"Mengemislah!"
Awalnya hubungan mereka hanya sebatas transaksional diatas ranjang, namun Kirana tak pernah menyangka akan terjerat dalam genggaman laki-laki pemaksa bernama Ailard, seorang duda beranak satu yang menjerat segala kehidupannya sejak ia mendapati dirinya dalam panggung pelelangan.
Kiran berusaha mencari cara untuk mendapatkan kembali kebebasannya dan berjuang untuk tetap teguh di tengah lingkungan yang menekan dan penuh intrik. Sementara itu, Ailard, dengan segala sifat dominannya terus mengikat Kiran untuk tetap berada dibawah kendalinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lifahli, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
19. Menyentuh Batas Toleransi
...Happy reading!...
...•••...
Ailard duduk di kursi meja makan dengan laptop di depannya, sesekali melirik Kirana yang sibuk di dapur, tangannya terampil menguleni adonan roti. Meski tampak fokus pada layar laptop, perhatiannya terus kembali pada sosok Kirana.
"Kamu buat roti dengan varian apa?"
Kirana menoleh sekilas. "Mas suka rasa yang mana? Aku bisa buat roti keju atau cokelat."
Ailard mendengus ringan, masih dengan ekspresi tenang namun tatapannya tak lagi fokus pada laptop. "Buat saja yang kamu suka. Saya ingin tahu apa yang paling sering kamu buat untuk diri sendiri."
Kirana sedikit terkejut dengan tanggapan itu. Biasanya Ailard tak pernah peduli soal pilihan pribadi Kirana. Dia mengangguk pelan, lalu memilih mengisi adonan dengan cokelat, sesuatu yang biasa dia buat untuk menghibur dirinya di kala sepi sebelum dirinya terjerat dengan pria dominan itu.
Sembari menunggu roti buatannya matang, Kirana menyiapkan secangkir kopi hitam untuk Ailard dan meletakkannya di samping laptopnya. "Kopinya, Mas."
Ailard menerima kopi itu dengan anggukan singkat, tanpa ucapan terima kasih. Tapi kali ini, matanya menatap Kirana lebih lama.
"Duduk disebelah saya," interupsinya segera saat Kiran akan kembali ke dapur.
"Duduk di sini," katanya lagi. Tangannya menepuk kursi di sebelahnya.
Kirana menurut, duduk di sebelahnya dengan hati-hati. "Mas mau sesuatu lagi?"
"Nothing. Temani saya dulu sebelum berangkat ke kantor, roti yang kamu buat bekalkan untuk saya."
"Iya Mas nanti aku siapkan untuk bekal kamu."
Ailard menyeruput kopinya perlahan, pandangannya masih terarah pada Kirana, baru setelahnya ia membuka suara. "Besok saya berangkat untuk perjalanan dinas selama empat hari, malam ini tolong siapkan seluruh keperluan saya. Dan kamu boleh pulang menemui adikmu setelah saya kembali."
Tadinya Kiran ingin menyela, namun ia tidak mau merusak suasana hati Ailard yang sepertinya sedang dalam kondisi baik.
"Baik Mas, nanti malam aku siapkan." Patuh sekali Kiran padanya selama tiga tahun ini, padahal bukan kekasih ataupun istrinya. Namun begitu, Kirana tak peduli.
Setelah dua puluh menit, suara oven berbunyi, tanda roti sudah matang. Kirana segera bangkit, berjalan menuju oven dengan langkah ringan. Sementara Ailard pergi ke kamarnya untuk mengambil dokumen-dokumen keperluannya.
Kirana dengan cekatan membuka pintu oven, mengeluarkan loyang roti yang baru saja matang. Aroma cokelat hangat langsung memenuhi udara, menambah suasana hangat di pagi itu. Dengan hati-hati, dia meletakkan roti di atas rak pendingin, menatap hasil karyanya sejenak—tetiba teringat mendiang ibunya.
Ketika Ailard kembali ke ruang makan dengan beberapa dokumen di tangannya, Kirana sudah menyiapkan bekal untuknya.
"Datang ke sini dengan bekalnya," perintah Ailard.
Menghela napas sejenak, Kirana mendekat, membawa kotak bekal yang ia letakkan di sampingnya. "Ini bekalnya, Mas," ucapnya pelan. Matanya terarah pada kemeja Ailard yang belum terpasang dasi, dan tanpa berkata-kata, ia segera membantu memakaikan dasi itu. Gerakan tangannya tenang dan cekatan, rutinitas seperti ini tak membuat keduanya terganggu.
