" Kamu adalah alasan kenapa aku mengubah diriku, Gus. Dan sekarang, kamu malah mau meninggalkan aku sendirian?" ujar Raya, matanya penuh dengan rasa kecewa dan emosi yang sulit disembunyikan.
Gus Bilal menatapnya dengan lembut, tapi tegas. "Raya, hijrah itu bukan soal aku atau orang lain," ucapnya dengan suara dalam. "Jangan hijrah karena ciptaan-Nya, tetapi hijrahlah karena Pencipta-Nya."
Raya terdiam, tetapi air matanya mulai mengalir. "Tapi kamu yang memotivasi aku, Gus. Tanpa kamu..."
"Ingatlah, Raya," Bilal memotong ucapannya dengan lembut, "Jika hijrahmu hanya karena ciptaan-Nya, suatu saat kau akan goyah. Ketika alasan itu lenyap, kau pun bisa kehilangan arah."
Raya mengusap air matanya, berusaha memahami. "Jadi, aku harus kuat... walau tanpa kamu?"
Gus Bilal tersenyum tipis. "Hijrah itu perjalanan pribadi, Raya. Aku hanya perantara. Tapi tujuanmu harus lebih besar dari sekadar manusia. Tujuanmu harus selalu kembali kepada-Nya."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sha whimsy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sahabat?
Duarr!
Suara petasan meletus tak jauh dari tempat Raya berdiri merapihkan bunga pesanan.
"AA.....MONYETTT!" teriaknya, refleks melontarkan kata-kata itu karena kaget.
Suara tawa renyah terdengar di sampingnya. Bilal, yang ternyata menjadi pelaku keisengan tersebut, tersenyum lebar sambil menggelengkan kepala.
"Kalo kaget, gak boleh ucap itu lagi, ya. Kamu harusnya bisa lebih tenang," kata Bilal sambil tersenyum penuh arti.
Raya mendelik kesal ke arah Bilal, masih merasa terkejut sekaligus jengkel. "Sapa suruh ngagetin aku, sih? Itu kan spontan, Kak!" balasnya, tak mau kalah.
Bilal hanya tertawa kecil, menikmati ekspresi kesal yang menurutnya malah membuat Raya terlihat lebih lucu. "Iya, iya, salah saya. Tapi coba deh, mulai kontrol kata-katamu kalau lagi kaget. Biar kebiasa."
Raya mendengus, sambil kembali merapikan bunga yang tadi nyaris jatuh dari tangannya. "Iya, Kak Ustadz. Tapi jangan suka iseng lagi, ya."
Bilal tersenyum tipis. "Deal. Tapi tetap aja, seru lihat kamu kaget begitu."
Raya hanya bisa menghela napas, antara kesal dan malu. Sambil melanjutkan pekerjaannya, ia curi-curi pandang ke arah Bilal yang kini sedang mengamati hasil rangkaian bunganya. Ada sesuatu yang nyaman dalam perhatian Bilal yang sederhana, namun penuh arti. Meski kadang membuatnya geregetan, sosok Bilal selalu berhasil membuat hari-harinya lebih hidup.
"Eh, Kak," panggil Raya tiba-tiba, mencoba mengalihkan pikiran dari keusilan tadi. "Menurut Kak Bilal, bunga ini cocok nggak buat acara ulang tahun?"
Bilal mengamati rangkaian bunga yang dipilih Raya, lalu mengangguk dengan senyum. "Cocok banget. Kamu emang punya selera yang bagus, kok."
Raya merasa hatinya menghangat. "Makasih, Kak. Kalau gitu aku lanjut selesaikan pesanan ini dulu ya."
Bilal mengangguk, lalu melangkah menjauh sambil tersenyum. Meski usil, ia tak bisa mengingkari bahwa melihat Raya tersenyum adalah sesuatu yang selalu ia tunggu-tunggu.
Saat jam istirahat tiba, Raya duduk di sudut taman kecil di samping toko bunga, membuka kotak bekal berisi kue yang disiapkan bundanya. Aroma manisnya membuat ia tersenyum, dan ia pun mulai menikmati gigitan pertama dengan tenang.
Tiba-tiba, suara langkah mendekat. Bilal muncul dan tanpa ragu ikut duduk di dekatnya, meskipun tetap menjaga jarak sopan. "Istirahat juga?" tanyanya sambil tersenyum.
Raya mengangguk, sedikit kaget dengan kehadirannya, tetapi mencoba bersikap biasa. "Iya, Kak. Lagi makan bekal dari rumah," jawabnya dengan senyum kecil.
