Naina dijual ibu tirinya untuk menikah dengan pria yang tersohor karena kekayaan dan buruk rupanya, juga menjadi pemegang rekor tertinggi karena setiap tahunnya selalu menikahi ratusan wanita. Selain itu, Minos dikenal sebagai psikopat kejam.
Setiap wanita yang dinikahi, kurang dari 24 jam dikabarkan mati tanpa memiliki penyebab kematian yang jelas. Konon katanya para wanita yang dinikahi sengaja dijadikan tumbal, sebab digadang-gadang Minos bersekutu dengan Iblis untuk mendapatkan kehidupan yang abadi.
“Jangan bunuh aku, Tuan. Aku rela melakukan apa saja agar kau mengizinkanku untuk tetap tinggal di sini.”
“Kalau begitu lepas semua pakaianmu di sini. Di depanku!”
“Maaf, Tuan?”
“Kenapa? Bukankah kita ini suami istri?”
Bercinta dengan pria bertubuh monster mengerikan? Ugh, itu hal tergila yang tak pernah dibayangkan oleh Naina.
“... Karena baik hati, aku beri kau pilihan lain. Berlari dari kastil ini tanpa kaki atau kau akhiri sendiri nyawamu dengan tangan di pedangku?”
***
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Piscisirius, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 2 - Mawar Biru
Naina yang mendengar hal itu lantas bersujud dihadapan pria berwujud mengerikan tersebut, kepalanya menyentuh lantai. Kedua tangannya yang mengepal bergetar hebat, keringat dingin pun mulai memenuhi dahi.
“Ma-maafkan aku, Tuan! Aku tidak bermaksud seperti itu. Aku hanya bingung. Ya, bingung karena—” Naina tersendat, ritme ucapannya yang cepat mendadak berhenti.
Senyap menyisakan gemerutuk api di tungku.
Karena penasaran kenapa Tuan Minos tidak memberi respon apa-apa, Naina menaikan pandangannya sedikit. Mengintip apa yang terjadi.
Dan baru sedikit kepalanya terangkat, matanya membelalak. Seperti sedang kelolotan. Syok berat melihat jari-jari kaki Tuan Minos yang panjang dan lancip, tidak ada kuku, hanya tulang berbungkus kulit hitam kegosongan.
“Apa yang sedang kau lihat?” Tuan Minos tertawa hambar. Menyadari gadis di depannya saat ini begitu ketakutan.
Naina menggeleng cepat. “Tidak ada, Tuan.”
Tuan Minos membalikkan tubuhnya, menatap tungku perapian. Merapatkan bibir, lantas mengetatkan rahangnya hingga nanah keluar dari rongga-rongga pipinya yang berlubang.
“Tora! Masuklah!”
Tidak tahu siapa Tora yang dimaksudnya, tapi Naina yang berada tepat di depan pintu dengan reflek bergerak ke samping. Tahu akan ada seseorang yang masuk.
Tapi ternyata sosok yang dimaksud Tuan Minos barusan adalah burung gagak yang menyambut dan memandu Naina tadi. Dan gagak itu masuk menembus pintu yang tertutup begitu saja, membuat Naina yang melihatnya langsung melongo tidak percaya.
“Cari dan bawakan wanita selanjutnya! Aku tidak ingin gadis itu ada di sini. Aku benci tatapannya. Tatapan yang membuatku ingin mencabik-cabik wajahnya yang ketakutan itu!” teriak Tuan Minos tanpa mengalihkan pandangannya sama sekali.
Gagak itu melirik-lirik pada gadis yang masih tersungkur dalam sujud, lalu mengangguk patuh. “Baik, Tuan.”
Tahu akan diusir dan dipertemukan dengan ajalnya, Naina langsung beringsut. Berdiri menggunakan kedua kakinya yang gemetar. Wajahnya tidak lagi memiliki warna, dialiri buliran dingin sebesar biji jagung yang membasahi seluruh tubuhnya.
Naina menempelkan kedua tangan di depan wajah, memohon sebisanya. “Aku mohon, Tuan. Beri aku kesempatan untuk membuktikan bahwa aku layak untuk tinggal di sini. A-aku bisa melakukan semua pekerjaan rumah... Dan aku bisa memasak. Aku berjanji akan melakukan yang terbaik dan berusaha untuk tidak mengecewakan.”
Tuan Minos menyunggingkan senyum. Perlahan kepalanya menoleh, beradu tatap dengan manik hitam legam milik gadis itu yang sudah berkaca-kaca. “Sayangnya bukan untuk itu aku menjadikan para wanita sebagai istriku.”
Tenggorokannya yang kering dan tercekat berusaha menelan ludah, jantung di dalam sana semakin bertalu tak karuan saat Tuan Minos mulai berderap mendekat. Pria bertubuh jangkung dengan kepala yang terbungkus tudung tampak jauh lebih mengerikan ketika dipandang dari dekat, dan Naina spontan menundukkan kepala.
