Alana, seorang gadis yang harus tinggal bersama keluarga Zayn setelah kehilangan kedua orang tuanya dalam sebuah kecelakaan tragis, merasa terasing karena diperlakukan dengan diskriminasi oleh keluarga tersebut. Namun, Alana menemukan kenyamanan dalam sosok tetangga baru yang selalu mendengarkan keluh kesahnya, hingga kemudian ia menyadari bahwa tetangga tersebut ternyata adalah guru barunya di sekolah.
Di sisi lain, Zayn, sahabat terdekat Alana sejak kecil, mulai menyadari bahwa perasaannya terhadap Alana telah berkembang menjadi lebih dari sekadar persahabatan. Kini, Alana dihadapkan pada dilema besar: apakah ia akan membuka hati untuk Zayn yang selalu ada di sisinya, atau justru untuk guru barunya yang penuh perhatian?
Temukan kisah penuh emosi dan cinta dalam Novel "Dilema Cinta". Siapakah yang akan dipilih oleh Alana? Saksikan kisah selengkapnya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nungaida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7
Pagi hari di sekolah
Alana melangkah masuk kelas, ada sesuatu yang terasa berbeda. Suasana kelas jauh lebih ramai dari biasanya. Bisikan-bisikan terdengar di sana-sini, diselingi tawa cekikikan beberapa siswa.
" Eh, kamu udah lihat?"
"Anak yang belum lama pindah?"
"Iya si Airin kan."
"Coba tengok mukanya, tuh... Iiih, parah banget," bisik teman-temannya, sambil saling sikut menunjukan isyarat.
Alana merasa terganggu dengan kebisingan itu, "Ada apa sih pagi-pagi udah ribut gini?" gumamnya.
Saat hendak duduk mata Alana langsung tertuju pada wanita yang menjadi topik pembicaraan pagi itu. Ya, wanita berambut bob, Airin, yang kini tampak sangat berantakan, dengan lebam yang membiru di pipinya dan mata kirinya yang dibalut perban.
Alana terkejut matanya seketika membelalak tanpa sadar ia berlari menghampiri dan menepuk bahunya. "Kamu...! Apa yang terjadi padamu? Kok bisa mukamu kayak gini?!"
Airin menatap tajam "Aku kan udah bilang, nggak usah peduliin aku!"
Alana tak bergeming ia malah fokus dengan lebam di wajah Airin yang terlihat sangat menyakitkan, "Kamu udah ke rumah sakit? Kayaknya itu perlu diobati..."
Airin menghela nafas kasar "Bukan urusanmu," balas Airin dingin, lalu meninggalkan Alana yang masih saja mematung di tempat.
Alana menatap kepergian Airin dengan cemas, perasaan bersalah mulai merayap di hatinya. "Apa yang sebenarnya terjadi?" pikirnya.
Seketika, ingatan tentang kemarin sore muncul di benaknya. Saat pulang sekolah, ia sempat melihat Airin dirangkul oleh ketiga orang wanita yang tempo hari membulinya.
"Seandainya aku mengikutinya kemarin... mungkin ini nggak akan separah ini," gumam Alana pelan. Namun, alih-alih menaruh perhatian pada Airin saat itu, ia malah memilih bersantai, membeli susu coklat bersama Zayn. Kini, perasaan bersalah semakin menyusup ke dalam hatinya, membuatnya tak fokus pada rutinitas sekolahnya.
Malam harinya
Alana berbaring di tempat tidurnya, bukannya tenang, pikiran Alana justru semakin berputar. Bayangan wajah Airin yang penuh lebam tak mau pergi dari benaknya. Setiap detil luka itu seolah terpatri di ingatannya, membuat malam yang seharusnya tenang berubah menjadi gelisah.
"Dia datang ke sekolah dengan wajah babak belur seperti itu... Tak ada satu orang pun yang peduli dan menanyakan keadaanya... Aku masih punya Zayn, dia selalu membelaku, jadi aku masih baik-baik saja selama ini... Tapi Airin? Dia nggak punya siapa pun di sisinya. Apa dia nggak sakit? Kenapa dia selalu berkata dingin, seolah membatasi diri dari orang lain? Gumamnya Alana, semakin resah.
Tatapan kosong Airin saat melihat keluar jendela, lalu tiba-tiba menatapnya, kembali terlintas di benak Alana. "Lalu... yang aku lihat itu apa?" Alana merenung mencoba memahami. " Di mataku dia tampak seperti... sedang meminta pertolongan?"
Alana semakin tenggelam dalam pikirannya. Perlahan, rasa kantuk mulai merayap, menariknya semakin dalam hingga akhirnya ia terlelap dalam kecemasan yang belum terjawab.
*
*
Keesokan harinya.
