Di hancurkan berkeping-keping oleh suaminya dan juga ibu mertuanya, kehidupan Laras sangat hancur. selain harus kehilangan anak keduanya, Laras di serang berbagai ujian kehidupan lainnya. Putranya harus di rawat di rumah sakit besar, suami mendua, bahkan melakukan zina di rumah peninggalan orantuanya.
Uluran tangan pria tulus dengan seribu kebaikannya, membawa Laras bangkit dan menunjukkan bahwa dirinya mampu beejaya tanpa harus mengemis pada siapapun. Akan dia balaskan semua rasa sakitnya, dan akan dia tunjukkan siapa dirinya yang sebenarnya.
Sehebat apa luka yang Laras terima? apakah dia benar-benar membalaskan rasa sakitnya?
Yuk simak terus ceritanya sampai habis ya 🤗🥰
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reni mardiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kamrahan Jefri
Laras dan Aiman pergi ke kota kelahiran Laras, mereka akan melakukan transaksi jual beli rumah Tuti seperti yang sudah di rencanakan. Bayu mengekor dari arah belakang, dia tentunya akan selalu mendampingi adiknya kemanapun dia pergi.
"Cerdas juga kamu, Ras." Goda Aiman.
"Iya dong, ini gak seberapa dengan apa yang aku rasakan, Mas." Sahut Laras.
Hening. Tidak ada lagi ucapan yang keluar dari mulut keduanya, Laras lebih memilih menatap kearah luar jendela, disaat seperti ini dia sangat membutuhkan pelukan ayah dan ibunya. Andai saja mereka masih ada, mungkin Laras tidak perlu ke psikiater untuk konsultasi selepas keguguran dulu. Buliran bening meluncur tanpa ada penghalang, dadanya terasa sesak dan juga jantungnya berdebar.
Aiman menepikan mobilnya, dia bingung saat mendengar isakan Laras.
"Ras, are you oke?" Tanya Aiman.
Sontak Laras langsung mengusap air matanya dengan kasar, jilbab yang ia kenakan juga sebagian basah oleh air matanya.
"A-ah, iya. Maaf, aku tidak apa-apa, Mas." Laras gelagapan, dia merasa tidak enak pada Aiman karena telah menggagu fokusnya.
"Semua pasti ada hikmahnya, Ras." Ucap Aiman tersenyum, dia juga memberikan dua lembar tisu pada Laras.
Laras menerima tisu yang di berikan Aiman, mendengar ucapan Aiman semakin membuatnya terisak. Aiman tak langsung melajukan mobilnya, melainkan ia membiarkan Laras untuk tenang terlebih dahulu, Aiman cukup salut karena Laras mampu melewati cobaannya yang pastinya tidak semua orang mampu.
**********
Orang yang akan membeli rumah Tuti sudah berada di lokasi, Laras merasa tidak enak karena telat datang. Mereka pun masuk ke dalam di sambut oleh penjaga dan juga Bi Sutinah.
Beberapa menit kemudian.
"Bagaimana? Apa tuan suka rumahnya?" Tanya Laras.
"Sangat suka, kebetulan saya memang butuh rumah dalam waktu dekat, saya dan keluarga akan memulai bisnis di kota ini dan rumahnya pun tak jauh dari tempat saya bekerja." Jawab Pembeli.
Bi Sutinah datang membawa nampan berisikan minuman dan juga kue bolu, Laras dan juga pembeli membicarakan harga rumah yang ternyata langsung di sepakati tanpa melalui proses yang panjang.
Deal.
Laras dan Pembeli berjabat tangan, pembeli memberikan cek dengan nominal yang sudah di sepakati. Bayu memberikan sertifikat rumah, dia juga memerintahkan Bi Sutinah untuk mengeluarkan semua barang yang ada di dalam rumah Tuti.
