Kumpulan Cerita Pendek Kalo Kalian Suka Sama Cerpen/Short Silahkan di Baca.
kumpulan cerita pendek yang menggambarkan berbagai aspek kehidupan manusia dari momen-momen kecil yang menyentuh hingga peristiwa besar yang mengguncang jiwa. Setiap cerita mengajak pembaca menyelami perasaan tokoh-tokohnya, mulai dari kebahagiaan yang sederhana, dilema moral, hingga pencarian makna dalam kesendirian. Dengan latar yang beragam, dari desa yang tenang hingga hiruk-pikuk kota besar, kumpulan ini menawarkan refleksi mendalam tentang cinta, kehilangan, harapan, dan kebebasan. Melalui narasi yang indah dan menyentuh, pembaca diajak untuk menemukan sisi-sisi baru dari kehidupan yang mungkin selama ini terlewatkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elfwondz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Air Mata di Balik Senyuman.
Mentari baru saja menggeliat dari balik perbukitan, menyemburkan warna jingga di langit kota kecil itu. Lintang berdiri di tepi jendela kamarnya yang sempit, membiarkan angin pagi menyapu wajahnya. Matanya menatap hampa pada dedaunan yang terhembus lembut, namun pikirannya melayang jauh—melayang ke masa lalu yang selalu dia coba lupakan. Senyum tipis yang menghiasi bibirnya tampak tenang, tapi di balik itu ada sesuatu yang terus menekan, seperti gelombang laut yang terus menghantam karang tanpa henti.
Lintang adalah seorang guru bahasa di sekolah dasar setempat, dikenal sebagai sosok yang selalu ceria dan penuh perhatian terhadap anak didiknya. Tapi tak ada satu pun yang tahu bahwa di balik setiap senyuman hangatnya, ada segumpal kesedihan yang tak pernah benar-benar pergi. Setiap pagi, dia menatap dirinya di cermin, memasang senyum yang sama, senyum yang dia pelajari untuk menutupi luka di dalam hatinya. Senyum itu telah menjadi topeng, begitu lekat hingga dia sendiri kadang lupa bagaimana rasanya menunjukkan perasaan yang sebenarnya.
Hari ini, Lintang merasa ada sesuatu yang berbeda. Ada perasaan gelisah yang tiba-tiba menyelimutinya, seperti ada sesuatu yang akan terjadi. Dia menarik napas panjang, menenangkan dirinya sebelum berangkat ke sekolah.
Setibanya di sekolah, Lintang segera disambut oleh riuh rendah suara anak-anak yang sedang bermain di halaman. Seperti biasa, dia tersenyum dan melambai ke arah mereka. Namun, ketika dia berjalan menuju ruang kelas, dia merasakan tatapan tajam yang seolah mengawasinya. Ketika dia menoleh, tak ada siapa pun di sana. Perasaan aneh itu terus menghantuinya sepanjang hari.
Di dalam kelas, Lintang berusaha mengalihkan pikirannya dengan mengajar seperti biasa. Dia sedang menjelaskan tentang puisi kepada murid-muridnya, ketika salah satu murid, Raka, mengangkat tangan.
"Bu Lintang, kenapa Ibu selalu tersenyum?" tanya Raka tiba-tiba.
Pertanyaan itu menohoknya. Lintang terdiam sesaat, tak tahu harus menjawab apa. Dia tak pernah menyangka akan mendapatkan pertanyaan seperti itu dari seorang anak kecil.
"Kenapa kamu bertanya begitu, Raka?" jawab Lintang sambil tersenyum, meski hatinya mulai merasa terpojok.
Raka menunduk sejenak, lalu berkata pelan, "Saya lihat Ibu sering tersenyum, tapi mata Ibu selalu terlihat sedih."
Lintang merasa dunia di sekelilingnya berhenti sejenak. Mata anak kecil itu terlalu jujur, terlalu polos untuk disangkal. Dia tertawa kecil, mencoba menghilangkan kegelisahan yang mulai menggerogotinya.
"Kamu lucu sekali, Raka. Tidak apa-apa. Ibu baik-baik saja," jawabnya, mencoba menutupinya dengan senyum yang semakin lebar.
Namun, malam itu, pertanyaan Raka terus terngiang di benaknya. Ketika dia pulang dan duduk di depan meja kerjanya, pikirannya kembali dipenuhi oleh kenangan-kenangan lama—kenangan yang telah dia kunci rapat-rapat bertahun-tahun lamanya. Tatapan sedih Raka membangkitkan sesuatu yang selama ini dia pendam dalam-dalam.
Empat tahun yang lalu...
Lintang masih ingat hari itu dengan jelas, hari di mana segalanya berubah dalam hidupnya. Dia duduk di sudut ruangan rumah sakit, menunggu kabar dari dokter tentang suaminya, Bram. Suaminya baru saja mengalami kecelakaan hebat, dan saat itu, Lintang masih berharap keajaiban akan datang. Namun, keajaiban tidak pernah datang. Dokter memberitahunya bahwa Bram telah pergi, meninggalkannya dalam kekosongan yang tak terukur.
