Selama 10 tahun lamanya, Pernikahan yang Adhis dan Raka jalani terasa sempurna, walau belum ada anak diantara mereka.
Tepat di ulang tahun ke 10 pernikahan mereka, Adhis mengetahui bahwa Raka telah memiliki seorang anak bersama istri sirinya.
Masihkah Adhis bertahan dalam peliknya kisah rumah tangganya? menelan pahitnya empedu diantara manisnya kata-kata cinta dari Raka?
Atau, memilih meladeni mantan kekasih yang belakangan ini membuat masalah rumah tangganya jadi semakin pelik?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon moon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#24•
#24
Setelah mendapatkan no ponsel Adhis, Dean mendadak cengengesan seperti orang tak waras, rasa bahagianya sama seperti ketika pertama kali berhasil membujuk Adhis, agar bersedia ia antarkan pulang ke rumah.
Tapi bahagia itu hanya berlangsung sesaat, karena tetap saja Dean tak bisa menghubungi Adhis, sepertinya Adhis memang sengaja mematikan ponselnya.
Dean semakin frustasi, hingga akhirnya ia meminta bantuan operator, dan memanfaatkan telepon yang ada di kamarnya.
Beberapa saat menunggu, Dean bisa bernafas lega, karena akhirnya bisa. Mendengar suara Adhis. “Hallo … “
Dean memejamkan mata, setelah kegelisahan sejak pagi, dan kini mendengar suara Adhis, seperti hal yang luar biasa. “Hallo … maaf, mengganggu,”
Dalam hatinya Dean mengumpati dirinya sendiri, kenapa tak sejak tadi memakai fasilitas hotel, padahal jauh lebih mudah, daripada harus mendengarkan ceramah Mommy Bella.
“Hmm.” Hanya itu yang Adhis ucapkan.
Sunyi sesaat, tak ada lagi suara, “are you okay?”
“Hmm.” Lagi-lagi hanya jawaban itu yang Dean dengar, rasanya sungguh ingin menggila. Karena sudah gemas dengan sikap Adhis yang irit bicara, padahal Dean sudah kepo tentang banyak hal.
“Tadi aku mengetuk pintu kamarmu.”
“Ya, aku dengar, tapi maaf, aku sedang tak ingin di ganggu.”
Dean mengangguk, seakan akan Adhis melihat dirinya saat ini. “Baiklah, kalau itu maumu, tapi setidaknya jangan lupa dengan kondisimu, setidaknya makan-makanan bergizi, agar bisa berpikir dengan tubuh yang bugar dan sehat.”
“Hmmm … aku akan memesan layanan kamar saja.”
Lagi-lagi Dean kehabisan kata-kata, dan cara, semua jawaban Adhis mengarak pada penolakan atas semua yang mungkin ia perbantukan. “Itupun tak apa, jika ada masalah, jangan ragu untuk meminta bantuanku … Aku, masih akan di hotel ini.”
“Pergilah, Kak, aku tak ingin mengganggu jadwal liburanmu,” jawab Adhis lemah, namun tepat seperti dugaan Dean.
“Liburanku, adalah urusanku, termasuk jika saat ini aku ingin menemanimu, walau tidak persis berada disampingmu.”
#tingkah si duda mulai meresahkan 🥴
•••
Apapun yang ingin Adhis lakukan, Dean hanya bisa mendukung, sama sekali tak berniat mencampuri urusannya. Hanya saja untuk beranjak pergi, Dean masih belum bisa, hatinya masih terasa berat meninggalkan Adhis seorang diri. Padahal Adhis pasti sudah biasa pulang pergi dari kaliurang menuju kota Yogyakarta.
Hingga hampir seminggu berlalu, begitulah keadaannya, Adhis merenung di kamarnya, dan yang Dean lakukan hanya menunggu sampai Adhis merasa tenang dan bisa keluar dari kamar dengan pikiran yang jernih.
Dean hanya sesekali menghubunginya melalui telepon kamar, itupun hanya bertanya, apakah Adhis sudah makan atau belum.
Kurang kerjaan? Memang begitulah pekerjaan Dean saat ini, yaitu kekurangan pekerjaan. 🤣
Setelah bertahun-tahun nyaris tak punya waktu untuk dirinya sendiri, kini ia bertekad untuk bisa semaksimal mungkin menikmati hidup dan kesendiriannya. Termasuk diantaranya tidak melakukan apa-apa, selain menunggui mantan kekasihnya yang kini sedang merenungi nasib rumah tangganya.
