Aldo, seorang mahasiswa pendiam yang sedang berjuang menyelesaikan skripsinya, tiba-tiba terjebak dalam taruhan gila bersama teman-temannya: dalam waktu sebulan, ia harus berhasil mendekati Alia, gadis paling populer di kampus.
Namun, segalanya berubah ketika Alia tanpa sengaja mendengar tentang taruhan itu. Merasa tertantang, Alia mendekati Aldo dan menawarkan kesempatan untuk membuktikan keseriusannya. Melalui proyek sosial kampus yang mereka kerjakan bersama, hubungan mereka perlahan tumbuh, meski ada tekanan dari skripsi yang semakin mendekati tenggat waktu.
Ketika hubungan mereka mulai mendalam, rahasia tentang taruhan terbongkar, membuat Alia merasa dikhianati. Hati Aldo hancur, dan di tengah kesibukan skripsi, ia harus berjuang keras untuk mendapatkan kembali kepercayaan Alia. Dengan perjuangan, permintaan maaf, dan tindakan besar di hari presentasi skripsi Alia, Aldo berusaha membuktikan bahwa perasaannya jauh lebih besar daripada sekadar taruhan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon orionesia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bayangan yang Terlupakan
Keesokan harinya, Alia terbangun dengan perasaan cemas yang masih melekat. Ia mengingat kembali kejadian semalam, setiap kata, tatapan, dan ancaman dari pria misterius itu. Alia tidak bisa mengabaikannya begitu saja. Ia merasa bahwa mereka harus bertindak cepat sebelum situasinya semakin parah.
Pagi itu, Alia dan Ardi bertemu di kampus, duduk di salah satu sudut taman yang sepi. Ardi tampak berpikir keras, sementara Alia sesekali memandanginya, berharap ia akan berbicara lebih banyak tentang masa lalunya.
"Alia," Ardi akhirnya membuka suara, "aku sudah memikirkan apa yang kamu katakan semalam. Kamu benar, kita perlu tahu lebih banyak tentang dia. Tapi aku merasa, sebagian ingatanku tentangnya seperti... hilang."
Alia mengerutkan kening. "Maksudmu? Bagaimana bisa hilang?"
"Aku tidak tahu. Seakan-akan ada bagian dari hidupku yang sengaja terhapus. Tapi aku ingat satu hal," Ardi menatap Alia serius. "Dia pernah bilang bahwa hidup ini adalah permainan yang harus dimenangkan. Dan siapa pun yang menghalangi jalannya akan disingkirkan."
Alia terdiam, menyadari bahwa pria itu mungkin jauh lebih berbahaya daripada yang ia kira.
"Ardi, aku merasa kita harus mencari orang yang pernah mengenalmu dan pria itu di masa lalu. Mungkin mereka bisa membantu kita," usul Alia dengan nada tegas.
Ardi mengangguk pelan, lalu berkata, "Aku pernah punya teman lama, namanya Rio. Dulu kami berteman dekat, tapi kami lama tak saling berhubungan. Mungkin dia masih ingat tentang pria itu."
"Kalau begitu, ayo kita cari dia," kata Alia dengan tekad.
Tak lama kemudian, mereka berdua mencari informasi tentang keberadaan Rio di media sosial. Setelah beberapa kali percobaan, akhirnya mereka menemukan akun yang tampak seperti milik Rio. Alia mengirim pesan singkat, berharap mendapat balasan segera.
Beberapa jam kemudian, pesan dari Rio masuk. "Ardi? Lama tak bertemu. Ada apa?"
Ardi merasa lega, lalu membalas, "Rio, ada yang ingin aku bicarakan. Ini penting. Bisa kita bertemu?"
Rio merespons dengan cepat, "Tentu. Datanglah ke kafe tempat kita biasa nongkrong dulu. Aku di sini."
Ardi menatap Alia, wajahnya menunjukkan campuran antara kelegaan dan kegelisahan. "Dia mau bertemu kita di kafe."
Alia tersenyum tipis, menepuk pundak Ardi. "Tenang saja. Kita akan mencari tahu semuanya."
Ketika mereka tiba di kafe, Rio sudah menunggu di meja paling pojok. Ia menyambut Ardi dengan hangat, tapi raut wajahnya segera berubah ketika melihat ekspresi tegang Ardi dan Alia.
"Ardi, apa yang terjadi? Kamu kelihatan seperti dikejar sesuatu," Rio bertanya dengan nada prihatin.
Ardi menarik napas dalam-dalam. "Rio, aku butuh bantuanmu. Kamu ingat seseorang dari masa lalu kita, yang... bisa dibilang, memiliki dendam padaku?"
