Veltika Chiara Andung tak pernah membayangkan hidupnya akan jungkir balik dalam sekejap. Di usia senja, ayahnya memutuskan menikah lagi dengan seorang perempuan misterius yang memiliki anak lelaki bernama Denis Irwin Jatmiko. Namun, tak ada yang lebih mengejutkan dibanding fakta bahwa Denis adalah pria yang pernah mengisi malam-malam rahasia Veltika.
Kini, Veltika harus menghadapi kenyataan menjadi saudara tiri Denis, sambil menyembunyikan kebenaran di balik hubungan mereka. Di tengah konflik keluarga yang rumit, masa lalu mereka perlahan kembali menyeruak, mengguncang hati Veltika.
Akankah hubungan terlarang ini menjadi bumerang, atau malah membawa mereka pada takdir yang tak terduga?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NinLugas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Titik temu diantara rasa
Titik Temu di Antara Rasa
Veltika menatap Denis dari seberang meja makan kecil mereka. Mie instan yang baru selesai mereka masak terhidang di tengah, menguarkan aroma gurih yang seharusnya menggoda selera. Namun, baik Veltika maupun Denis tak segera menyentuhnya. Ada sesuatu yang lebih mendesak di antara mereka—pertanyaan yang belum terjawab, dan rasa yang belum sepenuhnya terungkap.
“Apakah kita bisa terus seperti ini?” Veltika memecah keheningan, suaranya lirih namun tegas. Tatapannya tertuju pada Denis yang tengah menggenggam sumpit, tapi jelas pikirannya ada di tempat lain.
Denis menghela napas panjang, meletakkan sumpitnya dengan perlahan. “Aku tahu, Vel. Kita tidak bisa selamanya sembunyi di sini, seperti ini.” Ia mengangkat pandangannya, menatap langsung ke dalam mata Veltika. “Tapi aku juga tidak ingin kehilangan kamu.”
Kata-kata itu membuat dada Veltika terasa sesak. Ada cinta yang jelas terlihat di mata Denis, tapi juga kekhawatiran yang tak bisa disembunyikan. Mereka berdua tahu, hubungan ini tidak bisa terus bersembunyi di balik pintu apartemen. Orang tua mereka, dunia luar, bahkan masa lalu yang membayangi, semuanya seperti aral yang siap menghancurkan kebahagiaan mereka.
“Aku hanya ingin kita menemukan titik temu,” Veltika berbisik, suaranya nyaris tenggelam di tengah kesunyian malam. “Sebuah tempat di mana kita bisa bersama tanpa rasa takut.”
Denis meraih tangan Veltika, menggenggamnya erat seolah takut ia akan pergi. “Kalau itu yang kamu mau, aku akan berjuang. Untuk kita. Aku tidak akan membiarkan mereka memisahkan kita.”
Veltika mengangguk pelan, merasakan kehangatan di genggaman Denis. Mungkin mereka belum tahu apa yang menanti di depan, tetapi satu hal yang pasti, cinta mereka harus menemukan jalannya sendiri, meski dunia berusaha menghalanginya.
Dengan wajah sumringah, Denis menggenggam tangan Veltika erat saat mereka berdiri berdua di dalam lift apartemen. Jemari mereka saling bertautan, seolah tak ingin melepaskan meski lift perlahan bergerak turun. Di dalam ruang kecil itu, keheningan terasa nyaman, hanya ada detak jantung yang berdegup selaras.
"Aku masih ingin kamu di sini," bisik Denis, matanya menatap dalam ke arah Veltika.
Veltika tersenyum tipis, meski hatinya berat meninggalkan kehangatan malam ini. “Aku harus pulang, Denis. Kita sudah terlalu lama di sini. Bu Sri pasti mencariku.”
Lift berhenti dengan dentingan lembut di lantai dasar. Denis masih enggan melepaskan tangan Veltika saat mereka melangkah keluar, berjalan beriringan menuju tempat parkir. Angin malam yang sejuk menyapu wajah mereka, tetapi genggaman Denis tetap hangat.
Di samping mobil Veltika, Denis berhenti dan menariknya ke dalam pelukan singkat namun penuh makna. “Berhati-hatilah di jalan,” ujarnya lirih, suara rendahnya penuh perhatian. “Dan... aku akan menunggu pesanmu nanti.”
Veltika mengangguk, tatapannya menelusuri wajah Denis untuk terakhir kali sebelum ia masuk ke dalam mobil. “Kamu juga. Jangan terlalu larut malam, oke?”
Denis hanya tersenyum, matanya tak lepas dari sosok Veltika yang mulai menyalakan mesin mobil. Saat mobil itu perlahan melaju meninggalkan parkiran, Denis masih berdiri di tempatnya, menyimpan setiap momen itu dalam ingatan, seolah takut kehilangan apa yang baru saja mereka miliki bersama.
Benar saja, saat Veltika sampai di rumah, ia melihat mobil ayahnya dan Caroline terparkir di depan rumah. Matanya langsung tertuju pada pintu utama yang terbuka, dan sosok ayahnya yang sedang berbicara dengan Caroline, keduanya baru saja kembali dari bulan madu romantis mereka. Senyum bahagia terukir di wajah mereka, seolah tak ada yang bisa merusak kebahagiaan itu.
