Mendapati keponakannya yang bernama Sisi divonis leukemia dan butuh donor sumsum tulang, Vani membulatkan tekad membawanya ke Jakarta untuk mencari ayah kandungnya.
Rani, ibu Sisi itu meninggal karena depresi, tanpa memberitahu siapa ayah dari anak itu.
Vani bekerja di tempat mantan majikan Rani untuk menguak siapa ayah kandung Sisi.
Dilan, anak majikannya itu diduga Vani sebagai ayah kandung Sisi. Dia menemukan foto pria itu dibuku diary Rani. Benarkah Dilan adalah ayah kandung Sisi? Ataukah orang lain karena ada 3 pria yang tinggal dirumah itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yutantia 10, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MENUNGGUMU SEUMUR HIDUP
Suara tamparan itu terdengar menggema dikoridor rumah sakit. Menjadikan beberapa orang reflek melihat kearah sumber suara. Tapi sepertinya Pak Salim tak peduli sama sekali dengan itu. Bahkan saat beberapa orang mulai berbisik sambil melihatnya, dia juga tak peduli. Tangannya mengepal kuat dan rahangnya tampak mengeras.
Vani bisa merasakan vibes-nya langsung berubah tegang. Tamparan keras itu meninggalkan bekas merah dipipi Dilan. Ditambah lagi saat Pak Salim bertanya dengan sangat gamblang, apakah kau pernah tidur dengan Rani? Ketegangan makin memuncak. Pria itu seolah tak ada niat berbasa basi dulu, langsung keinti masalah.
Dilan masih tercengang dengan sambutan selamat datang dari papanya. Menyentuh pipi yang terasa panas dan merasakan ada yang mengalir dari sudut bibirnya. Rasa panas sekaligus kebas itu sampai membuat matanya berkaca-kaca.
"Jawab!" sentak Pak Salim. Dia menarik kedua kerah kemeja Dilan hingga tubuh putranya itu condong kedepan. "Jawab, Dilan," tekannya dengan bola mata seperti hendak keluar dari kelopaknya.
"Apakah ini penting untuk dibahas sekarang?" Dilan membuang nafas kasar. Menoleh kearah kaca yang memperlihatkan Sisi yang berada didalam dengan berbagai alat penunjang kesehatan yang menempel ditubuhnya. "Ini rumah sakit, dan ada Sisi yang kondisinya sedang buruk. Untuk apa malah membahas ini?" Meski tak tahu pasti bagaimana kondisi Sisi, tapi saat tahu gadis kecil itu ada di PICU, sudah pasti kondisinya tak baik-baik saja.
"Justru karena itulah, kita harus membahas ini," tekan Pak Salim sambil melotot.
"Apa hubungannya? Apa yang terjadi antara aku dan Rani, tak ada kena mengena dengan Sisi, tak ada hubungan."
"Ada," sahut Pak Salim dengan mata memerah. "Dia ..." Pak Salim menoleh kearah Sisi. "Dia..." Pria paruh baya itu mendadak merasa lemas, seluruh tenaganya seperti hilang, dan cengekeramannya pada kerah baju Dilan terlepas dengan sendirinya. Dia menunduk dalam sambil berderai air mata. Teringat semua cerita Vani tentang kondisi Rani sepulang dari Jakarta hingga meninggal. Serta teringat tentang semua celotehan polos Sisi.
"Ibunya Sisi itu sangat cantik, Opa. Makanya Allah sayang sama Ibu. Allah mengambil ibu lebih dulu untuk diberi tempat yang indah disurga dan berkumpul dengan Ayah." Setelah menyebut nama ayah, Sisi langsung menunduk dalam dengan mata berkaca-kaca. "Tapi Sisi tak tahu seperti apa wajah ayah. Tapi Sisi yakin, ayah pasti orang yang hebat, baik dan tampan. Sebenarnya Sisi juga pengen nyusul, tapi kata Nenek sama Kakek, mereka akan sedih kalau Sisi nyusul Ibu sama Ayah."
"Dia apa?" tanya Dilan.
"Dia...." Pak Salim menyeka air mata sambil melihat kearah Sisi. "Sisi anaknya Rani."
Deg
Dilan langsung tersentak kaget. Tubuhnya gemetar hebat dan kakinya terasa lemas. Sambil memegangi dada yang terasa sakit, berjalan dengan langkah lunglai mendekati kaca ruang PICU. Meletakkan telapak tangan dikaca sambil menatap Sisi.
