"Tolong maafkan aku waktu itu. Aku nggak tahu bakal kayak gini jadinya," ucap Haifa dengan suara pelan, takut menghadapi tatapan tajam Nathan. Matanya menunduk, tak sanggup menatap wajah pemuda di depannya.
Nathan bersandar dengan tatapan tajam yang menusuk. "Kenapa lo besoknya nggak jenguk gue? Gue sakit, dan lo nggak ada jenguk sama sekali setelah hari itu," ucapnya dingin, membuat Haifa semakin gugup.
Haifa menelan ludah, tangannya meremas ujung pasmina cokelat yang dikenakannya. "Plis maafkan aku... aku waktu itu lagi di luar kota. Aku beneran mau jenguk kamu ke rumah sakit setelah itu, tapi... kamunya udah nggak ada di sana," jawabnya dengan suara gemetar, penuh rasa bersalah.
mau kisah selengkapnya? ayo buruan bacaa!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syah_naz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
villa nya nathan
Perjalanan menuju bandara terasa sunyi, hanya suara mesin mobil yang mengisi ruang. Haifa duduk di kursi roda, ditemani pandangan penuh perhatian dari Abi Hamzah dan Gus Zayn.
Ketika mereka tiba, suasana bandara mendadak berubah.
Tatapan orang-orang tertuju kepada mereka, beberapa bahkan mengangkat ponsel untuk merekam momen itu. Haifa merasa sedikit canggung, tetapi Abi Hamzah menepuk pundaknya lembut, memberikan ketenangan.
Setibanya di Bogor, mereka langsung menuju Villa Starla, sebuah tempat yang dinamai sesuai dengan nama adik Nathan.
"Itu dia villanya, Om," ucap Nathan sambil menunjuk ke arah bangunan megah yang dikelilingi pepohonan rindang.
Abi Hamzah mengangguk. "MasyaAllah, itu villanya? Indah sekali," ucapnya dengan kekaguman.
Mobil berhenti perlahan di depan villa. "Alhamdulillah, Ifa... Kita sudah sampai, Nak," kata Abi Hamzah lembut sambil membantu Haifa turun dari kursi penumpang. Gus Zayn dengan cekatan membuka kursi roda untuk Haifa, memastikan semuanya siap.
"Pelan-pelan, Haifa. Kita tidak perlu terburu-buru," ucap Gus Zayn, nadanya penuh perhatian. Haifa menatapnya sekilas, lalu mengangguk kecil.
"MasyaAllah, villanya indah sekali," puji Ummi Shofiah, kagum dengan arsitektur bangunan yang megah.
Nathan tersenyum mendengar pujian itu. "Hehehe... Iya, Tan. Silakan masuk, Om, Tan. Jangan sungkan," ujarnya sopan.
Di depan villa, seorang pria paruh baya berdiri dengan senyuman hangat. Wajahnya mengingatkan pada masa-masa yang telah lama berlalu.
"Ini Papah saya," ujar Nathan memperkenalkan pria itu.
Abi Hamzah melangkah maju, wajahnya mendadak penuh keharuan. "Daniel?"
Pria itu menatapnya sejenak, kemudian tersenyum lebar. "Hamzah? MasyaAllah, benar ini kamu!" Daniel membuka lengannya, lalu keduanya berpelukan erat seperti dua sahabat yang telah lama terpisah.
"Sudah berapa lama kita tidak bertemu, Daniel?" tanya Abi Hamzah dengan suara bergetar.
"Rasanya seperti seabad, Hamzah," jawab Daniel dengan tawa ringan, tapi matanya tampak berkaca-kaca.
Nathan, yang melihat adegan itu, merasa heran. "Papah kenal dengan Om Hamzah?"
Daniel tersenyum bangga. "Tentu saja, Nak. Hamzah ini sahabat papah waktu kuliah dulu. Lihat sekarang, dia sudah jadi tokoh besar agama. MasyaAllah."
Abi Hamzah menggelengkan kepala sambil tersenyum. "Ah, Daniel, kamu terlalu berlebihan. Kamu juga hebat. Bisnismu sukses besar, villa ada di mana-mana, bahkan sampai ke Bogor!"
Daniel tertawa kecil. "Kamu selalu tahu cara memuji, Hamzah."
"Masuklah, kita lanjutkan cerita di dalam," ajak Daniel ramah.
Mereka pun masuk ke dalam villa yang mewah. Udara segar dari taman dan interior hangat membuat suasana menjadi nyaman.
Setelah mereka masuk ke dalam villa, suasana menjadi lebih santai. Semua duduk bersama di ruang tamu, menikmati camilan yang telah disiapkan.
Namun, suasana berubah ketika Om Daniel menatap Haifa dan Gus Zayn dengan penasaran.
"Hmm... Ini anak kamu, Hamzah?" tanya Om Daniel, menatap keduanya.
Abi Hamzah tersenyum. "Iya, ini Haifa, anakku. Dan ini Zayn, anakku juga," jawabnya dengan nada bangga.
Om Daniel tertegun sejenak, lalu mengangkat alis. "Ohh, ini Gus Zayn yang terkenal itu, kan?"
Nathan yang sedang duduk di dekat mereka hanya mendengus. "Biasa aja kali, Pah," gumamnya, tidak suka mendengar Gus Zayn dipuji-puji.
Om Daniel mengabaikan Nathan. "Tapi benar, kan? Ini Gus Zayn?" tanyanya lagi, masih tak percaya.
Gus Zayn tersenyum tipis, lalu menjawab sopan, "Iya, Om. Saya Zayn." Ia melirik Nathan dengan ekspresi seperti pemenang.