Dean pernah tinggal di negara dengan rata-rata penghasilan perkapitanya cukup tinggi, belum lagi biaya hidup, serta biaya sekolah anaknya. Tapi yah memang semua orang tahu, bahwa keturunan Geraldy, memiliki penghasilan dari saham, sejak berusia 17 tahun, tapi Dean ingin berdiri diatas kakinya sendiri, sama halnya dengan Darren yang bahkan sudah memulainya sejak SMU.
Jadi ketika Dean siap berdiri di atas kakinya sendiri, tanpa sokongan dari orangtuanya, maka ia lakukan itu, untuk membuktikan bahwa ia bisa. Walau hingga detik akhir Celline tetap mengatakan ia masih ingin bekerja, kendati ia sadar bawa Dean sangat mampu mencukupi kebutuhan finansialnya.
Memang begitulah sudah resiko jika menikah dengan wanita yang terlahir di negara maju, mereka terbiasa menjadi pribadi yang independen. Kebebasan mengemukakan pendapat, serta memilih jalan hidup, termasuk memilih ingin terus bekerja ketimbang menjadi ibu rumah tangga, sudah dilindungi undang-undang HAM. Dan suami tak boleh melarang hal itu, karena sang istri bisa melaporkannya ke komisi perlindungan HAM
Pukul 09.00 pagi, usai Dean berolahraga dan mandi, telepon di kamarnya pun berdering. “Ya, hallo.”
“Mmm … aku mau pulang,” ujar Adhis tanpa basa basi.
“Baiklah, paling lama satu jam, kita bertemu di lobi.”
“Tak perlu, Kak, aku bisa pulang sendiri.”
“Tidak, aku sudah berjanji akan mengantarmu, dan lagi Mommy bisa menghajarku, jika aku membiarkanmu sendirian.” Terdengar klasik bahkan mencari-cari alasan, tapi biarlah, Dean tak peduli. Toh niatnya juga sudah terbaca sejak awal. “Yah? Tunggu aku di bawah, aku akan mengemasi barang bawaanku.”
“Hmmm…” Tak menunggu lama, Adhis segera mengakhiri panggilan.
Beberapa hari ini yang Adhis lakukan hanya berdiam diri, ia tak melakukan apapun, tak berbicara dengan siapapun, selain mantan kekasih yang beberapa hari ini bergentayangan di sekitarnya. Walau tak Adhis lihat wujudnya, tapi Dean nyata-nyata menunjukkan bahwa ia ada, dan siap kapanpun Adhis membutuhkan bantuan.
Pandangan Adhis tertuju pada paperbag besar yang ada di sofa, didalamnya berisi beberapa stel pakaian casual untuknya, bahkan lengkap dengan baju dalamnya. Walau paperbag tersebut dibawa oleh petugas room service dalam keadaan sudah di laundry, tapi Adhis tak perlu lagi bertanya siapa orang yang membelikan pakaian itu.
Adhis mengambil salah satu dres semi casual untuk ia kenakan, demi menghargai Dean yang sudah berusaha dengan keras menemaninya secara tidak langsung. Adhis kembali merona malu ketika melihat beberapa pasang baju dalam yang juga ada di paperbag tersebut, bagaimana mungkin Dean terpikir untuk membelikan semua itu, padahal Dean bukan siapa-siapanya.
Adhis kembali memastikan penampilannya di depan cermin besar yang ada di dalam toilet. Bagaimana mungkin semua pakaian tersebut pas di badannya, tidak ketat, bahkan tidak longgar. Mungkin ini adalah salah satu kelebihan Dean, ia terlahir dengan bakat alami memikat lawan jenis, salah satu caranya adalah dengan memberi berbagai macam perhatian seperti yang ia terima saat ini.
Dan mungkin Dean tak menyadari, tapi hal-hal kecil yang ia lakukan saat ini, sangat mudah mudah membuat lawan jenis terpesona.
Tapi Adhis sadar, ia tak boleh jadi perusak rumah tangga orang lain, jadi ia menepis perasaan hangat yang tiba-tiba muncul dalam hatinya. Akibat dari semua yang sudah Dean lakukan untuk membuatnya nyaman selama beberapa hari ini, mengingat ia sendiri masih berstatus sebagai istri orang. Walau … ah sudahlah.
Tiga puluh menit kemudian, Adhis keluar dari kamarnya, menuju lobi hotel, tempat ia janji bertemu Dean usai pria itu membenahi barang-barangnya. Rupanya Dean sudah turun lebih dulu, ia bahkan terlihat bercengkrama dengan para petugas wanita di front office. Tentu saja Adhis tidak heran, mengingat track record Dean sejak remaja.
