Nafisa, gadis istimewa yang terlahir dari seorang ibu yang memiliki kemampuan istimewa. Tumbuh menjadi gadis suram karena kemampuan aneh yang dimiliki.
Melihat tanda kematian lewat pantulan cermin, membuatnya enggan bercermin seumur hidupnya. Suatu ketika ia terpaksa harus berdamai dengan keadaannya sendiri, perlahan ia mulai berubah. Dengan bantuan sang sahabat, ia menolong orang-orang yang memiliki tanda kematian itu sendiri.
Simak kisah menarik Nafisa, kisah persahabatan dan cinta, juga perjuangan seorang gadis menerima takdirnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ERiyy Alma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cermin 12
Sorak sorai siswa siswi kelas XII menggema di koridor kelas, bertepuk tangan bahagia menyambut kedatangan sang juara, pemenang lomba beladiri antar sekolah, Arjuna Fatih. Dengan senyumnya yang menawan Arjuna meladeni setiap siswi yang datang mengucapkan selamat memberinya hadiah atau sekedar meminta foto bersama.
“Udah kayak artis aja Bro,” celetuk Pandu di sela-sela kegiatannya merekam momen bersejarah itu, Haikal di sisinya tertawa lebar menyambut kebahagiaan kelas mereka.
“Traktir kami nanti, Hyung,” sahutnya kemudian. Arjuna hanya tersenyum menanggapi ucapan mereka, di antara banyaknya siswa dan siswi dari kelas berbeda ia mencari sosok Fisa, tapi tak menemukan gadis itu di manapun. Ia ingat pernah meminta Fisa menyambut kedatangannya, tapi nyatanya gadis itu tak muncul kali ini.
“Arjuna, selamat ya,” ucap seseorang tepat di sisi kiri Arjuna berdiri, ia berbalik dan mendapatkan Alena di sana. Gadis cantik itu membawa bingkisan dengan sampul merah jambu di tangannya, sedangkan senyum manis menghiasi bibirnya bersama sorot mata penuh binar kekaguman. “Aku tahu kamu pasti akan menang,” imbuhnya.
“Terimakasih,” jawab Arjuna singkat, berbalik badan hendak mencari Fisa.
“Arjuna, tunggu…”
Arjuna diam di tempat, entah kenapa rasanya sangat malas berbincang dengan gadis satu ini. Hanya saja tak mungkin ia bersikap kejam pada seorang gadis apalagi mereka teman sekelas. Terpaksa Arjuna menghentikan langkah kembali berbalik menatap Alena di belakangnya.
“Ada apa? cepat katakan, aku harus segera pergi.”
Alena menatap hadiah di tangannya, mengulurkan tangan tepat di hadapan lelaki itu. “Terimalah, ini hadiah dariku,” katanya dengan senyuman mengembang. Arjuna menerima pemberian Alena, mengucapkan terimakasih dan berlalu pergi. Sebelum keluar kelas, ia sempatkan memberikan hadiah itu pada Haikal dan Pandu, ia bergegas pergi ke kelas Fisa sebelum jam istirahat berakhir.
Ditengah perjalanan ia berjumpa sekelompok kecil siswi yang sedang membicarakan Hana, salah satu dari mereka kebetulan menjadi saksi penyekapan Hana yang dilakukan oleh ketiga temannya.
“Mereka sangat kejam, ih amit-amit aku punya teman seperti mereka. Setelah mengunci Hana di toilet sekarang malah merayakan kemenangan kelasnya, aku yakin seisi kelas nggak akan menyadari jika anggota kelasnya berkurang satu, malang sekali nasib Hana, padahal dia pintar kan? juara kelas, cantik juga. Tapi semua itu nggak menjamin, tetep aja kalah sama yang berkuasa dan berduit.”
“Siapa maksudnya?” tanya teman lainnya.
“Siapa lagi, ya jelas Alena lah. Putri sang donatur kesayangan para guru, padahal badungnya minta ampun. Tapi untungnya, ada anak kelas satu yang menemani dia di uks.”