Pembeli rumah tersebut bukanlah orang sembarangan, dia berasal dari keluarga konglomerat yang statusnya setara dengan Aiman. Jadi, begitu ia mendapatkan rumah yang cukup untuk di tempati oleh keluarga kecilnya, dia langsung menyetujuinya dan membayarnya langsung.
*****************
Sore hari. Jefri memarkirkan mobilnya tepat di halaman rumah, alisnya bertaut melihat beberapa orang mengangkut barang yang di bawa masuk ke dalam rumah ibunya. Lebih membingungkannya lagi, koper miliknya dan juga milik ibunya sudah berada di luar rumah.
Buk.
Jefri keluar dari dalam mobil, dia menutup pintunya dengan keras, dengan cepat ia melangkahkan kaki panjangnya menghampiri orang yang tengah menurunkan barang dan sebagian orang lagi menyusunnya ke dalam rumah.
"Siapa kalian! Kenapa semua barang-barangku ada di luar? Katakan!" Para pekerja tak memperdulikan ucapan Jefri, mereka lebih memilih fokus menyusun barang bawaan.
"Apa kalian tuli, hah!" Pekik Jefri.
"Hei tuan, kau ini berisik sekali mengganggu kami yang sedang bekerja! Rumah ini sudah di jual, pemilik barunya lah yang meminta kami membawa semua barang miliknya." Jelas seorang pria kurus.
"A-apa maksudmu? Jangan sembarangan bicara ya! Mana ada rumah ini di jual, orang Ibuku saja ada di penjara sedangkan aku pergi bekerja, kalian mengaku-ngaku ya! Keluar kalian semua, atau aku akan melaporkan kalian ke polisi!" Jefri tak terima rumahnya di datangi oleh orang lain, terlebih lagi mengaku-ngaku bahwa rumahnya di jual. Logikanya saja, Titi dan Dania masih berada di kantor polisi, sedangkan dirinya tengah bekerja dan untuk apa pula dia menjualnya.
Seorang pria keluar dari dalam rumah, dia mendengar kegaduhan dimana Jefri tengah marah-marah mengusir para pekerja keluar.
"Ada apa ini?" Tanya Surya selaku pembeli rumah yang sudah melakukan transaksi bersama Laras.
"Ini tuan, tuan ini menyuruh kami pergi katanya ini rumahnya. Jadi gimana? ini rumah siapa sebenarnya?" Tanya pekerja yang di landa kebingungan.
"Maaf, tuan. Baru saja saya membeli rumah ini dengan nominal yang cukup mahal, sertifikat rumah juga sudah ada di tangan saya. Jika tidak percaya tanyakan saja pada nona Laras, sebagai tuan rumah baru jadi ini rumah milik saya." Jelas Surya.
"Laras? Tidak mungkin, mana buktinya." Jefri masih tidak percaya.
Surya memberikan bukti sebuah potret dimana ia berjabat tangan dengan Laras, sertifikat tanah juga ia tunjukkan pada Jefri agar dia percaya. Sontak Jefri membulatkan matanya melihat Laras tersenyum berjabat tangan dengan Surya, ia mengepalkan tangannya sampai urat lehernya terlihat. Disana juga ia melihat pembantu dan juga penjaganya ikut berfoto.
"Sudah percaya? Lebih baik anda keluar, sebelum saya menyuruh penjaga menyeret anda keluar." Tegas Surya.
Jefri sama sekali tidak menyangka Laras melakukan ini semua, dia lantas memeriksa mobilnya di dalam garasi takut mobil kesayangannya ikut di jual oleh mantan istrinya.
Sreett.
Mobil garasi terbuka lebar, benar saja. Mobil kesayangannya tidak ada di dalam garasi, Jefri murka sampai ia meninju pintu garasinya.
Dengan Langkah penjang, Jefri berjalan menuju mobil miliknya yang masih ada padanya, bak orang kesetanan Jefri melajukan mobilnya secepat kilat.
"Brengsek! Awas kau Laras!" Umpat Jefri memukul stir mobilnya.