SMA Rimba Sakti terletak di pinggiran Kota Malang. Menjadi tempat di mana misteri dan intrik berkembang. Di tengah-tengah kehidupan sekolah yang sibuk, penculikan misterius hingga kasus pembunuhan yang tidak terduga terjadi membuat sekelompok detektif amatir yang merupakan anak-anak SMA Rimba Sakti menemukan kejanggalan sehingga mereka ikut terlibat di dalamnya.
Mereka bekerja sama memecahkan teka-teki yang semakin rumit dengan menjaga persahabatan tetap kuat, tetapi ketika mereka mengungkap jaringan kejahatan yang lebih dalam justru lebih membingungkan.
Pertanyaannya bukan lagi siapa yang bersalah, melainkan siapa yang bisa dipercaya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Moon Fairy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 19
Keesokan harinya, perpustakaan yang sepi, mereka berlima duduk melingkar di sekitar meja sambil memperdebatkan teori yang semalam mereka sepakati. Wajah-wajah mereka tampak serius, jauh berbeda dari hari-hari biasanya. Bahkan Rian, yang biasanya suka bercanda, kali ini terlihat tenggelam dalam pikirannya.
“Mbak Alya punya hubungan apa sama Mbak Endah?” tanya Dimas tiba-tiba. Dia memecah kesunyian dengan tatapan penasaran. “Maksudnya, kalau dia iri sama Mbak Endah, kenapa?”
Aisyah yang sejak tadi memegang buku catatannya, akhirnya berbicara. "Ini tentang posisi. Mbak Endah itu lumayan dikenal, karya seninya banyak diapresiasi. Bahkan beberapa lukisannya sampai dipajang di galeri kota. Sementara Mbak Alya… yah, dia bagus, tapi gak pernah dapat spotlight kayak Mbak Endah."
“Ya ampun, bener juga,” timpal Nadya sambil mengingat sesuatu. “Aku pernah denger gosip dari anak-anak seni. Katanya, Mbak Alya itu sebenernya agak sensitif kalau disandingin sama Mbak Endah. Kayak, dia selalu merasa di bawah bayang-bayangnya.”
Rian menyeringai. “Iri hati, ya? Kadang rasa iri itu bisa bikin orang ngelakuin hal-hal yang gak terduga.”
Arga menyilangkan tangannya di dada, wajahnya serius. “Oke, jadi kita punya motif. Mbak Alya bisa aja iri sama Mbak Endah. Tapi gimana dengan Mbak Ria? Apa hubungannya dengan dia?”
Aisyah membuka buku catatannya dan menggeser ke arah yang lain. "Mbak Ria... ini yang menarik. Aku dapat info kalau Mbak Ria sering bareng sama Mbak Endah di studio seni. Mungkin Mbak Alya merasa kalau Mbak Ria jadi temen dekat Mbak Endah, dan itu bikin dia tambah merasa tersingkir."
"Aduh, drama seni," gumam Rian sambil memijat pelipisnya. "Selalu ada masalah di balik kuas dan cat minyak."
Namun Aisyah tidak tertawa. "Tapi bukan cuman itu. Ini lebih dari sekadar drama. Aku pikir Mbak Alya gak cuman iri sama mereka dari individu, tapi juga sama pengakuan yang mereka dapat. Mungkin itu yang bikin dia nekat untuk ngelakuin sesuatu yang lebih dari sekadar menggambar."
Suasana hening sejenak, hingga akhirnya Rian bertanya, "Tapi, cara? Gimana caranya Mbak Alya bisa ngebakar gedung seni tanpa ketauan?"
Dimas yang sedari tadi diam, akhirnya mengutarakan pendapatnya. "Aku tadi udah ngecek beberapa hal di sekolah. Aku nemuin sesuatu yang menarik dari rekaman CCTV lain di sekitar Balai Seni."
Rian menatap Dimas dengan penasaran. "Apa?"
