Arga, lulusan baru akademi kepolisian, penuh semangat untuk membela kebenaran dan memberantas kejahatan. Namun, idealismenya langsung diuji ketika ia mendapati dunia kepolisian tak sebersih bayangannya. Mulai dari senior yang lihai menerima amplop tebal hingga kasus besar yang ditutupi dengan trik licik, Arga mulai mempertanyakan: apakah dia berada di sisi yang benar?
Dalam sebuah penyelidikan kasus pembunuhan yang melibatkan anak pejabat, Arga memergoki skandal besar yang membuatnya muak. Apalagi saat senior yang dia hormati dituduh menerima suap, dan dipecat, dan Arga ditugaskan sebagai polisi lalu lintas, karena kesalahan berkelahi dengan atasannya.
Beruntung, dia bertemu dua sekutu tak terduga: Bagong, mantan preman yang kini bertobat, dan Manda, mantan reporter kriminal yang tajam lidahnya tapi tulus hatinya. Bersama mereka, Arga melawan korupsi, membongkar kejahatan, dan... mencoba tetap hidup sambil menghadapi deretan ancaman dari para "bos besar".
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seraphine E, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7 : Jangan sampai kehilangan nyawa
Pria mabuk itu, dengan mata berkilat-kilat dan wajah merah padam, tak peduli lagi siapa yang ada di hadapannya. Dengan gerakan acak tak terkendali, dia meraih pisau dapur yang tergeletak di meja, dan dalam keadaan sempoyongan, dia mulai mengayunkannya ke sana kemari seperti orang yang sedang berusaha menangkap bayangan dirinya sendiri.
“Jangan! Jangan deket-deket!” teriak Arga, sambil menahan napas. “Dia gila!”
Tapi sebelum Arga sempat menghindar sepenuhnya, sayatan tipis dari pisau itu melayang dan menyentuh tangannya. “Aduh!” Arga melompat mundur, memegangi tangan yang terluka. “Kamu pikir saya ikan asin, main potong-potong aja!”
Rahmat yang tadinya terlihat ragu-ragu, kini seperti mendapat suntikan adrenalin langsung ke jantungnya. Dengan wajah yang tampak kaku, dia langsung melesat ke depan, seperti ingin membuktikan dirinya lebih berani daripada yang dia kira. “Ayo, Arga! Kita nggak bisa nunggu lagi!” teriaknya, lalu dia dengan nekat langsung menubruk pria itu dengan tenaga yang melebihi perkiraannya.
Pria itu terjatuh dengan keras, tubuhnya terhimpit oleh Rahmat yang lebih besar dan lebih bersemangat, meskipun masih terlihat ketakutan. Arga yang kebingungannya sudah mencapai puncak, ikut bergabung, seolah merasa kalau mereka bisa menahan pelaku hanya dengan melibatkan badan mereka berdua yang agak kurang ideal untuk berkelahi.
“Ini dia, Rahmat! Kita harus tekan dia!” seru Arga sambil menjatuhkan tubuhnya ke atas pelaku yang sedang meronta-ronta. Pisau yang tadi diayunkan dengan liar, kini terlempar jauh entah ke mana. “Aduh, ini rasanya kayak ngerem di jalan licin! Jangan sampai dia meledak!”
Pria itu terus berjuang seakan ingin melepaskan diri, tapi Rahmat dan Arga tetap menahannya. Dengan tubuh Rahmat yang lebih besar menghalangi jalan, Arga akhirnya berhasil memegang kedua tangan pria itu, menahannya di posisi terpuruk. “Tunggu, tunggu! Sabar, Arga! Jangan bikin dia makin panik! Kalau dia kabur, kita yang repot!” Rahmat berusaha menenangkan, tapi dengan wajah yang sudah sedikit memerah karena tenaga yang habis.
Akhirnya, setelah perjuangan yang sangat menguras tenaga, pria itu mulai kehabisan tenaga dan akhirnya menyerah, tubuhnya terbaring lemas. “Nah, baru deh beres! Gampang banget, kan?” Arga berkata dengan nada pemenang, meskipun keringat di wajahnya seperti air hujan yang enggan berhenti.
Rahmat yang masih terengah-engah, melihat ke arah Arga dan lalu menatap pelaku yang sudah tak berdaya. “Luar biasa, bro! Kita ini kayak duo superhero, cuma bedanya, kita nggak pakai kostum. Kalau ada kamera, kita pasti masuk trending topic!” katanya sambil tertawa lebar.
Arga menyunggingkan senyum lelah. “Iya, iya, kita kayak duo detektif, cuma minus otak dan pengalaman.”
Rosa, yang masih berdiri terkejut, akhirnya berjalan mendekat. “Kalian... kalian berdua hebat!” katanya dengan suara gemetar. Arga cuma bisa mengangguk sambil menahan rasa sakit di tangannya yang terluka. “Aduh, kalau saya tahu segila ini jadi polisi baru, saya juga nggak bakal mikir panjang!” jawabnya sambil tertawa kecil.
Dengan begitu, kejadian yang sebenarnya sangat serius itu pun berakhir dengan cara yang sedikit... konyol. Rahmat dan Arga mungkin baru saja belajar bahwa menjadi pahlawan tidak selalu harus penuh perhitungan, tetapi kadang-kadang harus dengan sedikit nekat dan penuh improvisasi—terutama kalau pisau dapur dan tubuh besar Rahmat menjadi kunci suksesnya.