Air mata tak lagi mampu dia bendung saat itu, tapi sejak hari pemakaman, Lintang berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia tidak akan lagi menangis. Dia akan bertahan, meski hatinya hancur berkeping-keping. Dan itulah yang dia lakukan—bertahan, meski dengan senyum yang palsu.
Kembali ke masa kini, Lintang menatap cermin di hadapannya. Wajah yang dia lihat di sana tampak begitu asing. Dia memejamkan mata, mencoba meredam semua perasaan yang mulai naik ke permukaan. Namun, bayangan Bram terus menghantuinya, seolah menuntutnya untuk menghadapi kenyataan yang selama ini dia hindari.
Di saat yang bersamaan, suara ketukan pintu membuyarkan lamunannya. Lintang membuka pintu dan menemukan seorang pria berdiri di sana. Pria itu adalah Raka, namun kali ini bukan sebagai murid kecil yang polos. Pria dewasa ini datang membawa sebuah kebenaran yang selama ini dia coba lupakan.
"Bu Lintang," kata pria itu, suaranya rendah namun tegas. "Saya tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan suami Anda."
Lintang terkejut. "Apa yang kamu maksud? Siapa kamu sebenarnya?"
Pria itu tersenyum tipis, seolah tak ingin membuatnya semakin cemas. "Saya Raka, adik Bram."
Lintang terdiam, darah di wajahnya seakan menguap. Dia ingat sekarang, Raka, adik Bram yang lama hilang dari hidup mereka setelah perkelahian keluarga besar beberapa tahun lalu.
"Bagaimana kamu bisa tahu?" tanya Lintang dengan suara yang gemetar. "Apa yang kamu ketahui?"
Raka menatapnya dalam-dalam, seolah mencari jawaban dari wajah Lintang. "Kecelakaan itu bukan kecelakaan biasa, Bu. Saya tahu Bram sedang diselidiki oleh pihak tertentu karena urusan yang tidak bersih. Ada banyak rahasia yang dia sembunyikan dari Anda."
Lintang merasa tubuhnya menjadi kaku. Selama ini, dia percaya Bram adalah suami yang baik, sosok yang jujur dan selalu melindunginya. Namun, kata-kata Raka membuat dunianya bergetar.
"Kenapa kamu baru memberitahuku sekarang? Setelah semua ini terjadi?" Lintang menahan napas, antara marah dan takut. Dia merasa seperti dihadapkan pada kenyataan yang tak ingin dia ketahui.
"Saya baru kembali setelah menghilang lama, Bu. Dan saya juga baru menemukan buktinya," jawab Raka, menyerahkan sebuah amplop cokelat besar. "Ini semua yang perlu Anda ketahui tentang Bram dan apa yang terjadi di balik kecelakaan itu."
Tangan Lintang gemetar saat menerima amplop itu. Dia membuka pelan-pelan, menemukan dokumen-dokumen yang berisi bukti-bukti bahwa suaminya terlibat dalam bisnis gelap. Ada nama-nama besar, transfer uang ilegal, dan bahkan beberapa foto Bram bersama orang-orang yang tak pernah dia kenali.
"Ini... ini semua..." Lintang terisak, air mata mulai mengalir di pipinya.
"Kamu harus mengerti, Bu Lintang, dia melakukannya untuk melindungi Anda. Tapi pada akhirnya, dia terseret terlalu dalam," kata Raka, suaranya semakin lembut.
Lintang tak bisa menahan lagi. Air mata yang selama ini dia pendam tumpah begitu saja. Selama ini, dia mencoba menjadi kuat, mencoba berpura-pura semuanya baik-baik saja, tapi kenyataan itu terlalu pahit. Semua yang dia pikir dia ketahui tentang Bram, tentang hidup mereka, runtuh dalam sekejap.
Raka mendekat, menepuk bahu Lintang dengan lembut. "Maafkan saya karena baru datang sekarang. Saya tahu ini sulit, tapi Anda berhak tahu kebenarannya."
Lintang mengangguk lemah. Dia merasa hancur, tapi di saat yang sama, ada sedikit perasaan lega. Setidaknya, sekarang dia tahu apa yang sebenarnya terjadi. Meskipun kebenaran itu pahit, setidaknya dia tidak lagi harus berbohong kepada dirinya sendiri.
"Terima kasih, Raka," kata Lintang dengan suara serak. "Terima kasih sudah memberitahuku. Mungkin sekarang aku bisa belajar melepaskan semuanya."
Raka tersenyum kecil, namun tatapannya tetap serius. "Hidup terkadang memberi kita senyuman yang harus kita tutupi dengan air mata, Bu. Tapi kita juga berhak untuk menemukan kebahagiaan di balik air mata itu."
Lintang mengangguk. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, dia merasakan berat di dadanya perlahan terangkat. Mungkin, di balik semua air mata dan kesedihan, ada secercah harapan. Mungkin, setelah semua ini, dia bisa belajar tersenyum kembali—bukan karena harus, tapi karena dia benar-benar merasa bahagia.
Dan malam itu, untuk pertama kalinya, Lintang menatap ke cermin tanpa memasang topeng.