“Siapa?”
“Entahlah.”
Arjuna sepertinya mengerti siapa yang sedang mereka bicarakan, lelaki itu bergegas pergi ke uks menemui teman-temannya. Berlari cepat tak menghiraukan beberapa siswi yang menyapanya di jalan, Arjuna hanya ingin cepat sampai dan berjumpa Fisa.
BRAK…
Tergesa membuka pintu uks, tiga gadis di dalam serentak menoleh padanya. “Kalian! kalian tidak apa-apa?” Arjuna menyongsong keberadaan Nafisa yang duduk di salah satu kursi.
“Arjun, kamu sudah pulang?” tanya Fisa berdiri menatap Arjuna, sorot matanya memancarkan kekhawatiran mendalam, ia juga meneliti setiap jengkal tubuh sang sahabat dari ujung rambut sampai kaki, memastikan tak ada sedikitpun goresan di sana. “Alhamdulillah kamu selamat, lega sekali rasanya,” tandasnya.
Arjuna tersenyum senang, menunjukkan medali kemenangan yang masih tersampir di leher, tiga gadis di depannya tersenyum bahagia. Bahkan Fisa tak sadar melompat-lompat dan memeluk Arjuna, Nuria menarik-narik temannya itu.
“Fisa, hentikan,” bisiknya lirih, Hana hanya tersenyum menyaksikan mereka berdua.
Fisa melepas pelukan, menggaruk tengkuk yang tak gatal, sedikit salah tingkah sebab tatapan Hana pada mereka seolah mengatakan hal lain, ia khawatir gadis itu salah paham akan hubungannya dengan Arjuna.
“Hahaha, kami hanya teman,” kata Fisa.
Arjuna baru sadar ada yang berbeda dari Fisa, setelah diperhatikan lagi gadis itu sepertinya sedikit merias wajah, tipis tapi cantik. Membuat wajahnya terlihat lebih segar, apalagi rambut Fisa tak lagi berantakan dan lepek seperti biasanya.
Diam-diam Arjuna tersenyum memandang gadis itu, sampai-sampai ia lupa bertanya akan keadaan Hana.
***
Desir angin berhembus dari celah-celah jendela, membawa beberapa rintik hujan di luar sana. Dua gadis duduk di dalam sebuah kelas bersama tiga lelaki, mereka adalah Fisa, Nuria, Arjuna, Pandu dan Haikal. Mereka berkumpul sepulang sekolah untuk membahas masalah Hana, atas saran Arjuna mereka mengajak Pandu dan Haikal masuk dalam kelompok.
“Dengarkan, Hana tak punya banyak waktu jadi kita harus bergerak cepat,” ungkap Arjuna berperan sebagai ketua.
“Memangnya kenapa Hyung? Hana mau pergi ke mana? mau pindah doi?”
Arjuna menatap Fisa dan Nuria bergantian, meski mereka sepakat meminta bantuan dua lelaki itu bukan berarti akan membocorkan perihal kemampuan Fisa, mereka akan mencari alasan yang tepat untuk ini.
“Ya, anggap saja begitu. Intinya waktunya tidak banyak, kalian mengerti?”
Pandu dan Haikal mengangguk, tak ingin banyak tanya lagi meski di hati keduanya sudah sangat penasaran. “Lantas, tugas kita apa Arjun?” tanya Pandu.
“Kamu punya kendaraan kan di rumah? nanti malam pergilah ke kota Z, ini alamat yang harus kalian datangi, alamat Nando kekasih Hana.” Arjuna menyerahkan sebuah kertas berisikan alamat Nando yang didapatkan dari rekan sesama ahli beladiri di sekolah lama Nando.
“Terus, apa yang harus kita lakukan di sana?” tanya Pandu lagi.
“Kalian hanya perlu menelepon Fisa setelah berjumpa Nando nanti, jam berapapun itu telepon saja dia. Mengerti?”
