Anson adalah putra tunggal dari pemilik rumah sakit tempat Aerin bekerja. Mereka bertemu kembali setelah tiga belas tahun. Namun Anson masih membenci Aerin karena dendam masa lalu.
Tapi... Akankah hati lelaki itu tersentuh ketika mengetahui Aerin tidak bahagia? Dan kenapa hatinya ikut terluka saat tanpa sengaja melihat Aerin menangis diam-diam di atap rumah sakit?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mae_jer, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18
Sebenarnya Aerin tidak berniat masuk, namun suara Anson dari dalam ruangan yang menyuruhnya masuk membuat langkahnya terhenti. Mau tak mau ia pun masuk.
Hampir sepuluh menit Aerin duduk di depan meja kerja Anson tapi pria itu belum buka suara sama sekali. Laki-laki ini kenapa lagi sih? Apa alasannya memanggil coba?
"Jadi, kau ada perlu apa? Kenapa memanggilku?" Aerin yang tidak tahan lagi, akhirnya bertanya. Anson menatapnya.
"Aku tidak tahu Kyle sudah meninggal," gumamnya pelan.
Nafas Aerin tercekat tapi ia berusaha biasa saja. Gadis itu tersenyum di depan Anson, ingin terlihat kuat.
"Ya, dia sudah meninggal tujuh tahun lalu karena kecelakaan." kata Aerin.
"Sudah tujuh tahun?"
"Mm," Aerin mengangguk terlihat biasa saja. Meski begitu, Anson tahu Aerin sedang menutupi perasaannya. Mata gadis itu terlihat sedih walaupun ia tetap berusaha tersenyum di depan Anson. Untuk pertama kalinya Anson merasa ingin memeluk gadis itu.
Mungkin ini terdengar gila, tapi Anson sangat ingin menghibur Aerin. Dalam hati ia berpikir bahwa dirinya hanya merasa simpati pada gadis itu, tidak ada perasaan yang lain. Wajar kalau dia merasa simpati pada adik sahabat dekatnya.
"Masih ada yang mau kau tanyakan lagi?" tanya Aerin. Anson menatapnya cukup lama, kemudian menggeleng. Sepertinya Aerin memang tidak mau membahas tentang Kyle jadi Anson mencoba untuk menghargai gadis itu. Ia akan bertanya kalau gadis itu sudah siap cerita nanti.
"Kalau begitu aku boleh keluar kan?" Anson menganggukan kepala.
Tak butuh waktu lama bagi Aerin menghilang dari hadapan pria itu.
Anson masih terus menatap kedepan meski gadis di depannya tadi sudah tidak ada. Ia tadi melihat Aerin masuk ke bilik ganti lalu keluar lagi tanpa jas dokternya, mengambil tas di atas meja dan keluar dari ruangan itu.
Anson menghela nafas, ia merasa bingung dengan apa yang dia pikirkan sekarang. Akhir-akhir ini dirinya dibuat penasaran dengan sisi baru Aerin yang begitu misterius.
🌴🌴🌴
Jam menunjukkan pukul tujuh pagi saat Aerin terbangun. Gadis itu merenung sepanjang malam sambil menatap foto Kyle hingga akhirnya ketiduran di meja. Ia segera masuk ke kamar mandi untuk bersiap. Karena ini hari jumat dan dirinya kebagian dapat jadwal kerja bakti di hari jumat, Aerin memilih memakai pakaian kasual.
Selesai bersiap, ia turun dari lantai atas lengkap dengan tas kerjanya. Beberapa pembantu yang dia lewati kini menunduk, tidak berani menatap sinis lagi seperti biasa. Entah apa yang terjadi, tapi mereka terlihat lebih hormat padanya. Ia jadi bingung.
Ketika melewati meja makan, langkahnya terhenti. Ia melirik ke samping, tumben orang tuanya masih di rumah jam segini? Biasanya juga sudah menghilang karena tidak mau melihat wajahnya.
"Aerin, duduk!" suara tegas Mr. Russel, papanya membuat Aerin mengernyitkan mata. Tumben sekali dia di sapa pagi ini.
Mamanya yang biasa dipanggil nyonya Russel oleh orang luar itu hanya menatapnya sekilas dengan wajah datar. Walau merasa canggung, Aerin tetap duduk. Tidak mungkin juga kan dia membantah. Mereka kan orang tuanya.
"Sarapan dulu, setelah itu ada yang mau kami sampaikan." ujar Mr.Russel. Aerin penasaran apa yang ingin dikatakan orang tua itu, ia mengambil sepotong roti bakar di atas meja dan mengisi ke mulut.
