abella dan sembilan teman dekatnya memutuskan untuk menghabiskan liburan musim dingin di sebuah kastil tua yang terletak jauh di pegunungan. Kastil itu, meskipun indah, menyimpan sejarah kelam yang terlupakan oleh waktu. Dengan dinding batu yang dingin dan jendela-jendela besar yang hanya menyaring sedikit cahaya, suasana kastil itu terasa suram, bahkan saat siang hari.
Malam pertama mereka di kastil terasa normal, penuh tawa dan cerita di sekitar api unggun. Namun, saat tengah malam tiba, suasana berubah. Isabella merasa ada yang aneh, seolah-olah sesuatu atau seseorang mengawasi mereka dari kegelapan. Ia berusaha mengabaikannya, namun semakin malam, perasaan itu semakin kuat. Ketika mereka semua terlelap, terdengar suara-suara aneh dari lorong-lorong kastil yang kosong. Pintu-pintu yang terbuka sendiri, lampu-lampu yang padam tiba-tiba menyala, dan bayangan gelap yang melintas dengan cepat membuat mereka semakin gelisah.
Keesokan harinya, salah satu teman mereka, Elisa, ditemukan t
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Doni arda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22: Kegelapan yang Tak Pernah Padam
Isabella berjalan di sepanjang jalan berbatu yang menurun tajam menuju desa terdekat. Tubuhnya lelah, pikirannya kacau, tetapi ia tahu satu hal: ia telah menghancurkan kastil itu. Ia telah memutus siklus yang menghantui dirinya dan teman-temannya. Namun, langkahnya terasa berat, seolah-olah sesuatu masih mengikutinya dari belakang.
Hutan di sekitarnya hening, terlalu hening. Tidak ada suara burung, tidak ada desiran angin yang menenangkan. Isabella menoleh sesekali, memastikan tidak ada yang mengintai dari bayangan pepohonan.
"Semua sudah selesai," gumamnya kepada diri sendiri, seolah berusaha meyakinkan hatinya yang terus berdegup kencang. Namun, suara itu terdengar seperti kebohongan.
---
Saat Isabella akhirnya mencapai desa, matahari mulai terbenam. Desa itu tampak sepi, dengan beberapa rumah kecil yang berdiri berjajar di sepanjang jalan utama. Tidak ada tanda-tanda kehidupan selain asap tipis yang mengepul dari cerobong salah satu rumah.
Ia berjalan menuju rumah itu, mengetuk pintu dengan sisa-sisa tenaga yang ia miliki. Seorang wanita tua membuka pintu, menatap Isabella dengan mata yang penuh curiga.
"Siapa kau, dan apa yang kau lakukan di sini?" tanya wanita itu dengan nada tajam.
Isabella mengangkat tangannya, mencoba menunjukkan bahwa ia tidak berbahaya. "Aku... tersesat. Aku butuh tempat untuk beristirahat."
Wanita itu mengamati Isabella dari atas ke bawah sebelum mengangguk pelan. "Masuklah. Tapi jangan terlalu lama."
Isabella melangkah masuk ke dalam rumah kecil itu. Ruangan itu sederhana, dengan perapian kecil di sudut dan sebuah meja kayu yang dikelilingi oleh kursi tua. Isabella duduk di salah satu kursi, tubuhnya terasa hampir roboh karena kelelahan.
"Apa yang terjadi padamu?" tanya wanita itu sambil menuangkan secangkir teh.
Isabella ragu sejenak sebelum menjawab. "Aku baru saja keluar dari kastil di atas bukit itu."
Wanita tua itu terdiam, lalu menatap Isabella dengan tajam. "Kau seharusnya tidak berada di sana. Kastil itu terkutuk."
"Aku tahu," jawab Isabella pelan. "Aku sudah menghancurkannya."
Namun, reaksi wanita itu bukan seperti yang Isabella harapkan. Alih-alih terlihat lega, wanita tua itu tampak lebih khawatir.
"Jika kau menghancurkannya, kau mungkin telah membebaskan sesuatu yang lebih buruk," kata wanita itu dengan suara gemetar.
---
Kata-kata wanita itu bergema di kepala Isabella sepanjang malam. Ia mencoba untuk tidur, tetapi setiap kali ia memejamkan mata, ia melihat bayangan pria bertopeng itu, dengan senyuman menyeramkan yang terus mengikutinya.
Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar di luar jendela. Isabella langsung terbangun, duduk tegak di tempat tidurnya. Ia meraih belati yang masih ia simpan di ikat pinggangnya dan berjalan perlahan menuju jendela.
Ketika ia mengintip ke luar, ia tidak melihat siapa pun. Namun, jejak kaki besar terlihat jelas di tanah yang lembap, mengarah ke hutan di belakang rumah.
Isabella memutuskan untuk tidak mengejar. Ia kembali ke tempat tidur, tetapi kali ini ia tidak bisa memejamkan mata.