Pandu masih tak paham kenapa ia harus berbuat demikian, tapi selama berteman dengan Arjuna tindakan lelaki itu selalu tepat sasaran, tak pernah sekalipun melakukan sesuatu asal-asalan, itu yang membuatnya memutuskan mempercayainya, tak ingin banyak bertanya lagi.
“Dan kalian berdua, sudah izin orang tua untuk menginap di rumah Hana?”
Fisa dan Nuria serentak mengangguk, beberapa saat lalu mereka sudah telepon orang tua masing-masing, sesuai kesepakatan bersama Hana tadi, mereka berencana menginap di rumah gadis itu.
“Baiklah, kalau begitu kami berangkat dulu. Lebih cepat sampai lebih baik kan? alamat kota tempat tinggal Nando lumayan jauh dari sini,” kata Pandu, berdiri meraih tas dan menyampirkannya di pundak. Haikal melakukan hal sama, keduanya lantas pergi meninggalkan kelas, kebetulan hujan di luar sana sudah mulai reda.
Setelah kepergian dua lelaki itu, Arjuna kembali berdiskusi dengan Fisa dan Nuria. “Kalian yakin video itu hanya ada di flashdisk Alena?”
“Ya Kak, itu kata Hana sendiri,” jawab Nuria bersemangat.
“Menurut Hana, Alena sengaja tidak menyimpan video itu di ponselnya, karena ia juga takut ketahuan orang tuanya. Hana juga bilang orang tua Alena menyeramkan, gadis itu hanya takut pada orang tuanya selama ini.”
Arjuna menghela nafas panjang, disini tugasnya yang paling sulit. Diliriknya Fisa dan Nuria, kedua gadis itu menatap penuh harap padanya. Beberapa saat setelah percakapan dengan Hana tadi, mereka memaksa Arjuna mendekati Alena untuk mendapatkan flashdisk yang selalu disimpan Hana dalam kotak pensilnya.
“Kalian ini yang benar aja, baru tadi aku bersikap kurang menyenangkan pada gadis itu, dan sekarang kalian memintaku mendekatinya,” gumam Arjuna lagi-lagi menghela nafas berat.
“Salah kamu sendiri, orang mah di kasih hadiah tuh seneng, ini malah dikasih ke orang lain,” gerutu Fisa menahan tawa.
Arjuna meliriknya tajam, bukan gadis itu tak mengerti betapa ia risih pada gadis-gadis yang selama ini mengejarnya, Fisa hanya ingin menggoda. Nuria tersenyum menyaksikan mereka berdua, di mata Nuria hubungan Fisa dan Arjuna sangat manis, melebihi pasangan kekasih.
“Ya sudah, kita berangkat sekarang? kami ke rumah Hana dan kamu ke rumah Alena, katakan saja ingin minta maaf sekaligus berterima kasih karena hadiah darinya tadi,” usul Fisa.
“Gimana kalau dia makin salah paham, Naf?”
“Pikirkan belakangan, ayolah Arjun. Kita sudah sepakat bantu Hana di sini, kasihan dia. Waktu yang tersisa sudah tidak banyak, aku tadi lihat tanda itu sudah hampir menyentuh perut.” Fisa menunduk, ada sesak di dalam hati saat mengatakan kalimat ini.
Meski belum lama mengenal Hana, tapi ia tahu Hana gadis baik, cantik dan pintar. Rasanya sayang sekali jika berumur pendek, tapi apa daya manusia hanya bisa berencana, takdirnya sudah ditetapkan yang maha kuasa.
Arjuna mengangguk mengerti, ia mengusap pelan puncak kepala Fisa dan berjanji akan melakukan yang terbaik. “Insya Allah, kupastikan dapat flashdisk itu, jangan khawatir. Temani saja Hana, hibur dia, pastikan dia merasa memiliki teman di hari-hari terakhirnya.”
“Sudahlah Kak, kami tahu apa yang harus kami lakukan, serahkan saja pada kami. Ya kan Fis?” tanya Nuria. Fisa mengangguk mantap, ketiganya berharap rencana ini berjalan lancar dan membuahkan hasil.
...