Andara Mayra terpaksa menerima perjodohan dengan seorang pria yang sudah dipilihkan oleh ayahnya.
Namun dibalik perjodohan yang ia terima itu ternyata ia sudah memiliki kesepakatan sebelumnya dengan sang calon suami. kesepakatan jika setelah satu tahun pernikahan, mereka akan bercerai.
akankah mereka benar-benar teguh pada kesepakatan mereka? atau malah saling jatuh cinta dan melupakan kesepakatan itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon wiwit rthnawati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bali, i'm back
Kalian tahu kemana bang erik membawaku?
Bali.
Saat ini aku sedang membuat es kuwut bersama mbak sekar di rumahnya. Kupikir bang erik akan membawaku ke prancis, atau ke swiss atau kemana gitu yang jauh. Ternyata tidak. Ia malah membawaku ke tempat calon istrinya ini.
Yeah tidak masalah. Aku suka. Setidaknya aku bisa mengenal lebih jauh calon kakak iparku itu dan tentunya aku bisa menyibukan diriku dengan membatu mereka mempersiapkan pernikahan mereka yang hanya tinggal dua minggu lagi.
"Mbak sekar benar gak keberatan aku tinggal disini?"
Aku kembali bertanya untuk sekedar memastikan jika mbak sekar memang tidak keberatan aku tinggal bersamanya.
"Ya ampun May. Aku malah senang kamu tinggal disini. Aku jadi ada temannya kan. Duh sudah lama aku memimpikan punya adek perempuan, punya teman curhat, teman masak, teman dirumah. bisa ngapa-ngapain bareng." Tatapan mbak sekar memang terlihat tulus.
"Pokonya kamu jangan sungkan disini. Bukankah sebentar lagi kita akan benar-benar menjadi saudara?" Aku tersenyum dan memeluknya dari samping.
"Aduuh aku bahagia sekali, akhirnya aku punya kakak perempuan sekarang. Makasih ya mbak."
"Sama-sama adikku sayang."
"Uluh uluh. Ada yang dengan cepat menggeser posisiku nih." Bang erik datang dan langsung mengecup pipi mbak sekar, ia juga langsung mengacak rambutku lembut.
"Iri bilang bos."
"Iya lah iri. Abang juga pengen dong dipeluk sama kalian." Bang erik langsung memeluk kami berdua.
Beberapa hari di bali aku lumayan bisa sedikit melupakan rasa sakitku, ya meski tetap, jika ingat dia rasa sakit itu kembali menghujam. Setiap malam, dengan melihat deburan ombak, aku selalu termenung mengingat dia yang sudah menyakitiku. Sepertinya kehamilanku juga ikut menjadi faktor aku sering mengingat dia.
"Wanita hamil gak baik di luar malam-malam." Bang erik datang menghampiriku yang duduk di depan serambi rumah mbak sekar.
"Kalau rindu ngapain pergi?" ia tesenyum menggodaku.
"ih abang." aku cemberut karena dia malah meledekku. Sudah tahu alasan aku pergi apa, dia malah menggodaku seperti itu.
"Abang kenal Bara. Dia dan Anastasya itu memang sedekat itu. Ya abang juga tahu kalau mereka terjebak friendzone. Jadi inilah yang abang takutkan, takut saat Ana kembali, Bara akan kembali lemah karena mereka memang sedekat itu dari dulu." Bang erik mengelus rambutku.
"Bukan maksud abang kamu tidak lebih berarti daripada Ana. Tapi melihat sekarang, dugaan abang ternyata benar kan? Meski abang bisa melihat dia mencintai kamu, tapi rasa sayangnya pada Ana juga tak bisa ia abaikan. Abang harap kamu ngerti maksud abang."
"Ya. Aku ngerti. Lagian sekarang keputusanku sudah bulat. Aku akan bercerai dengan mas Bara. Meski mencintainya, kuharap rasa ini bisa segera hilang." Aku tersenyum pada bang Erik.
"Kamu ingin melanjutkan hubunganmu dengan satria?"
"Enggak. Aku juga akan mengakhirinya nanti."
"Kenapa? Bukankah dia pria yang baik? Abang lihat dia juga tampan dan sepertinya dia calon orang sukses." aku tersenyum tipis.
"Tapi dia sepupu mas Bara. Dan aku tidak mau memperkeruh hubungan mereka."
"Jadi apakah kamu berniat mencari bule disini? Biar nanti abang carikan." Disaat serius seperti ini bang Erik malah bercanda.
"Boleh. abang carikan saja yang cocok buatku."
"whahaha. Boleh. Kebetulan abang punya banyak sekali teman bule. Mau bule mana? Swiss? inggris? Spanyol? Belanda?"
"Turki ada? Kalau bisa sih pangeran Arab."
"Kamu beneran mau?"
"Enggaklah abang. Enggak semudah itu."
"Hmm. Abang besok mau pulang. Kamu mau ikut?"
"Enggak."
Cukup lama aku dan bang Erik berbincang. Hingga akhirnya ia menyuruhku masuk karena malam yang mulai larut.
Ponsel memang sengaja ku matikan. Dan aku juga tidak lupa menyuruh bang Erik mengurus semuanya. Termasuk memberi tahu kepergianku kepada mama dan papa dengan alasan aku yang akan membantu mempersiapkan pernikahan bang Erik.
Dan untuk kak Satria. Aku sendiri masih bingung dan belum siap berbicara padanya untuk mengakhiri hubungan kami.