Tersisa tiga langkah sebelum Tuan Minos benar-benar menyentuh tubuh gadis di depannya.
“Angkat kepalamu. Tatap aku dengan benar.”
Patuh dengan perintah, Naina melakukannya tanpa banyak bertanya apalagi membantah. Sedikit mulai terbiasa menatap wajah hancur dari pria itu.
“Kau bilang bisa melakukan apa saja, bukan?”
Naina mengangguk patah-patah, agak ragu. Pikirannya melambung ke mana-mana, takut disuruh melakukan hal gila dan tak masuk akal.
“Kalau begitu pergilah malam ini juga ke lereng perbukitan di utara. Cari bunga mawar biru yang hanya muncul setiap kali bulan purnama bersinar. Aku tunggu sampai besok pagi, dapat tidak dapat kamu harus kembali ke sini.”
Tuan Minos melanjutkan ucapan seraya memiringkan kepala, tersenyum meremehkan, “Terkecuali memang kau sudah mati di sana.”
Si gagak menyambar ucapan, “Hati-hati, banyak dari wanita yang ditugaskan mencari mawar biru tapi tidak pernah kembali. Jikapun kembali, keadaan tubuh mereka tidak lagi utuh. Itupun mawar biru yang dipinta tak bisa mereka dapatkan.”
Lagi, Naina meneguk ludah dengan tatapan kosong. Pikirannya sudah menerawang jauh perjalanan macam apa yang akan dirinya lalui untuk bisa mendapatkan bunga mawar biru hanya dalam satu malam.
“Bagaimana? Jika tidak bisa, kau—”
“Bisa!” Naina menyela ucapan Tuan Minos secepat kilat. “Aku bisa, Tuan.” Kali ini intonasinya lebih rendah, stabil. Matanya menguarkan gurat gelisah, sedikit menyesali ucapannya.
Naina bagaikan berada di jembatan simalakama. Hendak maju salah, mundur sudah mentok. Pilihan yang diajukan tidak ada yang menguntungkan, pada akhirnya dirinya akan tetap mati malam ini di tangan pria itu ataupun nanti saat perjalanan mencari mawar biru.
Dan Naina berpikir lebih baik mati saat dalam perjalanan, karena setidaknya saat ajal menjemput nanti bukan wajah mengerikan dan tatapan kekejaman itu yang dilihatnya. Meski sebenarnya Naina tidak tahu dalam perjalanan nanti hal macam apa yang mengancam nyawanya.
“Baiklah. Aku akan melihat apakah kau bisa membuktikan ucapanmu dengan membawa mawar biru tersebut atau tidak. Tapi sebelumnya, biarkan aku...” Tuan Minos menjeda ucapan sembari melangkah maju, kian mengikis jarak yang tersisa antara dirinya dengan gadis itu.
Naina yang sudah mepet pada tembok, tidak bisa berkutik sama sekali. Seiring langkah Tuan Minos mendekat, kepalanya menanggah, menatap wajah bak monster yang menyeramkan itu dengan pupil yang semakin melebar.
Saat tangan milik pria itu terulur ke depan, Naina langsung memejamkan mata. Aroma tidak sedap terus mengepul seiring tubuh Tuan Minos bergerak, membuat Naina harus menahan napas beberapa detik. Perutnya pun mulai mual.
“Sssh!” Naina meringis, matanya lebih kuat dipejamkan saat merasakan kulit kepalanya terasa ditarik. Yakin rambutnya dicabut oleh pria itu.
“Dapat.” Tuan Minos tersenyum penuh maksud, kaki panjangnya bergerak mundur. Memberi ruang bagi udara untuk menepis aroma yang menguar dari tubuhnya.
Ketika matanya sudah terbuka kembali, Naina melihat bola bersinar mengambang di telapak tangan pria tersebut. Sinarnya sedikit memberi penerangan, menghempas remang dalam ruangan pengap ini. Makin jelas menunjukkan rupa pria itu yang menyeramkan.
“Ini adalah bola sihirku.” Tuan Minos meniup pelan, menghembuskan napas tipis pada bola itu, membuatnya berputar. Lalu beberapa helai rambut milik Naina dimasukan ke dalam sana.
Tersedot, memanjang, perlahan menggumpal dan menyatu sempurna hingga tak terlihat lagi helai rambut panjang yang mengelilingi bola bersinar itu.
“Seluruh jejak perjalananmu akan terekam dan aku bisa melihatnya dari bola ini,” papar Tuan Minos memberitahu.
Sedang Naina masih memasang wajah bingung, mencoba mencermati apa yang barusan dilihatnya. Sihir? Ia tidak pernah tahu kalau sihir benar-benar ada di dunia ini. Atau mungkin sihir yang dimaksud ada sangkut pautnya dengan perjanjian iblis yang dilakukan Tuan Minos?
