Namanya Erik, pria muda berusia 21 tahun itu selalu mendapat perlakuan yang buruk dari rekan kerjanya hanya karena dia seorang karyawan baru sebagai Office Boy di perusahaan paling terkenal di negaranya.
Kehidupan asmaranya pun sama buruknya. Tiga kali menjalin asmara, tiga kali pula dia dikhianati hanya karena masalah ekonomi dan pekerjaannya.
Tapi, apa yang akan terjadi, jika para pembenci Erik, mengetahui siapa Erik yang sebenarnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rcancer, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ketika Malam Menjelang
"Aku pergi dulu, Ibu, Ayah," pamit Erik kala hari sudah petang.
"Kamu yakin bisa menggunakan motor itu?" tanya Namira sedikit khawatir, karena baru kali ini, melihat anaknya menggunakan motor yang berbeda.
"Sama aja kaya motor biasa, Bu," jawab Erik enteng.
"Oh, ya udah hati-hati," balas Namira meski masih agak khawatir. "Lagian udah malam, malah mau main. Besok kan kamu mau sibuk."
"Astaga! Cuma sebentar kok, Bu," ucap Erik. "Abisnya jenuh, dari pagi di rumah terus."
"Namanya juga anak muda, Sayang," kali ini Castilo yang bersuara dengan tubuh yang terus menempel pada istrinya, lalu dia menyerahkan sebuah kartu. "Nih, disimpan."
"Kartu apa lagi ini, Yah?" tanya Erik sembari menerima kartu tersebut.
"Itu kartu buat akses masuk ke komplek perumahan ini. Karena para petugas keamanan belum mengenal kamu siapa, jadi kamu tunjukan kartu itu, biar enak keluar masuknya."
Erik mengangguk mengerti. Setelah memasukan kartu tersebut ke dalam tas, Erik langung menyalakan mesin motor yang harganya cukup fantastis karena edisi terbatas.
Setelah siap, Erik pun kembali pamit untuk pergi ke rumah temannya.
"Akhirnya, hanya kita berdua yang ada di rumah," ucap Castilo sembari senyum-senyum nakal.
Kening Namira berkerut, melempar pandangan kepada suaminya dengan mata menyipit. "Emang kenapa kalau kita hanya berdua?"
Castilo sontak menyeringai. Diluar dugaan, Namira dibuat terkejut dengan apa yang dilakukan suaminya saat ini.
"Kamu apa-apan sih, Mas? Turunkan! Cepat!" Namira memberontak. Tapi usahanya sia-sia. Dia tidak akan bisa lepas dengan mudah dari suaminya yang berpostur tubuh tinggi, tegap dan sangat kekar.
"Enak aja, minta diturunin. Aku tuh rindu saat-saat seperti ini, Sayang. Apa kamu sama sekali tidak rindu dengan isi celanaku?" balas Castilo dengan entengnya sembari mengangkat tubuh mungil istrinya.
"Astaga! Udah tua, kalau ngomong tuh dijaga! Turunkan aku!" Namira terus berusaha memberontak.
"Iya, nanti aku turunkan, kalau udah di atas ranjang," jawab Castilo.
"Aku nggak mau! Malam ini aku mau tidur terpisah," tolak Namira tegas.
"Enak aja," tolak Castilo mentah-mentah. "Kita udah terpisah belasan tahun terus kamu minta kita tidur terpisah? Jangan harap. Kamu nggak tahu apa, betapa tersiksanya isi celanaku menahan rindu sama lubangmu itu."
"Hih! Kalau ngomong," Namira gemas sendiri. Tapi kali ini dia sudah tidak bisa memberontak lagi. Percuma melawan Castilo kalau lagi mode keras kepala seperti ini.
Lagian, jauh di dalam lubuk Namira, wanita itu juga sangat merindukan lelakinya. Namun, setiap dia mendengar kabar yang berhubungan dengan nama sang suami, rasa benci itu kian membesar, hingga Namira sulit mengakui sisi rindu dalam benaknya.
"Tidak mungkin, isi celana kamu itu cuma masuk satu lubang? Meragukan," cibir Namira. "Apa lagi istri-istri kamu itu, senang sekali menggunakan pakaian seksi, mana mungkin kamu tidak tergoda?"
"Sama sekali nggak dong," bantah Castilo. "Mereka kan menikahiku, tujuannya karena harta dan nama besar. Keenakan mereka jika aku sampai jatuh ke dalam pelukan dua wanita itu. Mahkotanya yang menikmati pria lain, masa aku yang harus menanggung segala kebutuhan mereka seumur hidup. Mending hartaku buat hal lain yang lebih berguna."