Maya dan gengnya—Riska dan Devi sengaja berkumpul di depan gerbang SMA Nusantara, sekolah di mana Alana, Airin, dan Zayn belajar. Mereka bersiap merencanakan sesuatu yang tidak baik.
Maya mengawali pembicaraan dengan senyum sinisnya "Kalo di pikir-pikir, si Airin... Aku nggak rela mulangin dia gitu aja kemarin!"
Riska menatap penuh dendam " Si sialan itu juga sudah mematahkan lengan dan hidungku! Lihat saja nanti bagaimana aku mengurusnya hahaha
Devi menyeringai ke arah kedua temannya "Kita harus menghajarnya sekali lagi! Dia kan juga sudah menggoda pacarmu, Maya!"
"Hehehe, hebat sekali dia, ya!" balas Riska dengan tawa sinis.
Maya hanya diam, tampak merenung dengan ekspresi jahat di wajahnya.
Devi menaruh tangannya di janggut seolah-olah teringat sesuatu yang sangat menggembirakan. "Oh iya, aku tahu rumahnya. Dia hanya tinggal berdua bersama ibunya."
Riska menoleh "Ah..! Ibunya yang tampak seperti ini?" Hahaha..."
Ia memperagakan dengan kedua tangan yang terjulur ke depan dan tatapan mata menyipit di buat kosong, menertawakan ibu Airin yang buta.
Maya terbahak "Hahaha, dasar!"
Tiba-tiba Maya berhenti tertawa, lalu dengan nada penuh rencana licik, ia berkata, "Eh, aku punya ide cemerlang nih, guys!"
"Apa tuh, May?" tanya Riska penuh antusias.
Maya mendekat, merangkul kedua temannya dan berbisik pelan, menyampaikan rencana jahat yang langsung disambut dengan tawa setuju oleh Riska dan Devi.
Dari dalam sekolah, bel panjang berdering, menggema di seluruh sudut bangunan. Suara khas itu menandakan bahwa hari sekolah sudah berakhir. Namun, bagi Alana, hari ini rasanya baru saja dimulai. Masih banyak hal yang harus dihadapinya, terutama tentang Airin yang terus mengganggu pikirannya sejak kemarin.
Zayn menghampiri Alana, "Hei, kamu nggak pulang?"
Alana menoleh tersenyum "Kamu duluan aja Za, aku masih mau konsultasi sama guru"
"Oh yaudah aku duluan ya masih ada bimbel soalnya" balas Zayn.
"Oke," jawab Alana sambil melambaikan tangannya.
"Aku nggak mau membuat Zayn terlibat urusan ini, aku sudah terlalu banyak merepotkannya. Setidaknya aku akan melakukannya dengan baik kali ini."
Kemudian, ia mengalihkan pandangannya, mengamati Airin yang mulai mengemas barang-barangnya.
Alana mengikuti Airin dari belakang. "Kalau begini, udah kaya stalker aja," pikirnya, merasa tindakanya tak benar namun ia khawatir.
Alana terkejut melihat Airin berhenti di depan pintu bus.
“Ah..! Bus..!! Aku masih belum bisa naik bus…Padahal, aku harus mengikutinya, tapi bagaimana ini...?
Alana merasa pusing dan mual, namun ia tetap memberanikan diri untuk menaiki bus itu. Ia mencari tempat duduk di paling belakang, jauh dari tempat Airin, berusaha menyembunyikan kecemasannya. Diambilnya napas dalam-dalam dan ia pejamkan matanya, berharap ketenangan bisa meresap ke dalam dirinya. Namun, di balik matanya yang tertutup, pikirannya terus berputar, berusaha menenangkan gelombang rasa takut yang mengganjal di dadanya.
Bus berhenti dengan jeda yang cukup, dan suara rem yang berdecit menandakan bahwa perjalanan telah sampai di tujuan. Airin membuka pintu bus dan melangkah keluar, perlahan menghilang ke dalam kerumunan.
Ia berjalan menuju gang sempit yang mengarah ke rumahnya, langkahnya tampak mantap meskipun raut wajahnya menunjukkan ketegangan. Setiap langkahnya seolah membawa beban yang berat, dan ia tidak menoleh ke belakang.
Airin berhenti di depan rumah bercat biru dengan nuansa klasik. Saat hendak meraih gagang pintu, tiba-tiba rambutnya ditarik ke belakang.
“Arghh! Apa-apaan kalian?!” teriak AIrin, terkejut.
Maya langsung memegang tubuh Airin dengan kuat. “Pencet belnya!” titahnya kepada Riska dan Devi.
“Oke,” Riska menganguk dan tersenyum miring, lalu segera menekan tombol bel.
Suara bel menggema di dalam rumah, tetapi suasana di luar tampak mencekam, dan Airin dengan sekuat tenaga mencoba memberontak tapi tak bisa, cengkraman Maya terlalu kuat untuk tubuh mungilnya.
