“Tega kau Mas! Ternyata pengorbanan ku selama ini, kau balas dengan pengkhianatan! Lima tahun penantianku tak berarti apa-apa bagimu!”
Nur Amala meremat potret tunangannya yang sedang mengecup pucuk kepala wanita lain, hatinya hancur bagaikan serpihan kaca.
Sang tunangan tega mendua, padahal hari pernikahan mereka sudah didepan mata.
Dia tak ubahnya seperti 'Habis manis sepah di buang'.
Lima tahun ia setia menemani, dan menanti sang tunangan menyelesaikan studinya sampai menjadi seorang PNS. Begitu berhasil, dia yang dicampakkan.
Bukan hanya itu saja, Nur Amala kembali dihantam kenyataan pahit. Ternyata yang menjadi selingkuhan tunangannya tidak lain ...?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 34
Sepenggal masa lalu Mak Syam.
...----------------...
“Mending cuma pingsan … bagaimana kalau langsung beda alam, Mala?” tanya Dhien seperti tak berdosa.
“Astaghfirullah.” Amala melempar bantal sofa ke badan Dhien.
Dhien menghembus napas kasar, ia menegakkan badannya tak lagi bersandar di bangku. “Kau tahu, Mala? Terkadang aku tak suka dengan sifat mamak kau itu. Benar dia menyayangimu, menginginkan yang terbaik untuk anaknya, tetapi terlalu gegabah mengambil langkah.”
Amala pun mengiyakan, ibunya memang seperti itu adanya. Bila sudah berkehendak, sulit untuk mematahkan keyakinannya. Butuh perjuangan demi menyadarkan wanita yang melahirkan dirinya ke dunia ini.
“Seandainya saja bapakmu masih hidup, pasti kehidupanmu tak tragis betul. Hanya Beliau yang ditakuti oleh mamakmu,” sambung Dhien seraya menatap foto hitam putih pria berpeci.
Amala mengusap kasar wajahnya, ia juga ikut menatap potret almarhum bapaknya. “Mau bagaimanapun, Beliau tetap ibuku. Karenanya_"
“Tapi, mental mu yang tak baik-baik saja, Mala! Kau tampak tenang di permukaan, tetapi gejolak batinmu terus berperang antara tetap diam apa memilih melawan demi memperjuangkan masa depan,” sela Dhien tepat sasaran.
“Dhien, cobalah melihat melalui kacamata kehidupannya! Beliau terlahir dari keluarga miskin. Sedari kecil dikucilkan, tak kebagian kasih sayang lantaran memiliki 6 saudara. Sebelumnya Mamak juga buta huruf dikarenakan tidak pernah mengenyam bangku sekolah. Dipaksa menikah disaat buah dadanya baru saja tumbuh. 5 tahun kemudian dicerai lantaran tidak bisa memberikan keturunan_”
“Bapak pernah cerita, Mamak itu sangat pemalu, rendah diri, takut bersosialisasi, dan tak memiliki teman. Di kampung nya dulu, keluarga Mamak terkenal pembuat onar. Ada saja tindakan buruk yang dilakukan para saudaranya, sehingga Mamak juga kena imbasnya. Sering dirundung para warga yang geram dengan kelakuan buruk saudara mamak. Suami Mamak pun, tukang kawin. Kurang miris bagaimana lagi cobak?” terang Amala.
“Kehidupan Mamak menjadi lebih baik setelah menjadi janda, kemudian menikah dengan Bapak, lalu mereka bertransmigrasi ke sini. Tapi, mentalnya sudah terlanjur rusak, ia kehilangan jati diri, serta memiliki trauma yang sulit diobati," lanjutnya lagi.
"Kami anaknya dituntut menikah dengan yang setara, agar tak mengalami nasib sepertinya yang selalu di hina oleh orang berada. Semasa Bapak masih hidup, keluarga Yasir masih miskin ... sehingga Mamak menyetujui perjodohan itu. Andai saja bi Atun sudah kaya seperti sekarang, sudah pasti Mamak tolak.”
Amala kembali bersandar setelah berkisah tentang kehidupan ibunya yang begitu tragis, penuh air mata serta tetesan keringat darah.
Dhien menatap sendu wajah sang sahabat, ia sebenarnya juga menyayangi Mak Syam, hanya saja sering kesal dengan jalan pikirannya yang entah lah. “Apa rencanamu setelah lepas dari Hendi? Apa kau masih menyerahkan perihal jodoh kepada ibumu?”
“Tak lah. Cukup dua kali kami dikelabui, kedepannya … aku sendiri yang menentukan pilihan,” ucap Amala tegas.
“Harus itu! Kau berhak memilih sendiri!”
Setelahnya mereka sama-sama terdiam.
“Loh … ada Nak Dhien!” Mak Syam yang baru pulang dari ladang menghampiri sang anak.
“Kenapa jam segini baru pulang, Mak?” Dhien bertanya seraya memperhatikan sosok Mak Syam.
Mak Syam sontak melihat jam dinding, ternyata sudah masuk pukul 5 sore. Biasanya ia pulang paling lambat jam setengah 3 sore.
“Itu_ tadi keasikan mengobrol dengan calon mertuanya Amala sampai lupa waktu,” jawab Mak Syam tak enak hati.
“Oh …” Dhien malas menanggapi lagi.
‘Kau tunggu saja Mak! Esok malam jangan sampai Mamak pingsan, biar tak payah aku menggotong mu!’ batin Dhien begitu berisik.
