Undangan sudah disebar, gaun pengantin sudah terpajang dalam kamar, persiapan hampir rampung. Tapi, pernikahan yang sudah didepan mata, lenyap seketika.
Sebuah fitnah, yang membuat hidup Maya jatuh, kedalam jurang yang dalam. Anak dalam kandungan tidak diakui dan dia campakkan begitu saja. Bahkan, kursi pengantin yang menjadi miliknya, diganti oleh orang lain.
Bagaimana, Maya menjalani hidup? Apalagi, hadirnya malaikat kecil.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Egha sari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29. Ikatan
Sore hari yang teduh dan sedikit berangin. Khaira dan Khaysan, duduk diatas tikar, dibawah pohon. Mereka ditemani Ansel, bermain diluar dengan pemandangan laut, didepan. Mainan berhamburan, karena ulah Khay. Robot yang bagian tubuhnya terpisah-pisah, nasib buruk juga menimpa, mainan mobil-mobilan.
Sementara, Khaira sibuk menyuapi bonekanya, yang tengah duduk manis diantara dia dan Ansel.
"Khay, itu bukan kepalanya, sayang? Itu, ban mobil."
"Aku mau buat lobot pelang, Ayah. Sepelti optimus."
Yah, terserah. Biarkan mereka berkreasi, selama bukan mobil asli yang dibongkar.
"Om ganteng," teriak Aira, yang melambaikan tangan. Sontak, Ansel menoleh pada arah pandangan Aira.
Sial! Kenapa dia ada disini?
Wajar saja, jika Ansel bingung dan bertanya. Selama ini, Zamar hanya berkunjung saat akhir pekan. Untuk itulah, ia selalu menyarankan Maya untuk datang saat hari kerja. Lalu, apa ini? kenapa pria ini, berdiri dihadapannya? Dan kenapa, ia sangat akrab dengan kedua anaknya?"
"Selamat sore, Aira, khay."
"Om ganteng, adik Aila nangis-nangis minta makan."
"Ayo, om bantu suap." Zamar mengambil sendok mainan. Namun, tangannya menggantung, tersadar akan keberadaan Ansel. "Maaf. Aku mengganggu kalian."
"Tidak apa, Tuan Zamar. Sepertinya, putriku menyukaimu."
"Kami baru bertemu, siang tadi. Aku merasa gemas dengan sikapnya. Dia juga cantik dan putramu tampan."
"Terima kasih, pujiannya. Mereka mengikuti wajah ibunya."
Ansel tertawa canggung. Entah dimana wajah Maya, dikedua anaknya. Padahal, hanya ada wajah Zamar disana.
"Ayah, lobotnya sudah jadi." Khay memperlihatkan robot yang baru dirakitnya.
"Wow, putramu jenius dan kreatif. Dia punya bakat."
Tentu saja. Karena, itu anakmu!
"Dia memang lebih suka berkreasi dan menciptakan hal baru. Tapi, ngomong-ngomong Tuan Zamar tiba-tiba berkunjung, saat hari kerja."
"Aku hanya sedang bosan."
Pelayan kedai datang membawa nampan, berisi cemilan, pisang goreng, dua gelas jus buah dan dua cangkir kopi.
"Anda seorang dokter, tapi membuka kedai disini. Padahal, tempatnya lumayan jauh."
"Yah, begitulah. Istriku menyukai laut, hingga akhirnya membuka usaha disini." Ansel mengambil dua cangkir kopi. Satu cangkir, ia serahkan pada Zamar. Sepiring pisang goreng panas diletakkan di tengah-tengah mereka.
Aira meminum jusnya, dari sedotan. Mengambil cemilan, dengan tangan satunya.
"Berapa umur mereka?"
"Dua tahun. Dua bulan lagi, mereka ulang tahun."
"Om ganteng," sela Aira, "Aila ulang tahun, bawa kadonya banyak. Aila mau boneka belbi plinses."
"Ah, iya. Nanti Om, datang. Kalau Khay, minta apa, sayang?"
"Buku."
"Buku?" Zamar menatap Ansel.
"Putraku belum bisa membaca, tapi memiliki minat pada buku. Dia suka buku cerita yang bergambar."
"Oh, kau memang berbeda." Zamar mengelus pucuk kepala Khay.
Andai saja kau tahu, dia putramu.
Dari kejauhan, Maya serasa ingin menghilang saat ini, bersama dua anaknya. Banyak tanda tanya dalam hati, yang tidak memiliki jawaban. Kenapa Zamar berada disana? Kenapa dia bersama kedua anak mereka?
Meski, pria itu tidak mengakui mereka dan sudah memutuskan hubungan. Namun, ia belum siap bertemu.
Maya berlari masuk, saat Zamar dan Ansel, berjalan mengarah kedai, bersama kedua anaknya.
"Terima kasih, Tuan Zamar, mau menemani kedua anak saya."
"Panggil, Zamar, saja."
"Om ganteng, nanti main sama Aila. Esok, Aila mau belenang."
"Hahaha... nanti, Om temani. Sekarang, Om mau pulang, sudah sore."
"Dada, Om ganteng."
Ansel langsung menggendong Khaira dan Khaysan, masuk dalam rumah. Dan Maya, sudah berdiri menunggu.
"Kita pulang," ajak Ansel.
Maya mengangguk, lalu segera membereskan barang-barang mereka. Ansel ikut membantu, agar menghemat waktu.
"Mami, plinses Aila, kenapa masuk tas?"