Dimas membuka laptopnya dan memutar rekaman dari kamera CCTV yang lain. “Ini. Dari sudut lain Balai Seni, tepat sebelum kebakaran terjadi. Aku sempat ngecek juga, dan ada bayangan yang keliatan cepat masuk ke dalam Balai Seni lewat jendela belakang.”
Mereka semua melihat rekaman itu dengan seksama. Memang ada bayangan seseorang yang bergerak cepat, nyaris tak terlihat jika tidak diperhatikan baik-baik.
“Jadi dia masuk lewat jendela belakang?” tanya Nadya dengan tak percaya. “Bukannya jendela itu selalu ke kunci?”
“Kalau dikunci dari luar, iya. Tapi kalau kamu punya akses ke dalam, kamu bisa buka dari dalam,” jawab Arga.
"Jadi, Mbak Alya masuk ke gedung, ngelakuin sesuatu, terus keluar dengan cara yang sama tanpa ada yang curiga?" Aisyah menyimpulkan.
Rian menatap mereka semua dengan tatapan licik. "Aku tau. Kalo Mbak Alya punya kunci cadangan, bisa aja dia masuk sebelum kebakaran, nyetting semuanya, terus keluar lewat jendela belakang. Gak ada yang bakal curiga."
Aisyah berpikir keras. "Masuk akal. Mungkin dia pakai bahan yang mudah terbakar, terus nyettingnya biar apinya mulai setelah udah aman, dia keluar. Semacam sistem jebakan api?"
Mereka semua terdiam memikirkan kemungkinan itu. Alasan, alibi, dan cara mulai membentuk pola di kepala mereka. Tapi apakah itu cukup?
Arga menghela napas panjang setelah memutar rekaman CCTV itu. “Tapi masalahnya, polisi bilang kebakaran itu disebabkan oleh konslet listrik. Gimana caranya kita bisa ngaitin Mbak Alya dengan itu? Apalagi kalau dari penyelidikan mereka, semua bukti mengarah ke sana.”
Aisyah mengerutkan dahi, memikirkan berbagai kemungkinan. "Konslet listrik bisa diatur. Maksudku, kalau Mbak Alya punya rencana lebih jauh, dia mungkin aja sengaja bikin seolah-olah itu murni kecelakaan. Misalnya, dia bisa sengaja nyalain alat yang udah rusak di studio seni, biar muncul percikan api dan konslet."
Dimas menambahkan, "Atau dia mungkin tahu kapan waktu yang tepat buat listrik Balai Seni ngalamin masalah. Biasanya gedung-gedung tua kayak gitu udah punya masalah di instalasi listriknya, dan Mbak Alya bisa aja manfaatin itu. Satu hal yang pasti, timing-nya gak kebetulan."
“Jadi maksudmu Mbak Alya mungkin nunggu momen yang pas buat nyalain peralatan listrik yang bermasalah itu?” tanya Nadya dengan nada agak skeptis. “Terus gimana dia bisa yakin kalau gak ada orang lain yang bakal masuk ke sana selain Mbak Ria?”
Rian tampak berpikir dalam. “Aku gak yakin dia sengaja nargetin Mbak Ria. Tapi dia mungkin tau kalo Mbak Ria sering tinggal di studio seni lebih lama. Mungkin itu yang bikin Mbak Alya tahu kapan harus bergerak. Lagipula, Mbak Alya sendiri bisa aja langsung pergi sebelum semua kejadian.”
Dimas mengangguk setuju. “Iya, bisa jadi. Lagian, gak banyak yang tau kalau Mbak Ria suka tinggal di studio buat melukis sampai malam. Mungkin cuman anak-anak seni aja yang tau kebiasaan itu. Mbak Alya... dia kan bagian dari lingkaran itu.”
Suasana hening sejenak, semua tenggelam dalam pikiran masing-masing. Mereka mulai menyatukan potongan-potongan informasi yang ada.