Selama tiga tahun terakhir, Kirana sudah terbiasa menjalani peran ini—penurut, penuh perhatian, seolah-olah ia adalah istri pria itu. Namun, tak akan ada yang berubah dalam hubungan mereka, dan untuk Kiran, ia hanyalah perempuan simpanannya yang memang tugasnya begini selain untuk menghangatkan ranjang tidurnya.
Kirana selesai memasangkan dasi itu dengan cekatan, tapi saat ia hendak melangkah menuju dapur kembali, tangan Ailard tiba-tiba menarik pinggangnya, menghentikan langkahnya.
Kirana tersentak, ia bisa merasakan genggaman kuat pria itu di pinggangnya, menahannya di tempat. Ia sempat terkejut, namun secepat itu ekspresinya sedia kala lagi, sudah terbiasa dengan keintiman tak terduga dari Ailard.
“Kamu terlalu cepat menghindar, Kirana, padahal saya belum mengizinkan kamu pergi dari hadapan saya.” Suara Ailard terdengar rendah, menyiratkan sedikit kehangatan yang jarang muncul dalam nada bicaranya. Kirana menahan napas, matanya menatap wajah pria itu yang tersenyum tipis.
"Maaf Mas,"
Tangannya bergerak membelai halus wajah Kiran, menyusuri setiap lekuk dengan lembut dan diakhiri dengan usapan sede*uktif di bibirnya yang tampak pucat tanpa polesan lipstik.
"Kenapa tidak pakai lipstik hmm?"
"Tidak sempat Mas,"
"Saya sudah pernah bilang, biasakan kalau sedang sama saya dipakai. Saya tidak suka kamu semaunya sendiri, Kirana..." Wajahnya semakin mendekat hingga jarak mereka semakin dekat, dan Kirana bisa merasakan hangat nafas Ailard yang menyentuh kulitnya.
"Kamu ini sering kali buat saya marah, apa kebiasaan seperti ini sengaja kamu lakukan untuk menguji saya?"
"Tidak Mas, sungguhan aku tidak sempat." Begitu sensasi hangat dari bibir Ailard menyentuh bibirnya, ia mengalungkan tangannya di leher Ailard, memberi jeda yang menegangkan sebelum akhirnya memperdalamnya.
Jika kalian pikir Kirana melakukannya karena ia terbawa suasan, begitu juga perasaannya menjadi meleleh karena sentuhan lembut Ailard, maka praduga kalian semua salah. Kirana memang sengaja selalu membalas tak kalah lembut begitu tahu pria ini sedang dalam suasana hati yang baik, sungguhan itu sangat menguntungkan dirinya karena saat Ailard sedang dalam suasana hati yang baik, ia menjadi jauh lebih murah hati.
Kirana tahu betul, memainkan perannya dengan tepat sering kali berujung pada keuntungan bagi dirinya—baik dalam bentuk perhatian yang lebih dari Ailard atau kelonggaran untuk meminta sesuatu tanpa ditolak.
Di balik keintiman yang terlihat tulus, Kirana sebenarnya sepenuhnya sadar dengan perannya. Ia telah mempelajari cara-cara agar Ailard tetap merasa puas, sambil diam-diam menjaga agar dirinya tetap memiliki kendali atas situasi.
Setelah beberapa saat, mereka melepaskan diri. Ailard menatap Kirana, dengan tatapan yang samar-samar mengandung kepuasan. "Saya berangkat kekantor sekarang," ucapnya pelan dan diakhiri dengan kecupan singkat di kening Kiran.
Kirana hanya tersenyum kecil, menjaga ekspresinya tetap tenang dan patuh, persis seperti yang diharapkan Ailard. "Iya Mas, hati-hati," jawabnya singkat.
Ailard mengangguk, melangkah menuju pintu dengan langkah mantap, sementara Kirana mengikuti beberapa langkah di belakangnya, sekadar untuk mengantarkannya. Ia berdiri di dekat pintu, menatap punggung pria itu yang semakin menjauh, lalu menutup pintu dengan perlahan setelah Ailard benar-benar pergi dengan mobilnya.