"Kita pulang, sayang. Om Ansel ada kerja."
"Ayah, aja yang pulang, Mami. Aila mau belenang sama om ganteng besok."
Maya memeluk putrinya, memberi penjelasan agar tak banyak bertanya dan menangis pada akhirnya. Beda dengan putranya, yang menurut dan tidak banyak bertanya.
"Nanti kita datang lagi. Oma dan tante Saphira, sudah rindu sama Aira. Katanya, besok mau jalan-jalan di Mall.
"Benelan, Mami?"
"Benar, sayang. Sekarang, kita pulang."
"Yeee, besok Aila mo beli plinses belbi."
Semua barang-barang sudah masuk dalam bagasi mobil. Sebelum pergi, Maya kembali berpesan dan memberikan instruksi pada penanggung jawab kedai.
Ansel dan Maya, masuk dalam mobil berbeda. Maya berjalan lebih dulu, disusul mobil Ansel dibelakangnya.
🍋
🍋
Ditempat berbeda.
Sekretaris Huan, yang beban kerjanya hari ini, berlipat ganda, karena ketidakhadiran Zamar. Sudah pukul enam sore, dan dia masih memilah dan membaca dokumen, yang perlu ditandatangani.
"Pak," Huan menoleh. "Kami menemukannya." Segera ia langsung meletakkan dokumen diatas meja. Menyambar jas dan kunci mobil, lalu berjalan dengan langkah lebar.
"Dimana?"
"Panti jompo."
Huan mengikuti arah kendaraan didepannya. Selama bertahun-tahun, mencari. Mereka baru menemukan ibu Lisa, sementara Maya belum diketahui keberadaannya.
"Dimana dia?"
"Didalam, Pak."
Anak buahnya, yang menunggu diparkiran, menunjukkan jalan untuk Huan.
"Bagaimana kalian menemukannya?"
"Kami mengikuti putrinya. Selama ini, ia tidak pernah mengunjungi ibunya. Dan baru terjadi, semalam."
Pintu kamar terbuka. Ibu Lisa, duduk diatas kursi roda, dengan menghadap jendela kaca, membelakangi pintu masuk. Ada petugas, dengan serangam putih menyuapinya.
"Kami keluarganya," ujar anak buah Huan. "Bisa kami bicara dengan Anda sebentar?"
Sang perawat menganggukkan kepala, mengikuti langkah salah satu anak buah Huan.
"Selamat malam, ibu Lisa. Saya Huan sekretaris tuan Zamar. Anda masih mengingatnya?" Huan berjongkok, didepan kursi roda.
"Tentu saja. Saya belum pikun, saya hanya kehilangan salah satu kaki saya."
"Boleh saya tahu, apa yang terjadi dengan Anda?"
"Saya kecelakaan, korban tabrak lari, kira-kira dua tahun lalu atau lebih, saya sudah tidak ingat. Saya meminta putri saya, untuk kembali, karena kebetulan dia sudah bercerai saat itu. Dia tidak memiliki pekerjaan, jadi saya memintanya, untuk menggantikan posisi saya sementara waktu."
"Lalu, kenapa Anda berada disini?"
"Dia tidak mampu mengurus saya dan biaya perawat juga mahal. Akhirnya, ia menitipkan saya di tempat ini. Mereka semua baik."
Huan mengeluarkan ponselnya. "Anda mengenalnya?" Foto pria yang bersama Maya, pagi itu.
"Tidak. Saya baru pertama kali melihatnya."
"Anda yakin? Pria ini, mengaku bernama Riko." Huan kembali memperlihatkan foto dalam ponselnya.
"Mana mungkin. Riko sudah meninggal, setelah diadopsi, berberapa tahun. Dia mengalami kecelakaan dan tidak tertolong."
"Kapan kejadiannya?" Huan mulai tidak sabar.
"Kira-kira, setelah Maya pergi untuk kuliah. Riko diadopsi, saat ia sudah kelas satu SMA. Saya juga bingung, kenapa pria itu mau mengadopsi anak yang sudah dewasa. Padahal, masih banyak anak-anak yang umurnya masih sangat kecil."
"Anda ingat keluarga yang mengadopsinya? Tolong, berikan saya alamatnya!"
Ibu Lisa tampak berpikir. "Saya ingat, keluarga itu punya usaha percetakan. Untuk alamatnya, mintalah pada putriku di panti. Ada dokumen lengkap disana. Saya sudah memintanya, untuk tidak membuang apapun."
Mana mungkin, Huan akan bertanya padanya. Keberadaan ibunya sendiri, wanita itu merahasiakannya, entah mengapa. Seolah, sedang menyembunyikan sesuatu.
"Ibu, tolong, apa Anda mengingat nama toko percetakan mereka atau nama kepala keluarga atau mungkin salah satu anggota keluarga itu?"
"Ayah angkatnya bernama, Guntur. Waktu itu, dia datang seorang diri. Yang aku ingat, toko percetakannya, bernama.... " Ibu Lisa menggaruk kepalanya. "Reski, Riski, Rezeki, pokoknya sekitar situ, aku tidak ingat tepatnya."
"Terima kasih, Bu. Maaf, saya mengganggu malam-malam begini."
"Tidak apa. Tapi, bagaimana kabar Maya? Kenapa dia tidak pernah menemuiku, bahkan datang ke panti?"
🍋 Bersambung
jangan mau kalah tuh sama mama Resti
knapa ga jujur?
keluarga yg baek ...
adakah di dunia nyata ini?