Amala menggeleng kepala, dia sudah dapat menebak apa yang dipikirkan sahabatnya ini.
“Mak, besok malam ikut kami nonton layar tancap di kampung Pertanian, ya?” ajak Amala.
“Tumben kau mau menonton? Biasanya selalu berkelit mencari berbagai alasan ketika diajak,” Mak Syam menatap aneh pada Amala.
“Lagi ingin saja, sekali-kali tak apalah. Siapa tahu benar-benar bagus film yang diputar nanti,” jawab Amala.
‘Sangat bagus malahan, sampai-sampai ingin rasanya ku putar jarum jam,’ balas Dhien membatin.
Mak Syam pun mengiyakan keinginan dua wanita dewasa ini.
***
Sementara di ibu kota provinsi.
Agam sedang berada di sebuah rumah petak. Ia tak sendirian, ada dua orang laki-laki yang menemaninya. Mereka tak lain pengacaranya Agam dan sopir pribadinya Ikram.
“Tolong ceritakan kisah Anda dengan Hendi! Apa benar kalian bercerai dikarenakan Anda tidak tahan hidup miskin?” tanya Agam kepada seorang wanita yang tak lain mantan istrinya Hendi.
Wati tersenyum hambar, ia menatap sekilas laki-laki berekspresi dingin yang duduk di lantai beralaskan tikar. “Sedari kecil ... saya sudah yatim piatu, terbiasa hidup susah, berteman dengan debu jalanan demi menjajakan koran, menyemir sepatu, agar bisa makan. Kira-kira apa mungkin saya memiliki sifat manja seperti itu?”
Agam mengulas senyum sangat tipis, ia tahu mantan istrinya Hendi ini sosok tangguh.
Lalu Agam mengalihkan perhatiannya kepada seorang wanita muda yang tengah menggendong bayi berumur 4 bulan. “Bagaimana bisa Hendi tak mau bertanggung jawab atas dirimu dan bayi kalian?”
Ajeng menunduk dalam, di sebelahnya sang bapak mengusap-usap punggungnya guna menenangkan.
“Saya yang salah, sudah percaya oleh kata-kata manisnya, terbuai janji-janji palsu, diimingi kehidupan mapan,” lirih Ajeng, air matanya sudah menetes sedari tadi.
Ajeng bertemu Hendi saat menjadi pembantu rumah tangga di perumahan orang kaya, kala itu Hendi menjadi satpam di sana. Ajeng yang lugu bertemu Hendi si pria perayu ulung bermodalkan tampang lumayan dan tubuh gagah.
Tanpa dijelaskan lebih jauh, Agam paham betul dengan apa yang terjadi dengan Ajeng.
“Kedepannya, kau harus lebih teliti dan berhati-hati. Jangan mudah percaya mulut kaum Adam, manis diawal karena ada maunya. Jadilah wanita yang mahal, tak mengapa miskin harta, asal jangan mudah terperdaya. Kau harus menjunjung tinggi harga diri serta martabat mu agar tak dipandang sebelah mata.”
“Sebanyak apapun lelaki bergumul, takkan meninggalkan bekas. Lain halnya dengan perempuan. Sekali saja mempersembahkan mahkotanya kepada pria yang bukan suaminya, maka saat itu juga hilanglah nilainya," sambung Agam tanpa menatap Ajeng.
“Seburuk-buruknya laki-laki, mereka pasti memilih wanita baik-baik untuk dijadikan istri, saya harap kau paham,” Agam menutup petuah yang selalu ia tanamkan ke diri kedua adik perempuannya.
Wahyuni dan Meutia dididik keras oleh Agam, agar memiliki karakter kuat, berkepribadian tegas, berpikiran kritis, menjunjung tinggi rasa malu, dan menjadi wanita mahal.
Agam sendiri juga menerapkan hal sama ke dirinya sendiri, selalu menjaga jarak, menjaga pandangan, tak pernah merayu apalagi mempermainkan kaum hawa.
“Apa kalian sudah siap?” kali ini pengacara Agam yang bertanya.
Wati mantan istri Hendi mengangguk, begitu juga dengan Ajeng serta bapak kandungnya.
“Jangan khawatir, begitu tiba di kota kecamatan, sudah ada saudara saya yang menunggu kalian,” Agam ikut menyakinkan.
Selepas menghantarkan kepergian para orang yang ada hubungannya dengan Hendi, Agam langsung memasuki mobilnya.
“Nur … Berjodoh ataupun tidak kita nantinya, setidaknya engkau tak terperosok ke dalam jurang nestapa,” gumamnya lirih seraya mengamati laju mini bus yang membawa mantan para wanitanya Hendi.
Agam pergi ke ibu kota bukan semata-mata untuk menenangkan diri, tetapi demi mengulik tuntas tentang Hendi. Dia tak ikhlas kalau sampai Amala menikah dengan laki-laki tak bermoral.
.
.
“Mak ... Dhien sudah menunggu di depan. Mamak berangkatlah naik motor dengannya! Biar Mala jalan kaki bersama warga!” seru Amala.
Mak Syam mengangguk, tetapi berbalik lagi. “Mala, kenapa perasaan Mamak tak enak, ya? Sedari tadi debar jantung ini begitu cepat. Kenapa bisa macam tu, ya Nak …?”
.
.
Bersambung.
bu bidan mati kutu