Hasrat Sang Kapten
...Sintia...
...────୨ৎ────...
"Habis kena cupang di leher, ya, Nona?" tegur seorang kakek sambil memencet tombol-tombol di panel lift. Sesekali ia mencuri pandang dan menunjuk ke arah leherku. "Kalau bukan, itu pasti tanda lahir, ya?"
Tanpa sadar, tanganku malah langsung menyentuh bagian bawah daun telinga. Sentuhan itu sukses bikin bulu kuduk berdiri.
"Dulu, mama saya pernah bilang, letak tanda lahir bisa menunjukkan cara seseorang meninggal di kehidupan sebelumnya. Sepertinya, Nona dulu mati ditikam di leher, ya?"
Aku hanya membalas dengan senyum tipis kaku. Masih belum bisa memutuskan, apakah aku harus takut atau justru terhibur.
Meski terdengar agak menyeramkan dengan logat timurnya, kakek ini jelas enggak berbahaya. Tubuhnya bungkuk dan jalannya goyah. Sepertinya usianya sudah lebih dari delapan puluh tahun.
Ia berjalan menuju salah satu kursi beludru merah di sudut dekat lift, lalu duduk sambil mengeluh pelan. Pandangannya kembali mengarah padaku. “Nona pasti mau ke lantai delapan belas, ya?”
Bagaimana dia tahu aku menuju lantai itu? Ini pertama kalinya aku ke sini dan pertama kalinya juga bertemu makhluk seaneh ini.
“Iya, Pak. Eh, Om... Kek,” jawabku hati-hati. “Kakek kerja di sini?”
“Betul.” Ia mengangguk sambil melirik ke arah lift. Mataku ikut berpaling ke angka-angka yang menyala di atas. Masih sebelas lantai lagi sebelum pintu terbuka.
“Saya tukang tekan tombol lift,” katanya. “Saya Pilot di apartemen ini, Nona. Karena setiap hari saya antar orang sampai ke lantai dua puluh.”
Aku tertawa mendengar ucapannya, mengingat kakak dan ayahku juga sama-sama pilot. “Sudah berapa lama Kakek jadi pilot lift ini?”
Ini lift paling lambat yang pernah aku temui.
“Sejak pensiun jadi perawat.”
“Oh, dulu kerja di rumah sakit?”
“Tentu enggak. Saya merawat gedung ini selama 32 tahun sebelum jadi pilot. Sekarang sudah lebih dari 15 tahun saya antar orang ke atas. Pemilik gedung mungkin kasihan sama saya, makanya kasih kerjaan ini. Biar saya tetap sibuk sampai mati.”
Ia tertawa kecil. Aneh, tapi entah kenapa menarik.
“Tapi dia enggak tahu, Tuhan masih kasih saya banyak mimpi yang harus saya capai. Saya belum akan mati dalam waktu dekat.”
Aku lega saat lift akhirnya terbuka. Cepat-cepat aku menarik koper dan menolehnya sekali lagi. “Nama Kakek siapa?”
“Samuel, Nona. Tapi panggil saja saya Kapten,” jawabnya. “Semua orang di sini memanggil saya begitu.”
“Kakek .... Eh, Kapten punya tanda lahir juga?”
“Ada. Ternyata di kehidupan sebelumnya saya ditembak tepat di pantat. Saya kira saya mati karena kehabisan darah.”
Aku menahan tawa dan memberi hormat ala pramugari kepada Kapten.
Begitu melangkah keluar dari lift, aku terpana melihat lobi apartemen yang megah. Tempat ini lebih mirip hotel bintang lima dengan patung-patung besar dan lantai marmer yang mengkilap.
Waktu Amio bilang aku boleh tinggal di sini sampai dapat pekerjaan, aku enggak menyangka dia hidup layaknya orang dewasa sungguhan. Terakhir kali kita bertemu, dia baru mulai mengurus lisensi pilot dan tinggal di lingkungan yang kumuh. Kukira tempat tinggalnya tak akan jauh beda. Ternyata aku salah.
Aku menekan tombol lantai delapan belas dan menatap bayanganku di kaca lift. Penampilanku acak-acakan. Capek setelah menyetir sendirian sejauh seribu kilometer dalam dua hari terakhir.
Rambutku diikat longgar dengan pensil karena tak sempat menemukan ikat rambut. Biasanya mataku berwarna cokelat hazelnut, tapi kini tampak lebih gelap karena kantong mata. Mirip pocong pakai wig.