"Apa kamu menyesal, telah memberikan apa yang paling berharga dari diri kamu?" tanya Dilan sambil memeluk tubuh polos Rani yang berbaring disebelahnya. Keduanya sedang berada dikamar Dilan.
Rani mendongak sambil menggeleng. Menatap Dilan dengan senyum yang terukir diwajah cantiknya. Tak ada raut menyesal sama sekali.
"Aku janji bakal nikahin kamu setelah pulang dari US. Hanya 2 tahun, gak akan lama." Dilan mempererat pelukannya. Rasanya berat sekali harus pergi meninggalkan Rani. Tapi dia tak ada pilihan lain. Sebagai anak tertua yang nantinya akan meneruskan bisnis ayahnya, dia harus menempuh pendidikan yang tinggi.
"Tapi disana pasti ceweknya cantik-cantik. Gimana kalau kamu tergoda?" Dilan tergelak mendengar ucapan Rani.
"Aku gak suka cewek bule, tenang aja."
"Tapi orang Indonesia juga banyak disana, Cina, korea, Jepang, dan Philipina, yang terkenal ceweknya cantik-cantik."
"Tapi gak ada Rani disana, jadi gak mungkin kecantol," sahut Dilan sambil mengecup kening Rani. "Karena yang bisa bikin seorang Dilan bertekuk lutut dan cinta mati, cuma Rania Azahra." Dia kembali memagut bibir Rani. Menikmati bibir manis itu sebelum lusa dia berangkat ke US.
Rani mendorong tubuh Dilan hingga ciuman itu terlepas. "Aku gak bisa nafas," ujarnya sambil terengah. "Kamu semangat banget kalau ciuman." Dicubitnya pinggang Dilan karena kesal. Sudah tahu dia belum pandai berciuman, malah gak dilepas-lepas sampai hampir kehabisan nafas.
Dilan kerkekeh geli melihat wajah merah Rani. Diraihnya kedua tangan gadis itu lalu dicium. "Kamu janjikan, bakal nungguin aku sampai pulang?"
Rani mengangguk cepat. "Aku janji bakal nungguin kamu, Mas. Jangankan hanya 2 tahun, aku akan nunggu kamu seumur hidup. Rani hanya milik Dilan. Seluruh hati dan tubuhku hanya milik kamu, Mas." Rani menyorokkan wajahnya diceruk leher Dilan. Menghirup dalam-dalam aroma kekasihnya yang akan sangat dia rindukan setelah ini. "Aku pasti akan sangat merindukanmu nanti."
"Sama, aku juga." Dilan membelai surai panjang Rani. Mengecup puncak kepalanya berkali-kali. Membayangkan akan berpisah 2 tahun, rasanya sangat berat.
"Gimana kalau kita bikin janji," ajak Dilan.
"Janji apa?" Rani mengangkat wajah menatap Dilan.
"Semacam janji pernikahan." Dilan lalu bangun, bengitupun dengan Rani. Menutupi tubuhnya dengan selimut sebatas dada lalu duduk dihadadapan Dilan.
Dilan meraih kedua tangan Rani lalu menggenggamnya.
"Rania Azahra, bersediakah kamu menikah denganku, Abrisam Dilan? Mencintaiku selamanya, dan menemaniku menghabiskan seluruh sisi hidup?"
Rani mengangguk cepat. "Ya, aku Rania Azahra, bersedia menikah dengan Abrisam Dilan. Mencintainya selamanya, dan menemaninya menghabiskan seluruh sisa hidup."
Keduanya lalu kembali berciuman cukup lama.
"Aku mencintaimu, Ran." Ujar Dilan setelah ciuman mereka berakhir.
"Aku juga Mas. Aku juga mencintaimu."
"Tunggu aku."
"Selalu."
Dilan mendorong Rani hingga kembali berbaring diranjang. Keduanya saling bertatapan dengan jantung yang terasa seperti mau meledak.
Menggunakan punggung tangannya, Dilan membelai setiap inci wajah Rani. Menyingkirkan anak rambut yang menutupi wajah cantiknya, lalu menghujaninya dengan kecupan lembut.
mereka hrs menuai apa yg mereka tanam
tanpa tau kejelasan yg sesungguhnya ny.
kasihan Rani jd depresi gara2 ulah Ret o.
bersiap lah. karma menantiu Retno
kang Dilan..
Retno... apa yg kau tanam itu lah yg kau tuai
hanya Autor lah yg tau..
di biarin takot kena salahin di tolong takot si Dilan nyari kesempatan