Melihat kedatangan Adhis, Dean pun berdiri, dan menghampirinya. “Sudah siap? Mau langsung pulang atau sarapan dulu?” tanya Dean pelan-pelan.
Adhis bisa merasakan tatapan kesal para wanita yang sebelumnya bercengkrama dengan Dean, entah karena mereka iri, atau mungkin tak suka. Adhis tak peduli, toh dirinya juga tak ada hubungan apa-apa dengan Dean.
“Baiklah, sarapan dulu juga boleh,” jawab Adhis pelan.
Dean mengambil alih paperbag yang ada di genggaman Adhis, dan sangat bersyukur karena Adhis tak menolak bantuannya, bahkan Adhis mengenakan salah satu pakaian yang ia belikan beberapa hari lalu, untuk baju cadangan Adhis selama menginap di Hotel.
Keduanya melangkah keluar meninggalkan lobi, Dean bahkan sempat melambai dan mengedipkan sebelah mata pada para wanita yang sesaat lalu, menjadi teman bicaranya selagi menunggu Adhis.
Dean berjalan lebih dulu menghampiri mobil mewah yang ia pakai selama liburan di Yogyakarta. Terlebih dahulu, Dean membukakan pintu untuk Adhis, ia bahkan meletakkan telapak tangannya diatas kepala Adhis, demi memastikan wanita itu tak terbentur ketika memasuki mobil. Baru setelah itu, Dean meletakkan koper, dan paperbag Adhis di bagasi mobil.
Tanpa keduanya sadari, ada seseorang yang menatap mereka dengan seringai jahil, orang itu bahkan mengabadikan momen manis Adhis dan Dean ketika berjalan beriringan menuju mobil yang terparkir di halaman hotel.
Pemandangan yang sungguh kontras, namun menarik untuk di abadikan, Adhis yang sedikit malu dan risih, namun butuh bantuan, sementara Dean bak seorang pemburu yang enggan melepaskan mangsanya.
•••
#namanya juga duda, ada kesempatan, ya jangan disia-siakan 😅
•••
Anggita mematung di depan rumah Raka, rumah yang sangat mewah, mengingat tingginya penghasilan Raka, dan Adhis pun memiliki jabatan menggiurkan di tempatnya bekerja.
Sejujurnya Anggi enggan masuk ke rumah mewah tersebut, sekali lagi, ia cukup tahu diri dengan posisinya yang hanya istri kedua, merasa tak pantas menginjakkan kaki di rumah mewah istri pertama. Tapi desakan Bu Dewi membuat Anggita akhirnya memberanikan diri datang ke rumah sang suami.
Anggita merogoh ponsel di dalam tasnya, ia bermaksud menghubungi Raka, menanyakan keberadaan pria tersebut. Tapi seperti yang sudah-sudah sama sekali ia tak beroleh jawaban, maka Anggita pun memberanikan diri membuka gerbang yang sepertinya sengaja tak di kunci. Anggita bernafas lega, karena melihat keberadaan mobil Raka terparkir di halaman.
Pelan-pelan Anggita melangkahkan kakinya, ia nampak was-was dan takut jika nanti keberadaannya diketahui sang nyonya rumah. Halaman rumah mewah tersebut sungguh asri, selain karena Adhis menyewa jasa seorang tukang kebun yang datang beberapa kali dalam sebulan, Adhis sendiri sangat telaten merawat tanaman yang ada di pekarangan.
Bunga-bunga anggrek berjajar di setiap sudut taman, warna warninya sungguh indah karena kebetulan mereka mekar bersama-sama. Selain itu beberapa pohon bonsai ikut mempercantik taman tersebut, bahkan rerumputannya terasa sangat lembut di kaki.
Anggi kembali melangkah menuju teras, disana pun ia melihat sofa malas berwarna gading yang sengaja disesuaikan untuk dua orang. Tempat Raka dan Adhis kerap menghabiskan waktu di sana menikmati bunga-bunga di taman, atau sekedar menikmati aroma tanah basah usai hujan turun.
Bel pintu sudah ditekan beberapa kali, namun tak ada sahutan dari orang yang ada di dalam, maka sekali lagi Anggi memberanikan diri memutar handle pintu.
Ruangan tersebut gelap dan pengap karena Raka sengaja menutup seluruh gorden dan jendela, seperti tak ada tanda-tanda kehidupan. Bahkan Anggi mulai mencium aroma tak sedap yang menyeruak, seperti aroma sisa makanan yang sudah lama tak dibersihkan, padahal baru satu minggu ditinggal sang nyonya rumah.
“Mas…” Anggita bersuara, usai meletakkan beberapa susun kotak makanan yang ia bawa dari rumah.