Reymond menoleh dengan panggilan itu, raut wajahnya terlihat menatap dengan tenang.
“Kenapa kamu di sini sendirian?” tanya pria itu, yang berdiri di sampingnya.
“Kak Michael?” Reymond menyebut nama itu dengan sedikit kebingungan, membuat pria tersebut menoleh.
“Serein, saya pikir kamu sudah pulang.” Michael berkata, mengangkat alisnya.
“Ah, aku dijemput suamiku.” Serein menjawab dengan senyum manis, mendekatkan dirinya ke Reymond dan mengelus lengan Reymond lembut.
“Ternyata kamu dijemput sama suami kamu.” Michael mengangguk, sedikit tersenyum.
“He’em.” Serein mengangguk, matanya menyiratkan ketenangan.
“Bagaimana dengan teman kamu?” tanya Michael.
“Dia sudah pulang, aku mengantarnya ke depan tadi.” Rein menjawab singkat, menyadari bahwa malam ini sudah hampir berakhir.
Reymond berdiri, memberi tanda untuk pamit.
“Hyung, saya duluan.” Reymond mengucapkan dengan sopan.
“Iya Rey. Kalian berdua hati-hati.” Michael membalas, menatapnya dengan perhatian.
“Iya, hyung.” Reymond mengangguk dan beranjak pergi, diikuti oleh Serein.
“Kak Michael, terima kasih untuk hari ini.” Serein mengucapkan terima kasih dengan wajah ceria.
“Saya yang harus berterima kasih, Rein.” Michael membalas dengan senyum, memperhatikan Serein yang sudah bersanding dengan Reymond.
Serein menggenggam tangan Reymond, dan Michael hanya bisa mengamati pasangan itu berjalan keluar, meninggalkan bar.
-Dalam Mobil -
“Kak Michael bilang, kalau permasalahan temanku sangat sulit. Tapi, kak Michael juga bilang, kalau dia akan membantu temanku sebisanya.” Serein melanjutkan pembicaraan, menatap Reymond yang sedang fokus mengemudi.
“He’em.” Reymond menjawab pendek, matanya tetap terfokus pada jalan.
“Sayang?…” Serein bertanya lembut, mencoba menarik perhatian Reymond.
“Hm?” Reymond menjawab, menoleh sejenak.
“Aku ingin macaron, boleh kita mencarinya? Tiba-tiba saja, aku ngidam pengen makan yang manis-manis.” Serein memelas, mencoba menggoda Reymond untuk mencari camilan.
Namun, tepat pada saat itu, handphone Reymond berdering. Nama yang tertera di layar membuatnya sedikit terkejut.
“Emily?” Serein bertanya, menatap Reymond dengan penasaran.
Reymond langsung meraih handphone dan mengangkat panggilan tanpa banyak berpikir.
“Emily, ada apa?” Reymond bertanya dengan nada serius.
“O-oh, maaf pak Rey, saya nggak sengaja ketekan kontak bapak.” Suara Emily terdengar cemas, seolah merasa sangat malu.
“Ah, begitu. Saya pikir ada apa.” Reymond menghela napas, tapi terlihat tetap tenang.
“Enggak ada pak, maaf pak.” Emily kembali minta maaf, nadanya terdengar sungguh-sungguh.
“He’em, iya.” Reymond mengakhiri percakapan dengan cepat.
****
“Aiiisssshhhh! Ngapain coba pakai acara ketekan segala lagi. Malu banget! Ntar dia mikirnya apa lagi.” Emily menggerutu dalam hatinya, merasakan malu yang menyelimuti dirinya. Dia sudah memandangi nomor handphone Reymond sejak tadi, entah apa yang sebenarnya ingin dia lakukan.
“Hhhh… lagian, kalau aku menghubungi dia, mau ngapain coba? Mau cari gara-gara lagi kayak kemarin? Ingat yang kemarin aja rasanya malu banget, apalagi kalau aku buat masalah lagi.” Emily merenung, tatapannya kosong, hanya terfokus pada gelas minumannya yang setengah kosong.
Di bar itu, Emily merasa terperangkap dalam pikirannya. Malam ini, dia tak bisa istirahat. Dia memilih untuk mendinginkan kepalanya dan berusaha mengalihkan perasaan takutnya terhadap Mattheo.
“Aku harus bertahan untuk beberapa tahun. Aku harus tetap waras untuk beberapa tahun ke depan. Baby masih membutuhkan aku. Dan aku, nggak bisa meninggalkan Baby begitu saja. Setelah dia berhasil dan sukses, aku akan pergi dengan tenang tanpa merasa bersalah.” Pikiran itu menghantui Emily. Setidaknya, dia ingin meninggalkan sesuatu yang berguna untuk Baby.
“Ah! Setidaknya, aku harus meninggalkan beberapa uang dan benda yang cukup untuk Baby nanti. Aku nggak mau dia kesulitan menjalani hari-harinya sendirian tanpa aku.” Emily mengingatkan dirinya sendiri, seolah itu adalah satu-satunya cara untuk lepas dari segala ikatan dan ancaman pada dirinya.
Dengan satu tarikan napas dalam, Emily meneguk minuman alkohol yang ada di hadapannya. Kembali, dia merasakan perasaan kosong itu meresap, membalutnya dengan rasa sepi.