Setelah perjuangan penuh adrenalin yang menguras tenaga itu, Arga dan Rahmat akhirnya berhasil memborgol Ivan, yang kini tampak lebih pasrah daripada sebelumnya. Dengan napas terengah-engah, Arga berdiri sambil memeriksa tangannya yang terluka, lalu melirik ke Rahmat yang tampaknya juga kelelahan, meskipun wajahnya sedikit bangga. “Eh, kita berhasil! Gimana, bro, keren kan?” Arga berkata dengan napas berat, sambil mengusap keringat yang mengalir di dahinya.
Rosa, yang tadinya berdiri cemas, langsung berlari menghampiri sahabatnya yang terluka. Dia terlihat sangat lega, meskipun masih agak terkejut dengan kejadian yang baru saja terjadi. "Terima kasih, Arga... Rahmat," ucapnya dengan mata berkaca-kaca, matanya berbinar karena rasa syukur.
Namun, kebahagiaan mereka seketika sirna saat terdengar langkah berat menuju pintu. Arga dan Rahmat mendongak, dan di ambang pintu itu, berdiri Komandan Gunawan, Rini, dan Dedi. Ketiganya memandang mereka dengan tatapan tajam yang bisa memotong besi. Kalau tatapan itu bisa berbicara, mungkin mereka berdua sudah dihukum mati tanpa bicara.
"Uh-oh," Arga berbisik pelan kepada Rahmat, wajahnya memucat. Rahmat yang juga mulai merasakan aura dingin dari Gunawan hanya bisa mengangguk. Seolah tahu kalau masalah besar baru saja datang.
Gunawan memandang mereka berdua dengan tatapan yang lebih tajam daripada pisau daging. “Apa yang kalian lakukan di sini?” suaranya dalam dan berat, penuh dengan ketegangan yang menyesakkan. Tapi anehnya, meskipun wajahnya kelihatan ingin meledak, Gunawan tampaknya berusaha keras untuk menahan amarahnya. Mungkin dia sudah paham kalau dua anak baru ini punya potensi—tapi tetap saja, mereka melanggar aturan dengan terang-terangan.
Rini yang berdiri di samping Gunawan, dengan ekspresi yang hampir tidak berubah, langsung angkat bicara, “Kami ambil alih TKP, Komandan.” Ekspresi wajahnya tidak terlihat marah, tapi seolah-olah sudah bisa meramalkan kejadian yang akan datang. Sementara Dedi, yang tampak lebih santai dan jarang bicara, hanya berdiri di belakang mereka dengan wajah yang setengah bingung dan setengah cemas, mungkin bertanya-tanya apakah dia seharusnya mengucapkan sesuatu atau cukup diam.
Arga dan Rahmat saling melirik, bingung harus berkata apa. “Maaf Komandan... Kami....” Arga berkata dengan suara yang lebih mirip permintaan maaf, meskipun di dalam hatinya bergejolak ingin menjelaskan betapa heroiknya mereka dalam situasi ini.
Gunawan menghela napas panjang, tapi tidak langsung marah. “Saya akan menunggu laporan kalian terkait kejadian ini di kantor, dan ingat jangan harap kalian bisa lolos, meskipun kalian berhasil menangkap pelaku!” kata Gunawan dengan nada yang lebih seperti peringatan daripada ancaman.
Rahmat yang sedikit takut, mengangguk sambil menatap Gunawan, “Maaf, Komandan. Kami cuma mau ngebantu...” suaranya terdengar ragu, seakan ingin menjelaskan bahwa mereka hanya mencoba melakukan yang benar, meskipun melanggar beberapa peraturan dasar yang mungkin diatur dalam buku polisi.
Gunawan mendecih, seolah memberikan izin tapi juga mengingatkan mereka bahwa ada konsekuensi di balik setiap tindakan. “Kalian pikir, jadi polisi itu pekerjaan main-main, kalian bisa saja kehilangan nyawa kalau bertindak gegabah. Apalagi kalian masih belum berpengalaman.”
Arga yang masih bingung, cuma bisa mengangguk dengan semangat yang mulai luntur. “Ya, Komandan. Kami... Kami mengerti.” Suara Arga terdengar agak cemas, tapi dia mencoba tersenyum, meskipun rasanya lebih mirip senyum terpaksa.
Sementara Gunawan memberi isyarat kepada Rini dan Dedi untuk mengambil alih TKP, Arga dan Rahmat hanya bisa berdiri terpaku di tempat, merasa seperti anak kecil yang baru saja ketahuan mencuri permen. Mereka tahu mereka baru saja berhasil menangkap penjahat, tapi entah kenapa, perasaan bangga mereka sedikit pudar karena tatapan serius dari Komandan Gunawan.
"Next time," Gunawan mengakhiri percakapan itu, "kalian ikut aturannya. Jangan sok pahlawan, apalagi tanpa pengalaman."
Dengan itu, Gunawan, Rini, dan Dedi pun berbalik meninggalkan mereka berdua di ruang itu, meninggalkan Arga dan Rahmat yang hanya bisa saling melirik, dengan ekspresi bingung dan sedikit terluka—tapi juga tahu kalau mereka harus belajar banyak lagi. “Ya, jadi polisi tuh susah banget ya, Rahmat?” Arga akhirnya berkata sambil mengusap wajahnya yang mulai berkeringat dingin lagi.
Rahmat hanya bisa tersenyum pahit. “Yap. Dan kita cuma baru mulai, Arga.”
...****************...