"Mereka berdua tunangan ya?" celetuk Om Daniel tiba-tiba, membuat suasana mendadak hening.
Nathan yang sedang meminum air langsung tersedak. "Hati-hati, Nath," kata Gus Zayn refleks, mencoba membantu.
Namun, Nathan menepis tangan Gus Zayn dengan cepat. "Gue bisa sendiri," ujarnya ketus, membuat suasana semakin tegang.
"Kebiasaan deh, Nathan," tegur Om Daniel dengan nada kesal.
Nathan hanya menatap ayahnya tajam, tidak berkata apa-apa, tetapi jelas menunjukkan ketidaksukaannya.
Abi Hamzah merasa suasana mulai tidak nyaman, lalu mencoba meredakan. "Hmm... Jadi, mereka itu nggak tunangan ya," ucapnya sambil tertawa kecil.
Namun, tiba-tiba, ia terlanjur mengucapkan sesuatu yang membuat semua orang terkejut. "Mereka itu saudara... saudara sepersusuan," ucapnya tanpa sengaja, lalu segera menutup mulut, menyadari kesalahannya.
"Apa?!" seru Nathan, matanya membelalak. "Maksud Om, Haifa dan Gus Zayn itu saudara?!" tanyanya dengan nada tak percaya.
Abi Hamzah menghela napas panjang, menyesal telah keceplosan. "Astagfirullah... Maaf, tadi itu..." Ia terlihat bingung mencari cara untuk menjelaskan.
"Ummi, sebaiknya bawa Haifa istirahat dulu, ya. Zayn, antar dia," ucap Abi Hamzah cepat, berusaha menghindari pembahasan lebih lanjut.
Haifa menatap ayahnya, bingung dengan apa yang baru saja ia dengar. "Tapi, Abi..."
"Haifa... Ifa istirahat dulu ya," ucap Gus Zayn lembut, sambil mulai mendorong kursi roda Haifa menuju kamar. Ummi Shofiah berjalan di belakang mereka, berusaha menenangkan suasana.
Di ruang tamu, Nathan masih terpaku, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. "Saudara? Serius ini?" gumamnya pelan, tetapi penuh kebingungan.
Abi Hamzah hanya menunduk, tidak mampu berkata apa-apa. Sementara itu, Om Daniel terdiam, terlihat ikut terkejut dengan kenyataan yang terungkap.
Suasana di villa yang tadinya santai kini berubah menjadi penuh tanda tanya.
Setelah Haifa masuk ke kamar, Abi Hamzah duduk dengan tenang sambil menghela napas panjang. Ia tahu harus segera memberikan penjelasan agar tidak ada kesalahpahaman.
"Hmmm... Iya," ucapnya, membuka percakapan, "Zayn itu saudara sepersusuan Haifa. Itu sebabnya dia sering ada di rumah, dan Haifa juga biasanya ke pondok pesantren ayahnya Zayn."
Om Daniel mengangguk perlahan, mencoba memahami penjelasan itu. "Jadi, Hamzah, Haifa dan Zayn itu benar-benar saudara, ya? Seperti saudara kandung?"
Abi Hamzah mengangguk mantap. "Iya, Daniel. Hubungan mereka sama seperti saudara kandung. Karena itu, mereka tidak boleh menikah. Haram hukumnya jika mereka sampai menikah," tegasnya.
Nathan yang sedari tadi mendengarkan langsung menyela, nada suaranya sedikit terdengar lebih ringan. "Berarti bener, kan, Om? Mereka nggak boleh nikah?"
Abi Hamzah tersenyum tipis melihat reaksi Nathan. "Iya, Nak. Hukumnya haram bagi mereka untuk menikah. Sama sekali tidak boleh."
Mendengar jawaban itu, ada kilatan rasa bahagia di mata Nathan, meskipun ia mencoba menutupi dengan bersikap biasa.
Ia menyandarkan tubuh ke sofa dengan ekspresi sedikit lebih santai, menikmati kenyataan itu dalam diam.
Setelah beberapa menit berbincang santai, Om Daniel berdiri. "Ya sudah, aku permisi dulu ya, Hamzah," katanya, menyampaikan pamit dengan ramah.
Abi Hamzah ikut berdiri, menjabat tangan sahabatnya itu. "Iya, Daniel. Terima kasih atas semuanya. Terima kasih juga untuk villa yang indah ini," ujarnya dengan tulus.
Om Daniel terkekeh kecil, melambaikan tangannya. "Wahahaha, santai aja, Hamzah. Kamu ini tamu terhormat, nggak perlu sungkan. Lagian, kapan lagi aku bisa menjamu seorang tokoh besar seperti kamu?" candanya dengan hangat.
"Ayo, istirahat saja. Nikmati waktu kalian di sini."
Abi Hamzah tersenyum. "Makasih, Daniel. Semoga Allah membalas kebaikanmu."
"Aamiin," balas Om Daniel dengan mantap. Kemudian, ia menoleh ke Nathan, nadanya mendadak lebih tegas. "Ayo, Nathan, ikut Papah."
Nathan terdiam sejenak, tetapi akhirnya mengangguk pelan. "Iya, Pah," ucapnya, mengikuti langkah ayahnya keluar dari ruang tamu.
Suasana kembali hening setelah kepergian mereka. Abi Hamzah duduk kembali, mencoba merenungi apa yang baru saja terjadi. Di benaknya, ia hanya berharap segalanya tetap terkendali, tanpa ada konflik yang berlanjut.