“Hei, berhenti! Ku mohon hentikan! Teriakan putus asa Airin. Tubuhnya bergetar menahan luapan kemarahan yang tak mampu diungkapkan. Namun, meski jiwanya bergejolak, tubuhnya yang lemah seakan menolak untuk diajak berkompromi, terperangkap dalam rasa frustrasi yang mendalam.
Dari dalam Bu Dira memanggil, "Airin?"
Riska terkikik dan segera melancarkan aksi jahatnya. "Tante, kami teman-teman Airin~"
Airin merasakan darahnya mendidih mendengar ucapan itu, ia tahu pasti mereka akan merencanakan hal yang tidak baik pada ibunya.
Devi tersenyuman sinis dan melembutkan perkataanya. “Airin mengajak kami untuk bermain sebentar tante~"
Airin hanya bisa menggigit bibirnya, berusaha menahan rasa cemasnya. Suasana semakin tegang, dan ia berharap ibunya tak membukakan pintu saat ini.
“Ya ampun, kalian teman-teman Airin? Tante akan membukakan pintu untuk kalian,” sambut Bu dira dengan ramah.
Riska tersenyum menyeringai. “Haha, ini gila! Siap-siap, drama baru akan dimulai!”
Sementara Airin yang masih dipegang Maya menatap tajam ke arah Riska dan Devi. Matanya yang sayu mulai membelalak, seolah mencari keadilan dari wanita-wanita jahat tersebut, meski ia tahu itu tak mungkin. Ia mencoba berbicara dengan suara yang bergetar, menahan amarah yang membara di dalam dirinya.
"Kenapa kalian harus berbuat seperti ini? Apa mau kalian?! Bukannya urusan kita sudah selesai kemarin?! tidak puaskah kalian memukuliku?" seru Airin dengan nada kemarahan yang mengguntur.
Ceklek...
Ngiik...!
Bu Dira berjalan perlahan dari dalam rumah dengan tongkatnya, suaranya terdengar jelas, "Tak... tak... tak." Ia berhenti di depan pintu dan tersenyum hangat. “Silakan masuk, ayo...,” ujarnya ramah. “Baru kali ini ada teman Airin yang main ke sini.”
Senyuman ibunya membuat Riska, Maya, dan Devi semakin percaya diri. Mereka saling pandang dengan seringai lebar, seolah rencana mereka berjalan sempurna.
"Airin...? Kamu ada di situ, nak? Kenapa kamu tidak mengajak mereka segera masuk?” tanya ibunya lembut.
Airin terkejut saat ibunya keluar.
“Ibu, kembali ke dalam! Aku akan segera masuk...!” serunya panik, namun berusaha terlihat tenang.
“Airin, apa terjadi sesuatu padamu?” tanya ibunya, mulai khawatir.Riska dan Devi tersenyum menyeringai, mengisyaratkan sesuatu sambil menatap Maya yang masih memegangi Airin. Maya mengangguk seolah setuju dengan apa yang akan dilakukan kedua temannya, ekspresinya penuh kebencian.
Devi menepuk bahu Bu Dira, “Tante~ senang bertemu dengan Tante." Suaranya manis dan penuh kepalsuan, berusaha menunjukkan sikap ramah yang jelas-jelas tidak tulus.
Melihat Bu Dira kesusahan menopang tubuhnya, Devi tersenyum miring dengan sengaja menendang tongkat yang digunakan oleh Bu Dira hingga terdorong jauh ke depan.
Bu Dira oleng kehilangan keseimbangan saat tongkatnya terlepas dari genggamannya. "Bruk!" Dengan cepat, ia jatuh bersimpuh di lantai, tangannya menggerayangi tanah, berusaha meraba-raba mencari tongkatnya.
Devi membekap mulut menahan tawanya agar tak terdengar. “Astaga, Tante! Hampir saja Tante terluka. Tante harus berhati-hati."
Senyum tipis di wajah Devi menunjukkan ketidakikhlasan, sementara Riska dan Maya menahan tawa, menikmati kekacauan yang mereka ciptakan.
Bu Dira berdiri berpegangan pada Devi "Ya ampun, terima kasih ya?”
Devi memutar matanya malas, kemudian melanjutkan aktingnya "Tante masuk duluan saja... kami akan segera masuk bersama airin!
Tubuh Airin mulai bergetar, menahan emosi yang sudah berada di puncaknya. Ia ingin membalas, tetapi hatinya masih terikat oleh rasa hormat pada ibunya yang masih ada di depan mereka.
Maya tersenyum puas melihat reaksi Airin, kemudian ia berbisik, “Kenapa?! Kamu marah? Frustasi? Haha..! Coba kamu teriak lagi kayak waktu itu.”
Saat hendak masuk Bu Dira berbalik “Oh iya, Tante lupa. Tante akan menyiapkan cemilan. Jadi cepat masuk ya~"