Arga mengusap dagunya, lalu mulai berbicara usai ia lama berdiam diri mendengarkan pendapat yang lain. “Itu bisa jadi opsi. Oke. Pertama, semua anak seni tau kalau listrik gedung itu punya masalah, ibaratkan bisa konslet, meledak, atau terjadi sesuatu kapan aja. Mungkin itu jadi alasan kenapa satpam bilang kalau anak seni dilarang ngelukis di sana di jam pulang sekolah kecuali memang ada pelajaran tambahan dari Bu Asri. Kedua, Mbak Ria ikut SAC Malang dan Mbak Endah ikut FL2SN itu ngebuat Mbak Alya yang selalu ada di peringkat 3 merasa kalah lagi. Ketiga, Mbak Endah bukan seseorang yang bisa kita curigai, dari gerak-geriknya kemarin memang mencurigakan, tapi waktu aku tanya-tanya sama Kevin, dia bilang kalau Mbak Endah itu cuman khawatir sama dirinya sendiri yang takut jadi kayak Mbak Ria. Terakhir—“
“Lukisan Mbak Alya. ‘Temukan dia sebelum api melahap semuanya’ Seolah kasih kita petunjuk kalau Mbak Alya tahu sesuatu sama semua ini,” potong Aisyah yang diangguki setuju oleh Arga.
“Justru lukisan itu yang paling menarik perhatianku sekarang. Gak tau kenapa aku malah curiga kalau yang sebenarnya Mbak Alya lakuin itu bukan bermaksud agar ‘dia dilahap sama api’ ,” jelas Arga lagi menimbulkan kebingungan di antara mereka.
“Maksudnya Mbak Alya sengaja bakar Balai Seni tapi gak sengaja bunuh Mbak Ria?” tanya Rian memastikan dan Arga pun mengangguk. Itu membuatnya menggaruk kepalanya bingung, “Makin aneh aja nih kasus.”
“Gak aneh kalau kita coba tanya ke Mbak Alya langsung,” sahut Nadya, yang lain langsung menoleh dan saling pandang satu sama lain.
Arga mengangguk-angguk, “Istirahat nanti kita ngobrol sama Mbak Alya di sini. Nad, kamu coba hubungin dia, ya,” pintanya.
Rapat pagi itu pun berakhir dan mereka sepakat untuk melanjutkannya kembali ketika istirahat untuk berbincang langsung dengan ‘dalang’ yang saat ini mereka curigai, Alya Novita dari kelas 12 MIPA 3.
...—o0o—...
Waktu istirahat tiba, Arga, Rian, dan Dimas sudah lebih dulu berkumpul di perpustakaan. Mereka duduk di lantai dua, di sudut yang agak terpencil. Namun, suasana yang awalnya seharusnya tenang malah menjadi ramai gara-gara Rian dan Dimas sibuk bermain game di ponsel mereka, sementara Arga yang duduk sambil mengerjakan tugas biologinya hanya menggelengkan kepala, ikut tersenyum tipis melihat tingkah dua temannya itu.
"Woy, woy! Cover dong!" teriak Rian tiba-tiba, membuat Dimas menoleh dengan wajah panik.
"Udah, udah! Udah Di-cover!" jawab Dimas sambil mengetuk layar ponselnya dengan cepat. “Rian, belok kiri! Kiri! Bukan kanan! Jangan buta map!” teriak Dimas lagi, suaranya mulai meninggi.
Arga yang tadinya duduk tenang sambil mengerjakan tugas biologinya memilih untuk menutup buku karena tak bisa menahan tawa dan merasa agak terganggu dengan mereka. “Kalian serius mau main game di tempat kayak gini?”
“Yaelah, Ga, ini seru banget! Dikit lagi menang, sumpah!” balas Rian dengan wajah tegang, matanya masih terpaku pada layar.
“Kanan, kanannya! Awas meledak!” Dimas hampir melompat dari kursinya karena terlalu bersemangat.