Setelah mengantar Bang Erik ke bandara, aku memilih bermain di pantai dekat rumah mbak Sekar
Angin sepoi-sepoi dengan lambaian pohon kelapa membuatku cukup relaks. Deburan ombak dan terbentangnya laut membuat pikiranku melanglang buana.
Mungkin kamu sedang bahagia bersama mbak ana atas pernikahan kalian.
Aku mengusap perutku pelan. Maafkan mama nak. Maaf karena membuatmu harus terlahir tanpa keluarga yang utuh. Tapi mama janji akan selalu memberikan yang terbaik. Kalau perlu mama akan jadi mama sekaligus papa untuk kamu.
"Itu siapa?" Kudengar suara seseorang dari arah belakang. Aku membalikkan badan melihat kearah sumber suara. Disana ada seorang wanita paruh baya bertanya pada mbak sekar yang baru keluar dari rumahnya.
"Eh ibu sudah pulang? Itu adik bli Erik bu."
"Oh."
Mereka menghampiriku. Akupun menyalami ibunya mbak sekar.
"Salam kenal bu. Saya Mayra. Adik bang erik. "
"Oalah, cantik sekali calon adik iparmu ini kar. Salam kenal juga. Ibu, Parmi. Ibunya sekar. Kamu Baru kesini?"
"Aku sudah satu minggu disini bu." Bu parmi nampak melihat mbak sekar.
"Iya bu. Mayra akan tinggal disini dulu untuk sementara. Mau bantu persiapan pernikahan sekar dan abangnya. Gak papa kan bu?"
"Oalah. Gak papa to nduk."
"Bi Parmi." Kulihat seorang laki-laki bule blasteran Argentina datang menghampiri kami. Tampilannya khas orang bali. Memakai pakaian putih dengan blankon ala bali.
"Ini bawaannya ketinggalan." Ia membawa sebuah keranjang.
"Aduh maaf , saya lupa. Jro Gusti Arya jadi harus repot-repot mengantarnya kemari." Bu parmi segera mengambil keranjang itu dan menunduk hormat.
"Tidak apa-apa bi. Tidak masalah." Ia nampak tersenyum ramah. Ia lalu melihatku.
"Ini siapa bi? Sepertinya saya baru lihat?"
"Oh ini calon adik iparnya sekar. Perkenalkan." Bu parmi seolah memintaku memperkenalkan diri.
"Mayra." Aku menangkupkan tangan.
"Arya." Ia tersenyum dengan mengulurkan tangannya. Aku sedikit canggung, namun demi menghormatinya aku membalas uluran tangannya. matanya terus menatapku. Alisnya yang tebal dan mata yang cekung membuat tatapannya terkesan meneduhkan.
"Jangan lupa ajak sekar dan Mayra di acara besok ya bi. Saya permisi." Gusti Arya berpamitan pada kami semua.
Aku, mbak sekar dan bu parmipun akhirnya masuk. Aku cukup banyak berbincang dengan bu parmi. Ternyata beliau sudah lama mengabdi di keluarga gusti Arya tadi. Lama hidup seorang diri sebagai single parent membuat ia harus bekerja keras untuk menghidupi dirinya dan anak semata wayangnya, mbak sekar. Lama mengabdi, membuat posisi bu parmi saat ini menjadi abdi yang begitu penting disana. Keluarga gusti Arya sendiri sudah menganggap keluarga bu parmi sebagai anggota dari keluarga.
"Besok kalian siap-siap ya. Besok kita harus menghadiri acara penting di bale gede. Jangan lupa kamu dandanin Mayra seperti gadis bali Kar. Dia juga harus ikut"
"Iya bu."
Bu parmipun pamit untuk istirahat. Aku dan mbak sekar ikut istirahat.
Keesokan paginya aku didandani layaknya gadis bali. Memakai kebaya bali berwarna teracota membuatku terlihat sangat cantik. Apalagi polesan make up yang mbak sekar berikan membuatku nampak pangling.
"Waaah benar-benar jadi calon pengantin bali beneran ini mah." Bu parmi nampak takjub melihatku.
"Ayo berangkat."
Rumah megah dengan banyak tanaman bunga kamboja membuat nuansa rumah besar ini sangat kental dengan bali.
Nampak sudah banyak orang yang datang. Aku dan mbak sekar ikut duduk bersama para tamu yang lain. Sementara bu parmi sudah pamit untuk kembali bertugas.
Aku cukup terhibur dengan acara yang digelar disini. Tarian-tarian bali mulai diperlihatkan.
"Hai." Gusti Arya tiba-tiba duduk di sebelahku. Aku dan mbak sekar tersenyum seraya mengangguk hormat.
"Jro Gusti Arya disini?"
"Kuharap kalian terhibur."
"Tentu. Kami sangat terhibur. Iya kan mbak?" Aku bertanya pada mbak sekar yang duduk disampingku.
"Iya jro gusti." Tak lama duduk bersama kulihat gusti Arya menerima panggilan pada ponselnya. Iapun pamit pada kami.
Banyak makanan tersaji di beberapa meja. Kami para tamu bebas mengambil makanan apa saja yang ada disana.
Saat aku asyik dengan makananku, aku hampir tersedak ketika mataku tak sengaja melihat sosok yang ku kenal sedang berbicara bersama gusti Arya dengan posisi yang tak jauh dariku.