Kening Namira kembali berkerut. Namun tak lama setelahnya, wanita itu diam-diam tersenyum. Ada rasa bangga dan kagum dalam benak Namira kepada suaminya, setelah mendengar pengakuannya barusan.
"Tapi, kamu nggak mungkin kan, selama ini hanya main sama tangan dan sabun? Apa lagi kamu sering bepergian keluar negeri. Terus, banyak wanita yang pasti rela melepas baju di depanmu. Tidak mungkin kamu menahan hasrat sampai bertahun-tahun."
Castilo menghembuskan nafas secara kasar. Sebagai laki-laki tampan dan kaya raya, memang godaan dari wanita hampir tiap hari berdatangan. Tidak munafik, Castilo hampir tergoda oleh mereka. Namun Castilo punya cara sendiri jika ingin melepas hasratnya dan sang istri tidak boleh tahu.
"Kenapa sih, Sayang? Apa kamu nggak percaya, kalau benihku cuma mau aku masukan ke dalam rahimmu saja? Apa kamu berharap, aku tidur dengan banyak wanita dan memiliki banyak anak?" tanya Castilo sembari meletakkan tubuh sang istri di atas ranjang.
"Bukan begitu," Namira malah salah tingkah. Apa lagi posisinya saat ini, Castilo sudah mengunci pergerakan tubuhnya.
"Sudah ya, Sayang. Jika masih banyak yang ingin kamu tanyakan, teruskan nanti saja. Sekarang, biarkan aku melepas rindu yang sudah aku pendam selama bertahun-tahun, oke?"
Namira tak berkutik. Tatapan mata sendu Castilo, seakan menghipnotis Namira hingga dia tidak sanggup menolak saat bibir pria itu mulai menyerang bibirnya dengan lembut.
Sementara itu di tempat lain.
"Erik?" seorang pemuda nampak terkejut begitu melihat teman akrabnya berada sudah di halaman rumah pemuda itu. "Baru aja, aku hendak main ke rumahmu, eh kamu malah kesini duluan," ucap pemuda itu nampak begitu senang.
"Tunggu-tunggu-tunggu. Kok kaya ada yang beda ya?" pemuda itu menatap sahabatnya yang masih berada di atas motor. Tatapannya begitu menyelidik sampai Erik tidak tahan melebarkan senyumnya.
"Motor kamu baru?" tanya Jojo nama pemuda itu. "Wuidihh, motor mahal ini."
"Gimana? Bagus nggak?" tanya Erik sedikit sombong.
"Cakep! Cocok sama tampang kamu," puji Jojo. "Ini motor baru apa gimana?
Sebelum menjawab Erik berpikir sejenak "Ceritanya nanti deh. Kita cari tempar nongkrong yuk. Biar enak ngobrolnya."
Jojo mengangguk. "Oke. Bentar, aku ganti baju dulu," Jojo bergegas pergi tanpa menunggu persetujuan Erik.
Tidak membutuhkan waktu lama, kini kedua anak muda yang usianya tidak terpaut jauh itu, sedang dalam perjalanan mencari tempat nongkrong yang enak buat ngobrol.
"Kita ke sana, yuk, Jo!" Ajak Erik sembari menunjuk ke salah satu arah.
"Ke sana? Nggak salah? Itu tempat mahal, Rik?" Jojo tercengang kala Erik menunjuk sebuah tempat yang memang terkenal harganya mahal.
"Nggak apa-apa. Sekali-kali, kita nongkrong di tempat itu," ucap Erik nampak begitu enteng.
"Oke deh," Jojo pasrah. "Yang penting, aku gratisin ya?"
"Tenang aja," balas Erik santai. Jojo pun langsung kegirangan.
Erik memarkirkan motornya pada tempat yang telah disediakan. Dilihat dari kendaraan yang terparkir di sana, bisa dilihat kalau pengungjung tempat itu, kebanyakan dari masyarakat kelas atas.
Saat memasuki tempat tersebut, keduanya cukup kagum dengan apa yang ada di dalamnya. Namun mereka memilih bersikap biasa saja agar tidak terlihat norak.
Keduanya pun memesan hidangan yang cukup mahal. Awalnya Jojo meragukan sahabatnya, karena takut Erik tidak bisa membayarnya. Bahkan Jojo sempat berbisik untuk keluar saja dari tempat tersebut.
Namun Erik menolaknya dan meyakinkan Jojo kalau dia mampu membayarnya. Jojo pun pasrah dan mereka memilih duduk di tempat yang menurut mereka nyaman untuk mengobrol.
"Wahh, ternyata tempat ini, menerima orang-orang miskin juga?"
Baru lima belas menit duduk di sana, sebuah suara yang cukup Erik kenal, mengusik pendengarannya hingga obrolan kedua pemuda itu terhenti.