Rian, yang sudah mulai gugup, terus memencet tombol di ponselnya dengan cepat. “WOY DIMAS! Kan jadi mati gara-gara koen ora cover aku (kamu gak cover aku) !”
“Kok jadi nyalahin sih? Lagian koen sing (kamu yang) salah belok!” balas Dimas dengan nada sedikit kesal.
Arga hanya tertawa kecil, menonton mereka berdua yang semakin heboh. Suasana yang awalnya tenang di perpustakaan berubah jadi cukup riuh. Sampai akhirnya...
“WOY!!” Suara lantang dari lantai bawah memecah kebisingan. Mereka bertiga langsung menoleh ke arah bawah lebih tepatnya di anak tangga kedua. Di sana, Bu Rina, pembina perpustakaan, sudah berdiri sambil memegang sapu di tangannya, wajahnya jelas menunjukkan bahwa dia sudah habis kesabaran. “Kalian berisik banget! Ini perpustakaan, bukan arena permainan!”
Dimas dan Rian langsung membeku di tempatnya. Arga berusaha menahan tawa sambil melirik ke bawah, tapi tidak bisa menyembunyikan senyum lebar di wajahnya.
“Kalau masih ribut, saya lempar sapu ini ke atas!” ancam Bu Rina sambil menunjuk ke arah mereka dengan sapu di tangannya.
“Ngapura (Maaf), Bu! Ngapura (Maaf) !” Rian buru-buru menurunkan ponselnya, sementara Dimas sudah menutup game-nya.
“Nggih, Bu. Ampun,” tambah Dimas sambil mencoba tersenyum kikuk.
Bu Rina mendengus kesal sebelum akhirnya kembali ke lantai bawah, tapi tatapannya masih terus mengawasi mereka dari bawah. Setelah situasi kembali tenang, mereka bertiga tertawa pelan.
“Makanya jangan gilani, hampir aja dilempar sapu sama Bu Rina,” Arga berkomentar sambil menggelengkan kepala.
“Gak nyangka dia denger dari bawah, mana negurnya pakai ‘woy’ lagi,” kata Rian dengan wajah sok polos. “Itu sapunya udah kayak senjata ulti aja.”
Belum sempat suasana benar-benar tenang, pintu perpustakaan kembali terbuka. Nadya dan Aisyah masuk dengan langkah cepat, diikuti oleh Alya yang tampak agak enggan. Nadya tampak memegang ponselnya, seolah sedang sibuk mengatur sesuatu.
“Kalian udah lama nunggu?” tanya Aisyah sambil menarik kursi dan duduk di samping Arga.
“Lama? Lumayan. Sempat hampir dilempar sapu sama Bu Rina,” jawab Arga sambil tertawa kecil, membuat Aisyah mengangkat alis heran.
Nadya tertawa geli. “Wah, kalian ngelakuin apa sih sampai Bu Rina begitu marahnya?”
“Main game,” jawab Dimas tanpa malu-malu, membuat Aisyah menggelengkan kepala dengan senyum tipis.
“Udah, udah, kita fokus aja. Maaf ya, kita datang telat. Tadi agak lama nyari Mbak Alya,” ujar Aisyah sambil melirik ke Alya yang tampak masih bingung dengan situasi ini.
Alya duduk di antara mereka dengan ekspresi tenang, meski jelas ada ketegangan di wajahnya. "Kenapa kalian manggil aku ke sini?" tanyanya langsung.
Rian, yang kini sudah serius, menatap Alya dengan pandangan tajam. "Mbak, kita cuma mau ngobrol soal kebakaran kemarin di Balai Seni. Ada beberapa hal yang pengen kita tanya, termasuk soal lukisan Mbak Alya."
"Lukisan?" tanya Alya, jelas mulai merasa ada yang tak beres.
Arga memandangnya dengan mata penuh keseriusan. "Iya. Lukisan itu, dan kata-kata yang tertulis di sana. Apa maksudnya, Mbak?"
...—o0o—...