Naina tidak tahu, ia hanya menerka-nerka dan menyambungkan cerita mulut ke mulut yang didengarnya dari orang-orang tentang pria itu.
“Jadi kau tidak akan pernah bisa kabur. Aku bisa menarikmu yang sudah berlari sejauh ratusan atau ribuan kilometer, dan bahkan jika kau berhasil bersembunyi di belahan bumi lain pun aku masih tetap bisa menemukanmu. Ingat? Kita sudah terhubung. Dan sebelum nyawa terlepas dari ragamu, kau tidak akan bisa pergi ke mana-mana.”
Tuan Minos tersenyum lebar, lidah panjangnya yang bercabang bagai ular keluar melewati celah di giginya yang berlumuran darah.
Naina menatap jerih dalam ekspresi datarnya, hatinya menjerit-jerit. Ia mengira iblis itu adalah Tuan Minos sendiri. Sebab dilihat dari segi manapun, pria itu jauh dari ciri-ciri manusia normal.
“Tora! Antarkan dia sampai ke gerbang depan. Berikan dia arahan dan beberapa bekal untuk di perjalanan nanti,” titahnya pada sang gagak yang menyimak di pojok ruangan sejak tadi.
“Baik, Tuanku!” Gagak langsung mengepak sayap, terbang melintasi pintu yang tertutup. Badannya sekilas nampak transparan.
“Ikuti dia!” Pandangan Tuan Minos menyorot Naina yang masih kaku di tempat.
Tanpa babibu, Naina membalikkan tubuhnya dan langsung melesat keluar ruangan. Tubuhnya yang masih diselimuti kengerian berpacu dengan waktu, melintasi ruangan-ruangan gelap yang hanya diterangi secercah cahaya dari rembulan melalui celah-celah langit kastil yang berlubang.
Sambil menonton kejadian dari bola sihir yang masih mengambang di telapak tangan, Tuan Minos menghempas tubuhnya pada kursi tua di depan perapian. Bibirnya berkali-kali menyungging, menyaksikan gerak-gerik dari gadis berambut panjang yang acap kali nyaris tersungkur karena terserimpet gaunnya sendiri.
“Aku akui dia begitu gigih. Tapi aku berani bertaruh demi sang purnama yang terus merekah indah, aku yakin gadis itu tidak beda jauh dengan para wanita-wanita sebelumnya,” gumam Tuan Minos, manik ungu terangnya masih setia mengamati pergerakan Naina yang sudah keluar dari gerbang kastil.
Suara gagak menyambar dari luar, perlahan menerobos masuk ke dalam ruangan. Hinggap di atas bahu Tuan Minos, ikut menonton kejadian yang tergambar dalam bola sihir.
“Tapi dari semua wanita yang pernah datang ke sini, hanya dia yang paling muda. Setidaknya untuk saat ini, itu yang membedakannya dari yang lain.” Gagak berseru memberitahu.
Tuan Minos mengangguk setuju. “Ya, kau benar, Tora. Apa sekarang aku terlihat putus asa? Aku seperti sudah menjamah para perempuan di segala umur.” Tawaan tipis muncul di sudut bibirnya yang robek.
Gagak itu menggelengkan kepala. “Tidak, Tuan. Menurut para buku yang diwariskan secara turun temurun pada seluruh generasi di muka bumi ini, untuk membuat cinta tumbuh bukan karena umur.”
Hembusan napas gusar dikeluarkan Tuan Minos, bingkai matanya membungkus sendu. “Bukan hanya tentang umur yang menjadi pokok permasalahan yang sedang aku alami. Memangnya ada perempuan yang mau menerima lelaki buruk rupa sepertiku ini?” Mengeluh, suram di wajahnya menonjolkan tatapan hampa.
Dan sang gagak melanjutkan ucapan, “Juga cinta bisa hadir tanpa alasan. Untuk jatuh cinta, dicintai dan mencintai bagi sebagian orang tak butuh alasan apapun. Mereka cinta karena mereka ingin. Dan rupa bukan menjadi alasan utama bagi seseorang yang sudah jatuh cinta. Bahkan atas dasar cinta, seseorang bisa menerima apapun kekurangan seseorang yang dicintainya.”
Tuan Minos terdiam cukup lama. Hilang kefokusan karena pikirannya terbagi pada yang lain, hingga bola sihir di tangannya perlahan hilang seiring dengan sinarnya yang meredup, sempurna meninggalkan temaram dalam ruangan.
Mulut lebar yang penuh dengan borok dan nanah tersebut perlahan menggumamkan sesuatu, “Sudah sejauh dan selama ini. Apa aku masih boleh berharap pada harapan semu?”
***