Veltika merasa perasaannya campur aduk. Di satu sisi, ia senang melihat ayahnya bahagia, tetapi di sisi lain, ia merasa tertekan dengan perubahan yang terjadi begitu cepat. Sejak menikah dengan Caroline, suasana di rumah terasa berbeda. Caroline yang selalu berusaha menjaga jarak dengan Veltika, meski di luar tampak baik-baik saja, membuat Veltika merasa sedikit terasing.
Dengan langkah hati-hati, Veltika masuk ke dalam rumah. Ayahnya melihatnya dan tersenyum lebar. "Veltika! Anak papa sudah pulang! Bagaimana hari ini?" tanya ayahnya sambil berjalan mendekatinya.
"Baik, pa," jawab Veltika dengan senyum tipis, meski hatinya sedang resah. Ia menoleh ke Caroline yang tersenyum ramah, tetapi tetap terasa ada jarak di antara mereka.
"Veltika, kita harus berbicara sebentar setelah makan malam," kata Caroline, suaranya terdengar lebih formal dari biasanya.
Veltika hanya mengangguk, menahan perasaan yang terus bergejolak. Ia tahu, ada banyak hal yang harus ia hadapi, baik itu dengan ayahnya, Caroline, maupun perasaan yang kini mengikatnya dengan Denis.
Beberapa menu sudah terhidang di meja makan, aroma makanan yang menggugah selera memenuhi udara ruang makan. Bu Sri, pembantu rumah tangga yang sudah lama bekerja bersama mereka, tersenyum ramah sambil menyajikan hidangan terakhir. Makanan itu tampak lezat, namun Veltika merasa perutnya cemas dan tidak berselera. Caroline duduk di ujung meja dengan sikap anggun seperti biasanya, mengenakan gaun yang terlihat begitu sempurna di tubuhnya. Wajahnya tetap terlihat tenang, meski ada sesuatu yang tak terucapkan di matanya. Veltika bisa merasakannya, suasana di rumah ini mulai berubah sejak Caroline dan ayahnya menikah.
Veltika merasakan gugup yang luar biasa, tak bisa menenangkan pikirannya yang terus berpacu dengan ketidakpastian. Ia duduk dengan hati-hati di kursinya, memandangi piring di depannya tanpa berniat menyentuhnya. Setiap detik terasa begitu berat baginya. Veltika tahu, ada sesuatu yang akan dibahas oleh Caroline, dan ia merasa cemas tentang apa yang akan terjadi selanjutnya.
Ayahnya, yang terlihat santai, menyapa Veltika. "Veltika, sudah lama kita tidak makan bersama seperti ini, bagaimana kabarmu?"
Veltika memaksakan senyum tipis. "Baik, pa. Kerja agak sibuk belakangan ini," jawabnya pelan.
Caroline menatapnya sejenak sebelum membuka pembicaraan, suaranya terdengar lembut namun tegas. "Veltika, ada sesuatu yang perlu kita bicarakan. Sesuatu yang akan mengubah dinamika di rumah ini."
Veltika menelan ludahnya, merasakan ketegangan yang mulai menyelimuti ruangan. Apa yang akan Caroline katakan? Mengapa ia merasa seperti ini? Ia mencoba tetap tenang, namun hatinya seolah dihantui oleh kecemasan yang tak bisa dihindari.
Veltika terdiam, kata-kata ayahnya bergema dalam benaknya. "Kami berencana akan menjodohkanmu dengan anaknya teman Caroline, namanya Ben." Suara ayahnya terdengar begitu jelas, namun terasa seperti sesuatu yang jauh dan tak menyentuh hatinya. Kejutan itu datang begitu mendalam, membuat jantungnya seakan terhenti sesaat. Dia menatap ayahnya dengan perasaan campur aduk, antara bingung dan marah, namun ia tak bisa mengungkapkan apa-apa.
Di saat yang sama, pintu depan terbuka, dan suara langkah kaki terdengar dari arah ruang tamu. Denis baru saja tiba, tampaknya baru selesai berolahraga, dengan tas olahraga di tangan kanannya. Ketika ia masuk dan mendengar pembicaraan yang terjadi di meja makan, matanya langsung tertuju pada Veltika, dan tanpa sengaja, tas olahraga yang ia pegang terjatuh ke lantai dengan suara keras.
Mata Denis dan Veltika bertemu, namun kali ini tidak ada lagi senyum atau kedekatan di antara mereka. Denis bisa merasakan ketegangan di udara, dan ekspresi wajah Veltika yang tampak tercengang memberi sinyal bahwa ada sesuatu yang sangat salah.
Veltika tak tahu harus bagaimana. Rasanya seperti dunia yang baru saja terbuka, mengungkapkan kenyataan yang lebih pahit dari yang pernah ia bayangkan. Denis bergegas mendekat, menunduk untuk mengambil tasnya, namun matanya tak lepas dari Veltika, mencoba mencari jawaban atas apa yang baru saja ia dengar.
"Apa yang kalian maksud? Di jodohkan?" Denis akhirnya bertanya, suaranya terdengar rendah dan penuh ketegangan, namun tak bisa menutupi rasa cemas yang menggelayuti pikirannya.
Veltika merasa seluruh tubuhnya seperti beku, tak tahu harus berkata apa. Ia hanya bisa menatap ayahnya, berharap ada perubahan keputusan yang datang dengan penjelasan atau alasan yang lebih logis. Tapi, ia tahu, ini bukan keputusan yang bisa diubah begitu saja.