Demi menghindari kejaran para musuhnya, Azkara nekat bersembunyi di sebuah rumah salah-satu warga. Tanpa terduga hal itu justru membuatnya berakhir sebagai pengantin setelah dituduh berzina dengan seorang wanita yang bahkan tidak pernah dia lihat sebelumnya.
Shanum Qoruta Ayun, gadis malang itu seketika dianggap hina lantaran seorang pemuda asing masuk ke dalam kamarnya dalam keadaan bersimbah darah. Tidak peduli sekuat apapun Shanum membela diri, orang-orang di sana tidak ada satu pun yang mempercayainya.
Mungkinkah pernikahan itu berakhir Samawa sebagaimana doa Shanum yang melangit sejak lama? Atau justru menjadi malapetaka sebagaimana keyakinan Azkara yang sudah terlalu sering patah dan lelah dengan takdirnya?
•••••
"Pergilah, jangan buang-buang waktumu untuk laki-laki pendosa sepertiku, Shanum." - Azka Wilantara
___--
Plagiat dan pencotek jauh-jauh!! Ingat Azab, terutama konten kreator YouTube yang gamodal (Maling naskah, dikasih suara lalu up seolah ini karyanya)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 26 - You're The First
"Lihatnya ke muka aku saja ya," ucap Shanum gugup bukan main, pertanyaan itu sontak membuat Azkara terkekeh pelan.
"Memangnya kenapa? Aku tidak boleh lihat yang lain?"
"Bukannya begitu, tapi aku ingin melihat wajahmu lebih dekat ... at-atau kalau tidak matikan saja lampunya."
Azkara tergelak, dia pikir apa. Sempat ketar-ketir lantaran khawatir permintaan sang istri aneh-aneh, tahunya hanya minta dilihat wajahnya. Sebuah permintaan yang sangat Azkara ketahui apa maksudnya, walau memang tidak dia disebutkan.
"Matikan lampu?" tanya Azka lagi sembari menaikkan alis dan ditanggapi anggukan cepat oleh Shanum lantaran mengira sang suami akan menuruti kemauannya.
Alih-alih menurut, Azkara menarik napas dalam-dalam sebelum kemudian mengembuskannya secara perlahan. "Apa enaknya bercinta dalam kegelapan, Shanum?"
Shanum juga tidak tahu, mau gelap ataupun terang dia belum pernah coba sekalipun. Dia meminta juga karena malu, karena saat ini ditatap Azkara saja dia memerah, lantas bagaimana jika sang suami akan menatapnya lebih lama.
"A-aku tidak tahu, tapi firasatku mengatakan lebih nyaman kalau gelap."
"Firasatmu yang aneh, kalau gelap nanti salah gimana?" cicit Azkara tak mau kalah.
Dia tidur saja bahkan lebih memilih lampu dalam keadaan menyala, apalagi bercinta. Perdebatan tentang lampu itu menjadi penghalang jalan Azkara, sungguh kesal sekali rasanya.
"Aku rasa tidak, pakai insting, Mas," ucap Shanum masih berharap Azkara mau menuruti kemauannya.
Azkara mengusap kasar wajahnya, dia menggigit bibir dan memerhatikan wajah sang istri lekat-lekat. "Kamu tahu? Aku baru pertama kali melakukannya, mana bisa mengandalkan insting, Babe."
"Pertama kali?" tanya Shanum menatap Azkara begitu lekat.
"Ehm, you're the first, Shanum."
[Kamu yang pertama]
Sedikit terkejut, Shanum terdiam mendengar pengakuan Azkara. Dengan tegas dia mengatakan jika baru pertama kali, padahal dari tampangnya tidak demikian.
Dan, siapa sangka pengakuan Azkara membuatnya seketika melemah. Shanum seolah patuh dan rela mengalah. Jika ditanya kenapa dia bersedia menyerahkan diri padahal belum terlalu mengenal pria di sampingnya, jawaban Shanum hanya satu, dia ikhlas menjadi istri seutuhnya.
Sejak mengikrarkan janji suci bersama Azkara, maka dunia Shanum adalah pria itu. Bertahun-tahun merasakan ketidakadilan dunia, sang ayah menikah lagi pasca kematian ibunya, Shanum terpisah bersama saudara kembar sejak remaja yang kini tengah mendekam di penjara.
Tidak punya tempat mengadu, sekalipun abinya sayang, Shanum seolah tak punya hak. Dia sendirian, kuliah bukan hanya sekadar memantaskan diri untuk pria yang akan menjadikanya sebagai istri, tapi sebagai sarana pelarian karena dunia Shanum sekacau itu.
Hatinya sakit, setiap saat bahkan setiap helaan napasnya. Begitu Azkara hadir, tidak bisa dipungkiri Shanum merasa hidupnya seolah lengkap saja. Entah bagaimana kedepan, jelasnya Shanum pasrah dan berharap begitu besar dengan pria yang kini kembali mengecup bibirnya.
Akhir dari perdebatan tersebut terlampau tenang, Azkara yang keras hati dan tidak mau mengalah menjadi pemenangnya. Lampu dibiarkan menyala, Azkara ingin terus menatap rona merah di pipi istrinya.
Tak ubahnya bak pasangan yang telah lama saling merindukan, Azkara terbawa suasana. Pengakuan bahwa dirinya baru pertama kali agak sedikit bertolak belakang, karena secara prakteknya kemampuan Azkara tidak kalah dari pria yang sudah tinggi jam terbang.
Tak butuh waktu lama bagi Azkara untuk membuat Shanum yang sedikit bicara dan terkadang hanya memberikan senyum sebagai tanggapan kini meloloskan suara merdu yang begitu didambakan kaum pria.