"Kami berencana menyatukan perusahaan dengan perusahaan dari keluarga Andara."
Aerin berhenti mengunyah, ia merasa ada sesuatu yang tidak mau ia dengar akan keluar dari mulut papanya.
"Kedua keluarga sudah setuju kau akan bertunangan dengan putra tunggal mereka." sambung Mr.Russel.
Tuhkan benar, Aerin menghentikan kegiatan makannya dan menelan makanan terakhir dalam mulutnya. Ia menatap pasangan suami istri itu dengan berani. Jaman apa ini? Ia tidak mau jodohnya ditentukan oleh orang tua. Apalagi dengan orang yang sama sekali tidak dikenalnya. Lihat saja tidak pernah, apalagi kenal.
"Tidak bisa, aku tidak mau menerima pertunangan ini." tolak Aerin langsung. Meski penolakannya akan membuat papa dan mamanya marah, namun ia tidak peduli. Biar bagaimanapun ia tidak mau mereka mengatur pernikahannya.
"Kau tidak punya alasan untuk menolak Aerin. Sudah bagus ada yang mau bertunangan dengan anak nakal sepertimu." ucap nyonya Russel menohok.
Sampai sekarang wanita tua itu belum melupakan kejadian di SMA dulu. Waktu mereka harus menahan malu karena Aerin yang suka membully teman-temannya sampai mau membakar sekolah. Siapa yang tidak malu coba punya anak senakal itu.
"Pokoknya aku tidak mau bertunangan. Kalau papa dan mama terus memaksaku, lebih baik aku pergi dari rumah. Lagian rumah ini sudah tidak berasa rumah lagi." balas Aerin berani.
"Anak durhaka! Sampai kapan kau akan terus melawan? Dari dulu kau sudah membuat kami malu dengan sikap burukmu itu. Kapan kau berubah? Pokoknya kau harus menerima keputusan ini, titik!" tukas papanya.
"Tidak!" Aerin menolak dengan tegas lalu berdiri, meraih tasnya dan keluar dari rumah itu.
"Aerin!" teriak papanya lagi dengan suara menggelegar tapi Aerin tidak menoleh sedikitpun. Ia benci ketika orangtuanya terus mengungkit masa lalu.
Padahal mereka tidak pernah mau dengar penjelasannya dulu. Kalau mereka mau dengar, ia bisa cerita kalau sebenarnya dirinya tidak sepenuhnya jahat seperti kata orang-orang. Gosip tentangnya hampir semuanya tidak benar. Caranya saja yang membuatnya terlihat jahat.
Namun papa dan mamanya terlalu sibuk, mereka tidak pernah mau mengenal dirinya yang sebenarnya, tidak benar-benar mengenalnya dengan baik. Hanya Kyle yang tahu seperti apa dirinya. Tapi kakaknya itu sudah pergi. Ia tidak punya seseorang lagi untuk dijadikan tempat sandaran dan tempat berkeluh kesah.
Mood-nya sudah buruk. Ia pikir orangtuanya mau memperbaiki hubungan mereka yang kian jauh, tapi salah. Mereka hanya memanfaatkannya sebagai sasaran bisnis. Kalau begini, lebih baik dia tinggal sendiri saja. Daripada harus jadi boneka hidup yang hanya diatur-atur orangtuanya.
"Kau ada masalah? Wajahmu terlihat kesal." tanya Andrea saat melihat Aerin masuk ke ruangan mereka dengan membanting tubuhnya ke kursi.
Aerin menghembuskan nafas panjang. Ia hanya melihat Andrea di ruangan itu.
"Orangtuaku ingin menjodohkan aku," katanya masih dengan wajah kesal.
Aerin langsung terdiam saat pandangannya bertemu dengan Anson yang berdiri tepat diambang pintu masuk ruangan. Aerin merutuk dalam hati. Apa Anson mendengar perkataannya tadi? Ya ampun, kenapa juga sih dia harus bicara kuat.
Aerin berdeham salah tingkah dan cepat-cepat mengalihkan pandangannya dari Anson, pura-pura sibuk dengan lembaran kertas didepannya.
Anson melanjutkan langkahnya masuk keruangannya. Sedang Andrea, gadis itu makin yakin ada sesuatu antara Aerin dan Anson. Entah kenapa ia jadi penasaran dan ingin tahu ada hubungan apa Aerin dan Anson di masa lalu.
"Lalu, kau menerima perjodohan itu?" tanya Andrea.
"Mereka pasti akan memaksaku, karena itu aku harus pindah dari rumah. Kira-kira kau ada rekomendasi apartemen yang bagus dan murah?" tanya Aerin. Ia sudah membulatkan tekad untuk segera pindah.