Karyawan lain yang melihat kejadian itu mulai berbisik-bisik, sebagian dari mereka bahkan tampak iri. Sejak kedekatan Bilal dan Raya mulai terlihat, mereka merasa ada sesuatu yang berbeda di antara keduanya, meski baik Bilal maupun Raya tampak tak peduli dengan pandangan itu.
"Kuenya kelihatan enak, ya," Bilal menambahkan sambil tersenyum, melihat bekal Raya.
"Kalau Kak Bilal mau, bisa coba sedikit," tawar Raya dengan canggung, tak mau dianggap pelit.
Bilal tertawa kecil. "Terima kasih, tapi gak apa-apa, kamu nikmati aja. Kuenya pasti spesial kalau buatan Bunda kamu."
Raya tersenyum, merasa tersentuh dengan perhatian sederhana dari Bilal. Obrolan kecil itu membuat waktu istirahatnya terasa lebih menyenangkan, meski sorotan mata dari rekan-rekannya masih terasa. Bagi Raya, momen ini sudah lebih dari cukup untuk membuat hari-harinya terasa hangat.
"Makasih kak," kata Raya tiba-tiba.
"Buat apa?" tanya Bilal, bingung.
"Aku dulu nggak berhijab, suka umbar aurat, dan sekarang nggak lagi... Itu karena Kakak."
Bilal terdiam sejenak, mencoba memahami perkataan Raya. "Maksudnya, bagaimana?" tanyanya pelan, penasaran.
Raya sedikit menunduk, lalu melanjutkan, "Aku sadar banyak hal setelah melihat Kakak. Cara Kakak menghargai diri sendiri, cara Kakak menjaga prinsip. Itu yang akhirnya bikin aku merasa kalau aku bisa jadi lebih baik."
Bilal terkejut, namun senyum lembut terukir di wajahnya. "Itu... bukan karena saya, Raya. Itu karena kamu sendiri. Kamu yang membuat keputusan itu."
Raya terdiam sejenak, namun ada rasa lega yang mulai tumbuh di dalam hatinya. "Aku cuma nggak tahu harus mulai dari mana. Tapi sekarang aku mulai paham, dan itu karena Kakak."
Bilal tersenyum lagi, kali ini lebih tulus. "Yang penting kamu merasa lebih baik dan nyaman dengan pilihanmu. Itu yang paling penting."
Raya mengangguk pelan, merasa langkahnya semakin mantap dengan setiap kata Bilal.
"Dan ingat, hijrah itu harus karena sang Pencipta, Allah Ta'ala. Jangan sampai karena rasa kagum kepada seseorang," kata Bilal dengan suara lembut, penuh pengertian.
Namun, entah mengapa, kata-kata itu terasa menusuk hati Raya. Ada rasa yang sulit dijelaskan, seolah ia merasa seperti berada di persimpangan antara niatnya yang tulus dan kecenderungan untuk mencari alasan selain karena Allah. Ia terdiam sejenak, mencerna perkataan Bilal yang kini terasa seperti peringatan bagi dirinya sendiri.
"Kenapa?" tanya Bilal, melihat Raya yang tampak terdiam dan seolah berpikir keras.
Raya tersenyum tipis, berusaha menutupi perasaannya. "Enggak apa-apa, Kak. Aku cuma... mikir."
Bilal mengangguk, tidak memaksa. " Kalau niat kita lurus karena Allah, apapun yang datang dalam hidup kita akan jadi lebih ringan."
Raya hanya mengangguk, merasa seolah ada yang masih mengganjal dalam hatinya. Namun, ia tahu, perjalanan ini adalah proses yang harus ia jalani dengan keikhlasan dan pemahaman yang lebih dalam. Raya tak tahu kalau dikemudian hari dia akan menanggung resiko nya.
"Kata Fatimah, kakak itu anti perempuan ya, kecuali Fatimah sama mama kakak. Terus kenapa sekarang bisa sama aku?" tanya Raya, membuka topik yang baru dengan nada penasaran.
Bilal terdiam sejenak, seolah berpikir untuk menjawab dengan hati-hati. "Karena... ya karena kamu sahabatnya adik saya, jadi kamu juga sahabat saya," jawabnya dengan senyum hangat, seolah mencoba memberikan penjelasan yang sederhana.
Namun, di dalam hati Raya, ada rasa yang tak terjawab. Jawaban itu terasa terlalu biasa, terlalu sederhana, dan tidak memenuhi rasa ingin tahunya. Seperti ada yang hilang dalam kata-kata Bilal, sesuatu yang lebih dari sekadar hubungan sahabat.
Meski begitu, