“Bapak… selain mesum, juga nyebelin, ngeselin, rese, arogan dan sudah tua -- dewasa --. Pokoknya semua Bapak borong,” teriak Ajeng.
“Tambahkan, tampan dan membuat kamu jatuh cinta,” sahut Gentala.
Ajeng berada di dalam situasi disukai oleh rekan kerjanya yang playboy, berusaha seprofesional mungkin karena dia membutuhkan pekerjaan ini. Siapa sangka, Gentala – GM baru – yang membuat Ajeng kesal setengah hidup sejak pertama bertemu berhasil menolong gadis itu dari perangkap cinta sang playboy.
Namun, aksi heroik Gentala malah berubah menjadi bencana ...!
===
IG : dtyas_dtyas
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dtyas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 20 ~ Saya Bisa Jelaskan
Diajeng Sekar Ayu
Heran deh, perasaan dandanan aku udah cetar membahenol tapi yang mengomentari dan bilang aku cantik hanya si playboy. Aku bahkan melipir ke toilet memastikan kalau penampilanku masih oke.
“Gaun, bagus dan mahal. Belinya juga di butik walaupun dibayarin. Heels oke, biarpun sering keserimpet. Rambut dan make up udah sempurna seperti lagunya Andra. Kenapa yang bilang aku cantik hanya Pak Fabian ya?”
Pujian dari mulut Fabian tidak bisa dijadikan tolak ukur. Dia sebut aku cantik, tidak bisa dipercaya. Mana tahu, kambing pakai bando juga dia sebut manis.
Namun, yang bikin greget respon Pak Gentala. Beliau biasa aja lihat tampang aku. Lah, emang aku mengharapkan kalimat sakti apa dari mulutnya.
“Pak Krisna bilang, ngomongin aku dengan Pak Gentala. Bahas apa ya? Apa permintaan kenaikan gaji aku, disetujui? Semoga saja.”
Ponselku bergetar, ternyata pesan dari Fabian yang menanyakan kenapa aku lama sekali. Aku pun bergegas keluar dari toilet tanpa merubah sentuhan apapun dari wajah dan tubuhku.
“Kenapa sih Pak, nggak sabar amat. Pake alas kaki begini, agar ribet untuk jalan. Saya biasa pake sandal jepit swallow,” keluhku pada Fabian.
Fabian hanya terkekeh, kemudian mengusap kepalaku.
“Seneng bener ngusap kepala, padahal nggak ada pakunya,” ucapku dalam hati.
“Aku sudah ambilkan kamu minum,” ujarnya sambil menyerahkan gelas ke arahku. Memang dia memegang dua gelas dan dia berikan padaku yang ada di tangan kanannya.
Aku nggak tahu isi gelas itu jenis minuman apa, malah terpukau dengan design gelasnya yang berbentuk segitiga terbalik dengan gagang panjang. Bahkan ada potongan strawberry sebagai garnish. Tanpa bertanya isi dalam gelas bahkan tanpa bismillah aku meneguknya dan … habis.
Fabian terlihat heran menatapku.
“Pak, kok rasanya gini ya? Manis, agak asam ada pahitnya juga dan hangat gitu di tenggorokan tapi enak. Saya mau lagi dong.”
“Nanti saya ambilkan lagi, kamu tolong ambilkan paper bag di kamar aku. Isinya penting banget,” titah Fabian.
“Kamar Bapak, maksudnya di hotel ini?”
“Iya, saya takut agak mabuk jadi langsung tidur di sini. Kamu pulang diantar supir.”
Aku menerima acces card yang diberikan Psk Fabian dan keluar dari ballroom menuju lift untuk naik ke lantai sesuai yang tertera di kartu. Ada seseorang yang ikut masuk ke lift, aku bergeser agak ke pojok. Entah mengapa aku merasakan kantuk tiba-tiba, bahkan sempat menguap.
Akhirnya pintu lift terbuka, aku pun melangkah keluar. Rasa kantuk semakin menjadi, bahkan mata lebih sering mengedip. Saat menempelkan kartu pada sensor kunci, aku sulit fokus dan penglihatanku semakin pudar dan ….
...***...
“Hmm.” Aku bergumam dengan mata masih terpejam dan menggeliat pelan. “Bantal aku nyaman dan wangi,” gumamku lagi dan kembali mengendus dan memeluk guling dan mengeratkan pelukanku.
Tunggu, ini guling kok keras dan ….
“Aaaaa.”
Aku beranjak duduk sambil berteriak saat melihat sosok yang aku peluk bukan guling tapi Pak Gentala.
“Ck, berisik,” hardik pria itu lalu menarik selimut dan kembali memejamkan mata.
“Pak Genta, bapak kenapa ada di sini?”
Gentala bergeming dan sepertinya nyaman berada dalam balutan selimut.
“Pak Genta!” teriakku sambil menarik selimut dan mendorong tubuhnya.
“Aishh.”
“Kenapa Pak Genta bisa ada di sini?” Aku mengulang pertanyaan tadi.
“Justru itu pertanyaan untuk kamu, kenapa bisa ada di kamarku.”
Aku menatap sekeliling dan ini memang bukan kamarku, ini kamar hotel. Perlahan kepingan ingatan yang terjadi semalam terbayang di benakku. Gala dinner dan aku menuju kamar Fabian tapi malah berakhir di sini.
“Pak Genta, nggak macam-macam denganku ‘kan?”
Saat ini Gentala bertelanj*ng dada dan hanya mengenakan boxer. Dia kembali berdecak dan mengusap wajahnya.
“Pakaian kamu masih utuh?”
Aku menyadari masih mengenakan gaun lengkap dan dia kembali berbaring.
“Tapi kenapa saya ada di sini?” Aku mendorong tubuh Pak Gentala.
“Kamu tertidur di depan kamarku, lalu aku bawa masuk. Semalam tidak ada yang terjadi diantara kita, kecuali tidur bersama. Tidur dalam arti sesungguhnya.”
“Ketiduran di depan kamar, kok rasanya aneh ya,” ujarku sambil menggaruk kepala.
Terdengar bunyi bel pintu, aku menoleh ke arah pintu dan kembali menatap Pak Gentala.
“Itu siapa yang datang Pak?”
“Mungkin Anton atau Nella.”
“Hah, terus saya gimana?”
Bukan memikirkan solusi dari kegundahan hatiku, Pak Gentala turun dari ranjang dan melangkah menuju pintu lalu ….
“Gentala, menurut Mami … kamu siapa?” tanya wanita paruh baya yang merangsek masuk ke dalam kamar setelah mendorong tubuh Pak Gentala agar tidak menghalangi jalannya.
“Gentala, dia siapa?” tanya wanita itu sambil menunjuk ke arahku.
Dengan santai Pak Gentala menutup kembali pintu kamar dan berjalan ke arah sofa.
“Ajeng, asisten Fabian.”
“Lalu sedang apa dia di sini?”
“Tante, saya bisa jelaskan kok,” ujarku membela diri karena si sompret itu malah bersandar pada sofa dan menatapku.
“Tentu saja kalian harus jelaskan. Tidak ada ikatan tapi kalian bermalam di kamar yang sama, dengan kondisi kalian seperti ini dan kamu adalah karyawan Gentala juga … masih muda,” tutur wanita itu sambil menatapku dan Pak Gentala bergantian. “Siapa tadi namamu?”
“Ajeng, Tante.” Aku sudah duduk di tepi ranjang sambil menundukan wajah.
“Halo Pih, kemari dulu. Gentala berulah, dia bersama Ajeng dan … cepat kemari!”
ato jangan-jangan .....