Tidak munafik, Azkara sangat menyukainya. Dia pria dewasa yang juga tidak sesuci kelihatannya, perkembangan teknologi juga berimbas negatif untuk otaknya sejak remaja.
Bukan tidak diawasi, mama Mikhayla dan Papa Evan sangat protective sebenarnya. Akan tetapi, Azkara tetaplah anak muda pada umumnya, dia punya cara untuk beraksi menikmati dunia.
Kendati demikian, bukan berarti dia tidak punya batasan. Senakal-nakalnya Azkara, dia tidak pernah mencari kepuasan sampai berbagi keringat bersama seorang wanita, dan itu fakta.
Shanum adalah wanita pertama yang dia jamah, wanita yang dia temukan secara tidak terduga tatkala Azkara tengah berada di titik putus asa sampai tidak lagi percaya tentang cinta, sekalipun itu cinta Sang Pencipta.
Tak heran jika usaha Azkara untuk menembus pertahannya cukup sulit. Berkali-kali Azkara coba, tapi selalu gagal hingga pria itu mengumpat dalam hatinya "Shiit!! Apa yang salah? Kenapa sesulit ini prakteknya? Come on, Azka jangan membuat Shanum semakin berpikir macam-macam!!"
Sejujurnya Azka tak sabar, Shanum yang juga tidak tahu jelas pasrah saja, menyerahkan segalanya pada Azkara. Akan tetapi, walau sudah mulai kesal, Azka masih mecoba dengan begitu lembut. Dia ingin Shanum akan mengingat malam ini sebagai malam yang berkesan, bukan menakutkan.
Sayangnya, walau Azkara sudah berusaha selembut mungkin, Shanum masih merasakan sakitnya. Dia menggigit bibir seraya merem-as seprai sebagai pelampiasan, walau telah dibuai begitu hebat dengan sentuhan lembut sang suami, begitu Azkara hendak melakukan penyatuan tetap saja Shanum merasakan sakitnya.
.
.
"Sakit?" tanya Azkara berhenti sejenak. Melihat Shanum yang susah payah menahan rasa sakit, seketika dia tidak tega.
Tidak peduli sekalipun gelora dalam dirinya sudah terbakar, air mata sang istri tetap menggetarkan hati Azkara yang pada dasarnya begitu penyayang.
"Ti-tidak," jawab Shanum menggeleng sembari menyeka air matanya.
Berbohongnya pandai sekali, Azkara yang menyaksikan sang istri dari atas hanya tersenyum simpul. "Jujur saya, Num, aku tahu ini sakit," tutur Azkara menghela napas panjang.
Di sisi lain dia penasaran, tapi melihat Shanum begitu Azkara juga kasihan. Alhasil, setelah menimbang keputusan, Azkara beranjak untuk melepaskan diri. "Lain kali saj_"
"Jangan, Mas!! Jangan ditunda!!" ucap Shanum cepat sembari menggeleng, bahkan tangannya seketika menarik lengan Azkara.
"Kamunya nangis, aku tidak tega."
"Tidak, lihat ... aku tidak menangis dan tidak akan menangis!! Sungguh, aku siap, jadi lakukan sekarang," ucap Shanum begitu yakin dan memang tidak lagi ada air mata di sana.
Azkara tampak berpikir, lagi-lagi menimbang keputusan dan mengalihkan pandangan. Sejak tadi dia selalu gagal dan terlalu pelan karena terus mellihat adalah wajah Shanum yang tengah kesakitan.
Karena itu, Azkara fokus menatap objek sasarannya. Semakin Azka tatap, jantungnya kian berdegub tak karu-karuan, dalam diam, Azkara menghitung dalam hati.
"Three ... two ... one!!"
"Aaaarrrrghhh!!"
Shanum yang sama sekali tidak meduga jika Azkara tengah mempersiapkan diri dalam diamnya memekik sekuat tenaga hingga jemari kakinya menekuk semua. Azkara berhasil menyatukan tubuh mereka, miliknya bahkan benar-benar tenggelam dan mata pria itu sejenak terpejam.
Sejak tadi ini yang dia inginkan, sebuah kenikmatan yang belum pernah dia rasakan. Azkara belum melakukan apa-apa, masih membiarkan miliknya berkenalan dengan suasana di tempat yang disebut-sebut sebagai gerbang surga dunia itu.
Hanya sesaat, karena setelahnya Azkara kembali membungkuk dan menenangkan sang istri dengan lumattan di bibirnya. Shanum masih terisak, sementara Azkara senyum-senyum tak jelas sembari mengayunkan tubuhnya pelan.
"Katanya tidak akan menangis, tapi buktinya apa?" tanya Azkara menyatukan kening sembari fokus dengan ritme yang dia ciptakan untuk membuat Shanum merasakan nikmat setelah rasa sakit yang dia rasa.
"Kamu tidak pakai aba-aba, Mas, dan ini sakit."
"Oh iya? Aku sudah menghitung, kamu saja yang tidak dengar."
"Hitung? Kapan hitungnya_aaawwh." Sontak Shanum menutup mulutnya, des-ahan itu lolos tanpa sadar yang membuat Azkara semakin yakin untuk melangkah lebih jauh.
"Sudah tidak terlalu sakit, 'kan?" tanya Azkara dengan tatapan penuh damba ke arah sang istri yang dengan polosnya justru menggangguk pelan. "Bagus, aku cepetin boleh ya?"
"Haah?!"
.
.
- To Be Continued -
Azkara : Maaf lama, agak gugup soalnya ... penduduk bumi mana? Masih pada sibuk yaa?
kanebo kering manaaaa
gak boleh num-num