Kirana menghela napas pelan, melepaskan ekspresi patuh yang tadi ia kenakan. Sejenak, ia memandangi ruang kosong di sekitarnya. Ada perasaan lega yang aneh setiap kali Ailard meninggalkan rumah, meskipun Kirana tahu perasaan itu hanya bersifat sementara. Beberapa jam ke depan, ia bisa merasakan ketenangan tanpa harus berperan dalam permainan yang dijalani sehari-hari.
Kembali ke dapur, Kirana mengalihkan perhatian pada sisa-sisa rutinitas pagi tadi. Sisa kopi Ailard yang belum habis, piring bekas sarapan, dan aroma roti yang masih terasa di udara. Ia begitu menjaga ritme dan kepatuhannya untuk sementara waktu lagi, hidupnya akan terus berjalan seperti biasa—di bawah bayang-bayang pria yang seolah menggenggam segalanya. Namun, itu semua tidak akan berjalan lama begitu semua bunga hutangnya terbayarkan.
...•••...
Malam itu, ketika waktu pulang kerja tiba, suara langkah kaki Ailard terdengar memasuki rumah. Kirana yang baru saja memonitor Rosemary di kamarannya langsung sigap menuruni anak tangga.
Ailard melangkah masuk dengan wajah yang suram, begitu menatap Kiran yang tengah menunggunya diruang utam. Aura mencekam menyentil kesadaran Kiran yang mengetahui suasana hati pria itu sedang tidak baik-baik saja, ia sudah terbiasa membaca suasana hatinya, dan dari ekspresinya, ia tahu bahwa sesuatu telah mengusik pikirannya.
"Mas mau segera membersihkan diri atau—"
"Shut up fuc*ing you sl*t!"
Kirana mencoba menjaga ketenangannya, tetapi detak jantungnya tak bisa ia kendalikan sepenuhnya kala aura dominan pria itu merusak keberaniannya. Momen-momen seperti ini selalu membuatnya seolah berada didasar jurang tanpa memiliki pilihan, dan ia begitu tak menyukainya.
Ailard mendekat dengan langkah yang cepat dan tatapan dingin yang menusuk. Tanpa memberi Kirana kesempatan untuk berkata apa-apa, ia menarik tangan Kirana dengan kasar, membuatnya tersentak kaget. Suara gesekan dasi yang ia lepas sembarangan menjadi satu-satunya yang terdengar di ruang itu. Kirana bisa merasakan cengkeraman kuat pria itu, dingin dan penuh kontrol, tidak menyisakan sedikit ruang baginya untuk bernapas dalam momen yang begitu menekan ini.
"Hmphhh..."
Bibir mereka bertemu dengan kasar, tak ada kelembutan di dalamnya. Perpaduan antara dorongan kuat dan genggaman yang menahan pergerakannya, membawa Kirana pada perasaan yang tak lagi asing—perasaan di mana ia harus menyerahkan kendali, tanpa sanggup melawan. Hatinya tertahan, tubuhnya mengikuti, karena ia tahu bahwa menghindar atau melawan hanya akan memancing lebih banyak emosi dari pria ini.
“Shhh…” Kirana berusaha tenang, berusaha menahan napasnya yang mulai tersengal. Saat ia hampir kehabisan oksigen, dengan refleks cepat, ia menggigit bibir Ailard, membuat pria itu terpaksa melepaskan cumb*an kasarnya. Mereka berdua saling memandang, jarak di antara mereka masih dipenuhi ketegangan.
Ailard menatapnya dengan tatapan nyalang. “Berani-beraninya kamu…” Ia semakin merapatkan dirinya pada Kiran, meremas kencang kedua pundaknya hingga Kiran meringis menahan sakit pada tekanan yang dilakukan tangan Ailard.
"Mas maaf, aku tak berniat melukai bibirmu." Hendak menyeka darah yang perlahan mengalir di bibir Ailard, namun pergerakannya segera dikunci oleh Ailard ketika tangannya dicekal kuat dan ia mulai mendorong tubuh Kirana hingga punggungnya menyentuh tiang dinding, memerangkapnya di antara tangan pria itu dan yang satunya menahan kedua tangan Kiran diatas kepalanya.
Tatapan tajamnya menghujam, membuat Kirana hanya bisa menatapnya, merasa kecil dan tak berdaya dalam situasi tersebut.
"Mas kenapa? Kenapa tiba-tiba begini?"