Aku mengaduk tas, mencari lipstik agar bibirku enggak terlihat sekering kakek tadi.
Saat lift mulai menutup, pintunya tiba-tiba terbuka lagi. Seorang cowok berlari dan masuk, mengangguk ke arah Kapten. “Terima kasih, Kapten,” ucapnya.
Aku tak bisa melihat Kapten dari dalam lift, tapi bisa mendengar gumamnya.
Cowok itu tampak berusia awal dua puluhan. Ia tersenyum ke arahku, dan aku langsung tahu apa yang dipikirkannya, karena tangan kirinya masuk ke dalam saku.
Benar. Tangan dengan cincin kawin.
“Lantai sepuluh,” katanya.
Matanya turun ke belahan dadaku lalu ke koper. Aku agak menyesal memakai pakaian seperti ini. Seharusnya tadi aku pakai sweater atau hoodie.
“Lagi pindahan?” tanyanya, masih mencuri pandang.
Aku mengangguk, walau yakin dia enggak memperhatikan wajahku karena pandangannya tak lepas dari dadaku.
“Lantai berapa?”
Sial.
Aku buru-buru mengubah posisi dan menutupi panel tombol dengan tanganku. Kupencet semua tombol dari lantai sepuluh hingga delapan belas, menyembunyikan tujuanku yang sebenarnya.
Bahaya. Jangan sampai cowok cabul ini tahu aku tinggal di mana.
Dia melirik panel, tampak bingung.
“Bukan urusan lo,” kataku.
Dia tertawa. Mengira aku bercanda. Ia menaikkan alisnya yang tebal.
Alis yang bagus. Wajahnya tampan, rahang sedikit kotak, tubuh atletis. Tapi tubuh itu, aku yakin tubuh yang sudah dipeluk oleh banyak wanita.
Sial.
Ia tersenyum mencoba menggoda, menyangka aku tertarik. Padahal aku hanya penasaran berapa banyak wanita yang sudah disentuh tubuh itu?
Kasihan istrinya.
Ia kembali menatap dadaku saat lift tiba di lantai sepuluh. “Gue bisa bantu bawain kopernya,” katanya.
Suaranya keren.
Aku penasaran, berapa banyak wanita yang terpikat hanya karena suara itu. Dia mendekat dan menekan tombol untuk menutup lift.
Aku melotot dan cepat-cepat menekannya lagi. “Gue bisa sendiri.”
Dia mengangguk, pura-pura paham. Tapi sorot matanya masih mengganggu.
Ia keluar dan menoleh sambil tersenyum genit. “Sampai ketemu lagi, Tia,” katanya, tepat saat pintu tertutup.
Aku mengerutkan bibir, merasa tak nyaman. Dari dua cowok yang baru kutemui hari ini, semuanya tahu nama dan tujuanku?
Gila.
Lift berhenti di setiap lantai hingga akhirnya tiba di lantai delapan belas.
Aku keluar, mengambil HP, dan mengirim pesan ke Amio. Aku lupa, apartemennya yang mana?
1804? Atau 1806?
Mungkin 1816?
Aku berhenti di depan 1804 karena melihat cowok lagi tertidur di lantai koridor, bersandar di pintu 1806.
Tolong, Amio, jangan bilang 1806.
Aku menggulir isi percakapan di WhatsApp.
Sial. Benar.1806.
Pelan-pelan aku mendekat. Cowok itu bersandar dengan dagu menempel di dada, tertidur sambil mendengkur.
“Permisi,” kataku, sedikit lebih keras dari suara angin.
Tak ada reaksi.
Aku menyentuh bahunya dengan kaki. “Hei, aku harus masuk ke apartemen ini.”
Dia mulai bergerak dan perlahan membuka mata.
Dia melotot.
...BERSAMBUNG...
...────୨ৎ────...
📝 Note
Hei kamu, iya kamu yang udah baca sampai sini tapi belum nge-like ... Jangan cuma jadi silent reader, nanti jodoh kamu juga silent terus loh 😜💔
📣 Tolong yaa:
❤️ LIKE biar aku nggak insecure 🥲
💬 KOMEN karena aku butuh masukan 🙏
🎁 GIFT kalau kamu ngerasa cerita ini hot 🌶️🔥
Pokoknya, makin rame dukungan kalian \= makin rajin aku update!
Dukung terus yaaa, biar nggak cuma karakter yang punya chemistry, kita juga 🫶
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 64 Episodes
Comments