---
Keesokan paginya, Isabella memutuskan untuk berbicara lebih banyak dengan wanita tua itu. Ketika ia turun ke dapur, ia menemukan wanita itu sedang menyiapkan sarapan.
"Aku butuh tahu lebih banyak tentang kastil itu," kata Isabella tanpa basa-basi.
Wanita itu menoleh, tatapannya penuh keraguan. "Mengapa kau ingin tahu? Bukankah kau sudah cukup menderita di sana?"
"Karena aku merasa ini belum selesai," jawab Isabella dengan tegas.
Wanita itu menghela napas panjang, lalu duduk di kursi di seberang Isabella. "Kastil itu sudah ada sejak ratusan tahun lalu. Pemiliknya yang pertama adalah seorang bangsawan yang terkenal kejam. Ia melakukan banyak ritual gelap untuk mendapatkan kekuasaan, tetapi salah satu ritual itu gagal. Sebagai gantinya, ia mengikat jiwanya ke kastil itu. Semua yang masuk ke kastil akan menjadi bagian dari siklus penderitaannya."
Isabella mendengarkan dengan saksama, merasa bulu kuduknya berdiri.
"Dan ketika kau menghancurkan kastil itu," lanjut wanita itu, "kau mungkin telah menghancurkan penjara yang menahan jiwanya."
---
Saat malam tiba, desa itu kembali sunyi. Isabella duduk di dekat jendela, memegang belatinya dengan erat. Ia tidak bisa mengabaikan perasaan bahwa sesuatu sedang mengintainya.
Tiba-tiba, suara gedoran keras terdengar di pintu depan. Isabella melompat berdiri, sementara wanita tua itu menatap pintu dengan wajah pucat.
"Jangan buka pintunya," bisik wanita itu.
Namun, suara gedoran itu semakin keras, disertai dengan suara tawa yang mengerikan. Isabella merasa darahnya membeku. Ia tahu suara itu. Itu adalah suara pria bertopeng.
Tanpa peringatan, pintu itu terhempas terbuka, dan sosok bertopeng itu muncul. Wajahnya tidak lagi manusiawi, matanya bersinar merah, dan tubuhnya diselimuti bayangan gelap yang bergerak-gerak.
"Kau pikir bisa melarikan diri dariku, Isabella?" katanya dengan nada mengejek.
Isabella mengangkat belatinya, siap melawan. "Aku tidak akan lari lagi!"
Pria itu hanya tertawa, lalu melangkah maju. Setiap langkahnya membuat udara di dalam ruangan semakin dingin.
Wanita tua itu mencoba melindungi Isabella, tetapi pria itu mengangkat tangannya, dan tubuh wanita itu terhempas ke dinding seperti boneka kain. Isabella berteriak, menyerang pria itu dengan belatinya, tetapi serangannya tidak berhasil menembus bayangan yang menyelimuti tubuhnya.
"Kau tidak bisa melawanku," kata pria itu. "Kau adalah bagian dariku sekarang."
---
Isabella mundur, mencari cara untuk melawan. Matanya tertuju pada liontin yang tergantung di leher pria itu. Liontin yang terlihat persis seperti yang ia hancurkan di kastil.
"Jadi kau membawanya kembali," gumam Isabella.
Ia tahu apa yang harus ia lakukan. Dengan kecepatan dan keberanian yang tersisa, ia melompat ke arah pria itu, meraih liontin di lehernya. Seketika, bayangan gelap yang menyelimuti pria itu mulai menghilang, dan ia menjerit kesakitan.
Isabella menggunakan semua kekuatannya untuk menghancurkan liontin itu sekali lagi. Ketika liontin itu pecah, ledakan cahaya yang lebih besar dari sebelumnya memenuhi ruangan, menghancurkan pria itu bersama dengan bayangan-bayangannya.
Ketika cahaya itu mereda, Isabella terjatuh ke lantai, tubuhnya lemah tetapi hatinya merasa lega. Untuk pertama kalinya, ia merasakan bahwa siklus itu benar-benar telah berakhir.
Namun, di sudut ruangan, ia melihat bayangan samar yang tampak tersenyum padanya sebelum menghilang ke dalam kegelapan. Kastil itu mungkin telah hancur, tetapi kejahatannya akan selalu mencari jalan untuk kembali.
---
Beberapa minggu kemudian, Isabella meninggalkan desa itu, membawa kenangan pahit yang akan menghantuinya selamanya. Ia tahu bahwa dunia ini penuh dengan kegelapan yang tersembunyi, dan kadang-kadang, kita harus menghadapi ketakutan terbesar kita untuk menghentikannya.
Namun, di dalam hatinya, ia berjanji bahwa ia tidak akan pernah membiarkan siapa pun mengalami apa yang telah ia alami. Meskipun ia telah kehilangan segalanya, ia mendapatkan satu hal yang berharga: kekuatan untuk melawan kegelapan, apa pun bentuknya.