Rio tampak berpikir sejenak, kemudian wajahnya berubah paham. "Ah, kamu pasti bicara tentang Rian. Iya, aku ingat dia. Dia memang orang yang agak... ekstrem."
Alia yang mendengarkan dengan saksama, akhirnya bertanya, "Apa kamu tahu apa yang membuat dia begitu marah pada Ardi?"
Rio menghela napas panjang. "Rian punya ambisi yang sangat besar, Alia. Dia tidak suka saat ada orang yang lebih unggul darinya, terutama Ardi. Tapi Ardi tidak melakukan kesalahan apa pun. Rian yang terobsesi untuk menang dalam segala hal."
Ardi mengangguk pelan. "Jadi, kamu juga ingat semua kejadian itu?"
Rio mengangguk. "Ya, dan kurasa ada baiknya kamu berhati-hati, Ardi. Sejak dulu, Rian memang bukan orang yang mudah dilupakan. Dia akan terus mengejar apa pun yang dia inginkan."
Alia merasakan kekhawatiran makin dalam. "Apakah menurutmu Rian bisa melakukan hal-hal ekstrem? Maksudku, apakah dia berani menyakiti orang lain demi tujuannya?"
Rio terdiam sejenak sebelum menjawab. "Aku tidak ingin menakutimu, Alia. Tapi, ya. Rian punya sisi gelap yang tidak dimiliki kebanyakan orang. Aku bahkan pernah mendengar kabar bahwa dia memanipulasi orang lain untuk mencapai tujuannya."
Ardi merasa amarah dan ketakutan bercampur. "Aku tidak akan membiarkan dia menyakiti orang yang aku sayangi. Apa pun yang terjadi, aku akan melindungi Alia."
Rio menepuk bahu Ardi, mencoba menenangkannya. "Itu sikap yang benar, Ardi. Tapi kamu juga harus berhati-hati. Rian bukan orang yang mudah ditebak. Dia bisa muncul kapan saja dan di mana saja."
Malam itu, Ardi dan Alia meninggalkan kafe dengan perasaan campur aduk. Mereka tahu bahwa bahaya yang mereka hadapi nyata, dan Rian akan terus menjadi bayangan yang menghantui mereka.
Dalam perjalanan pulang, Alia menggenggam tangan Ardi erat. "Aku tidak akan pergi ke mana pun, Ardi. Apa pun yang terjadi, kita akan hadapi bersama."
Ardi mengangguk, merasa tenang dengan kehadiran Alia di sampingnya. "Aku juga akan selalu ada di sini, Alia. Kita akan melewati ini, bersama."
Namun, jauh di sudut jalan, seseorang memperhatikan mereka dalam diam. Sosok itu mengamati mereka dengan tatapan dingin, senyum samar terlihat di wajahnya.
"Satu langkah lagi," gumam sosok itu perlahan. "Lihat saja, Ardi. Saat kau paling bahagia, aku akan menghancurkanmu."
Malam itu, saat Ardi dan Alia sampai di asrama, suasana terasa lebih sunyi dari biasanya. Keduanya masih terbayang-bayang dengan peringatan Rio tentang Rian, yang kini terasa semakin nyata. Meskipun Ardi berusaha tegar, ada kecemasan yang terus menghantuinya—bagaimana jika Rian benar-benar menepati ancamannya?
Saat mereka berpisah di depan pintu asrama Alia, Ardi memegang bahunya, menatap dalam-dalam ke matanya. “Kamu yakin akan baik-baik saja di sini? Kalau mau, aku bisa tinggal sebentar di sekitar sini, memastikan semuanya aman.”
Alia tersenyum tipis meski rasa khawatir di hatinya tak sepenuhnya hilang. “Aku akan baik-baik saja, Ardi. Lagipula, kita nggak bisa terus-menerus sembunyi. Kalau memang Rian akan melakukan sesuatu, kita harus menghadapinya. Bersama.”
Ardi mengangguk, menguatkan dirinya dengan keyakinan Alia. “Baiklah. Tapi kalau ada apa-apa, jangan ragu untuk menghubungiku, ya?”
Alia mengangguk, dan setelah perpisahan yang singkat namun penuh arti, mereka akhirnya berpisah malam itu. Namun saat Alia melangkah masuk ke kamarnya, ia mendapati sebuah surat terselip di bawah pintu. Ia mengambilnya dengan tangan gemetar, membuka lipatan kertas yang tampak acak-acakan itu.
Tulisan di dalamnya hanya satu kalimat singkat, tetapi cukup untuk membuat darahnya membeku: “Jangan pikir kau bisa sembunyi dariku, Alia.”
Tertegun, Alia memandangi surat itu dengan tatapan tak percaya. Napasnya memburu, dan dalam sekejap ia menyadari—Rian sudah lebih dekat dari yang ia bayangkan.