Enam tahun silam, dunia Tama hancur berkeping-keping akibat patah hati oleh cinta pertamanya. Sejak itu, Tama hidup dalam penyesalan dan tak ingin lagi mengenal cinta.
Ketika ia mulai terbiasa dengan rasa sakit itu, takdir mempertemukannya dengan seorang wanita yang membuatnya kembali hidup. Tetapi Tama tetap tidak menginginkan adanya cinta di antara mereka.
Jika hubungan satu malam mereka terus terjadi sepanjang waktu, akankah ia siap untuk kembali merasakan cinta dan menghadapi trauma masa lalu yang masih mengusik hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jeruk Sun Kiss
Gue ambil jus jeruk itu dari tangannya sambil senyum.
"Apalagi yang ada di tas itu?"
Dia angkat bahu. "Barang-barang."
Dia memperhatikan gue buka jus itu. Dia terus lihat gue minum jusnya. Dia lihat gue tutup lagi tutup jusnya. Dia lihat gue taruh jus itu di atas meja dapurnya, tapi dia enggak cukup memperhatikan seberapa cepat gue bisa menyerbu tas itu.
Gue rebut tas itu tepat sebelum tangannya melingkar di pinggang gue.
Dia ketawa. "Balikin tasnya, Tia."
Gue buka tasnya dan lihat isinya.
Kondom.
Gue ketawa dan lempar lagi tasnya ke atas meja. Pas gue balik badan, tangannya masih enggak melepaskan gue.
"Gue beneran pingin ngomong sesuatu tapi gue malu,” tangkis gue.
Dia enggak ketawa, tapi tangannya masih menempel di gue. "Lo aneh banget," katanya.
"Gue enggak peduli."
Dia senyum. "Aneh."
Dia bilang ke gue kalau ini aneh, tapi rasanya enak banget buat gue. Gue enggak yakin, buat dia, aneh itu enak atau enggak. "Aneh itu bagus atau jelek?"
"Dua-duanya," katanya. "Enggak dua-duanya juga."
"Lo aneh," balas gue.
Dia senyum lebar. "Gue enggak peduli."
Dia geser tangannya ke atas punggung gue, ke bahu gue, terus perlahan turun ke lengan sampai tangannya menyentuh tangan gue.
Gue jadi ingat.
Gue tarik tangannya ke depan kita. "Gimana tangan lo?"
"Baik-baik aja," katanya.
"Mungkin gue harus cek besok," kata gue.
"Gue enggak di sini besok. Gue pergi beberapa jam lagi."
Dua pikiran muncul di kepala gue.
Pertama, gue kecewa banget dia bakal pergi malam ini.
Kedua, kenapa gue di sini kalau dia bakal pergi malam ini?
"Harusnya lo tidur, enggak sih?"
Dia geleng kepala. "Gue enggak bisa tidur sekarang."
"Lo bahkan enggak coba," balas gue. "Lo enggak bisa nerbangin pesawat kalau enggak tidur, Tama."
"Penerbangan jarak dekat. Lagian, gue cuma kopilot. Gue bisa tidur di pesawat nanti."
Tidur enggak ada di agendanya.
Gue ada.
Gue berhasil mengalahkan agenda tidurnya atau mengambil alih agenda tidurnya?
Gue jadi berpikir, apalagi yang gue bisa kalahkan?
"Jadi," bisik gue pelan sambil lepaskan tangannya.
Gue berhenti sebentar, karena gue enggak punya pikiran lagi buat melanjutkan kata-kata gue setelah 'Jadi'. Suasana jadi sunyi. Mulai agak canggung.
"Jadi," katanya. Jarinya merayap ke sela-sela jari gue dan melebarkannya. Jari gue suka sama jarinya.
"Lo mau tahu enggak, udah berapa lama gue enggak berhubungan seintim ini? Sebelum sama lo?" tanya gue.
Kayaknya adil, soalnya seluruh keluarga gue sudah tahu berapa lama dia kesepian.
"Enggak," jawabnya simpel. "Tapi gue pengen cium lo."
Enggak tahu bagaimana harus menanggapi itu, tapi gue enggak bakal mempermasalahkan jawaban 'enggak'-nya kalo diikuti sama pernyataan kayak begitu.
"Ya udah, cium gue," balas gue.
Jarinya lepas dari jari gue dan bergerak ke sisi kepala gue, dan dia pegang, gue diam. "Gue harap lo rasanya kayak jus jeruk yang tadi."
Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan, sembilan.
Gue hitung kata-kata dia dalam kalimat terakhir itu, terus gue cari-cari tempat di kepala gue buat simpan sembilan kata itu selamanya.
Gue ingin sembunyikan mereka di laci pikiran gue dan kasih label "Hal-hal yang bisa gue keluarin dan baca pas aturan nomor dua-nya yang menyedihkan dan bodoh itu jadi kenyataan."
Tama masuk ke mulut gue.
Dia masuk lagi ke diri gue.
Gue tutup laci pikiran itu dan kembali ke dirinya.