Rahang Ailard mengeras, matanya tetap tak beralih dari wajah Kirana yang ketakutan. "Cih! Dasar perempuan murahan! Pura-pura tidak tahu padahal letak salahmu sangat fatal!" suaranya terdengar rendah, dingin, dan menggema di antara mereka. “Kamu pikir saya tidak tahu apa yang kamu lakukan siang tadi?”
Kirana terdiam sejenak, pikirannya berputar mencoba memahami maksud kata-kata Ailard. Namun begitu ia tak mengerti, sungguhan ia tak tahu masalahnya ada dimana.
“Mas, aku benar-benar tidak tahu. Apa masalah yang sudah aku buat padamu?"
Ailard tertawa sinis, nada ketidakpercayaan begitu kentara. “Caraka Hardjosoemarto," ia menyebut nama seseorang yang seketika itu langsung membuat mata Kiran melebar.
ini semua bermula siang tadi ketika Kiran menemani Rosemary yang ingin bermain di area permainan anak di mall.
Saat sedang menunggu di dekat wahana, seorang pria menghampirinya dengan senyum ramah yang langsung diingat Kiran. Caraka Hardjosoemarto, pelanggan di kafe tempat Kiran pernah bekerja dulu. Mereka berbasa-basi sebentar, menanyakan kabar, dan sesekali tertawa kecil. Percakapan mereka berlangsung singkat, tetapi cukup akrab, dan Kiran merasa nyaman berbicara dengan Caraka, yang selalu bersikap baik dan sopan padanya.
Rosemary yang selesai bermain kemudian memeluk kaki Kiran, membuat percakapan mereka harus berakhir. Caraka hanya tersenyum pada Rosemary, memberikan lambaian kecil sebelum berpisah. Kiran menganggap pertemuan itu sederhana dan tak berarti apa-apa—hanya percakapan singkat dengan seorang kenalan lama.
Ailard yang memiliki tangan kanan untuk mengawasi Kiran, menerima laporan dari orangnya dengan mengirimkan beberapa foto sebagai bukti, memperlihatkan Kiran tengah tersenyum dan berbincang dengan seorang pria di area permainan anak di mall. Melihat foto-foto tersebut, amarah Ailard membuncah. Apalagi posisi Kiran tengah mengasuh putrinya, Rosemary. Ia jadi teringat pada kejadian lalu saat mantan istrinya mengkhianati dirinya dan mengabaikan putri mereka yang masih bayi.
“Mas, tolong pahami. Itu hanya pertemuan singkat dengan kenalan lama, dan tidak ada maksud apa pun di baliknya. Aku bahkan tidak pernah menyangka pertemuan itu akan terjadi,” ucap Kiran sambil menatap Ailard dengan pandangan pengertian. Namun, ucapan itu seperti tak berarti apa-apa bagi Ailard.
"Pembohong!" Potong Ailard dengan nada tegas. "Sengaja meminta izin pada saya seakan-akan Rose ingin bermain ditempat itu, padahal hanya akal-akalanmu saja untuk bertemu pria itu kan?"
Kirana menggeleng kecil, "Mas, aku tidak ada niat seperti itu. Bahkan bertemu dengan Mas Cara—"
Ailard mendekat, wajahnya kembali mendekat, dan aura marahnya terasa semakin mengancam. "Sialan! Bahkan akrab sekali panggilannya pada pria itu, Mengapa? Apa dia adalah targetmu selanjutnya untuk memoroti uangnya huh? Karena kamu tahu pria itu anak konglomerat jadi kamu menargetkan dia selanjutnya? Bakal melac*r kamu menghangatkan ranjang dia huh?"
"MAS!" Kirana hampir berteriak, mengingat Rosemary yang masih terjaga di kamarnya.
"Kamu salah paham! Dia itu pelanggan di kafe tempat aku bekerja dulu—"
"Persetan!" Ailard memotong penjelasannya dengan nada penuh kemarahan. Ia benar-benar merasa dikhianati. Pria itu segera menarik Kirana dengan kasar menuju lantai dua, lebih tepatnya ke arah kamarnya yang kedap suara.
Awalnya, Ailard berniat untuk bersikap lembut sebelum ia pergi dinas ke luar kota, namun karena perempuan ini sudah menyentuh batas toleransinya, maka itu Kirana pantas dihukum. Dihukum dengan memberikan hentakan miliknya didalam milik Kiran, yang harus ia ingat selalu, bahwa Ailard adalah satu-satunya yang bisa memberikan kehangatan dan kenikmatan untuk perempuan itu. Hanya dia satu-satunya.