Masuklah, masuklah, masuklah.
Sepertinya gue memang rasanya kayak jus jeruk, karena dia jelas-jelas bertingkah seolah dia menikmati rasanya.
Gue juga pasti menikmati rasa mulut dia, karena gue menariknya mendekat, cium dia, berusaha sebaik mungkin buat memasukkan nama Sintia ke hatinya.
Dia tarik diri buat ambil napas dan bicara. "Gue lupa betapa enaknya ini sama ...."
Dia membandingkan gue.
Gue enggak suka kalau dia membandingkan gue sama orang lain yang pernah bikin dia merasa seenak ini.
"Mau tahu sesuatu?" tanya dia.
Gue mau.
Gue ingin tahu segalanya, tapi entah kenapa, gue malah pilih momen ini buat balas dendam atas satu kata yang dia ucapkan ke gue tadi.
"Enggak."
Kita impas.
Gue tarik dia kembali ke mulut gue. Dia enggak langsung balas ciuman gue, karena dia bingung dengan apa yang baru saja terjadi. Tapi mulutnya cepat-cepat mengejar. Gue rasa dia benci jawaban singkat gue sama seperti gue benci jawabannya, dan sekarang dia pakai tangannya buat balas dendam.
Gue enggak bisa tahu di mana dia menyentuh gue, karena begitu dia menyentuh satu titik, tangannya pindah ke tempat lain. Dia menyentuh gue di mana-mana, tangannya ada di mana-mana sekaligus.
Bagian favorit gue saat ciuman sama Tama adalah suaranya. Suara bibirnya waktu menempel di bibir gue. Suara napas kita yang saling ditelan. Gue suka bagaimana dia mengerang waktu tubuh kita menyatu. Karena cowok biasanya cenderung lebih menahan suara mereka daripada cewek.
Tapi enggak dengan Tama. Dia mau gue tahu itu, dan gue suka banget sama itu.
Tuhan, gue suka banget.
"Tia," gumamnya di mulut gue. "Ayo ke kamar gue."
Gue mengangguk, jadi dia melepaskan bibirnya dari gue. Dia menyeberang ke meja buat ambil sekotak kondom. Dia mulai jalan bareng gue ke kamarnya, tapi dia buru-buru balik ke dapur dan mengambil jus jeruk.
Waktu dia melewati gue sambil tunjuk arah jalan ke kamarnya, dia mengedipkan mata.
Cara kedipan kecil itu bikin gue merasa takut akan apa yang bakal gue rasakan begitu dia ada di dalam rahim gue. Gue enggak tahu apakah gue bisa bertahan.
Begitu kita masuk ke kamarnya, gue mulai merasa gelisah. Karena ini tempat dia, dan seluruh keadaan ini sepenuhnya di bawah aturannya, dan gue merasa agak kurang diuntungkan.
"Ada apa?" tanyanya. Dia lagi melepas sepatunya. Dia jalan ke kamar mandi, mematikan lampu, terus tutup pintunya.
"Gue gugup," bisik gue. Gue berdiri di tengah kamarnya, tahu persis apa yang bakal terjadi.
Biasanya, hal-hal kayak begini enggak dibicarakan dan direncanakan seperti ini. Mereka spontan dan penuh gairah, dan kedua belah pihak enggak tahu apa yang akan terjadi sampai itu benar-benar terjadi, mereka sering enggak menyadarinya. Tapi gue sama Tama sama-sama tahu apa yang bakal terjadi.
Dia jalan ke tempat tidur dan duduk di pinggirnya. "Sini," panggilnya. Gue senyum, terus jalan beberapa langkah ke tempat dia duduk. Dia genggam bagian belakang paha gue, terus cium kaos yang tutupi perut gue.
Tangan gue jatuh ke pundaknya, dan gue lihat ke bawah ke arahnya. Dia lihat ke atas ke gue.
"Kita bisa pelan-pelan aja," katanya. "Enggak harus malam ini. Karena itu bukan salah satu dari aturan kita."
Gue ketawa, tapi gue juga geleng kepala. "Enggak apa-apa. Lo bakal pergi beberapa jam lagi dan enggak balik selama, berapa hari, lima hari?"
"Sembilan kali ini," katanya.
Gue benci angka itu.
"Gue enggak mau bikin lo nunggu sembilan hari setelah berharap banyak," desak gue.
Tangannya naik ke belakang paha gue dan beralih ke depan celana jeans gue. Dia buka kancingnya dengan mudah.
"Ngebayangin bisa ngelakuin ini sama lo sekali aja enggak bakal menyiksa gue," katanya sambil jarinya menyentuh resleting gue.
Dia mulai membuka resleting itu, dan jantung gue berdetak begitu keras sampai rasanya seperti lagi membangun sesuatu.
Mungkin jantung gue lagi membangun tangga buat dirinya sendiri sampai ke surga, karena dia tahu dia bakal meledak dan mati begitu celana jeans ini melorot.
hingga menciptakan kedamaiannya kembali...
meski rasa takut itu masih terasa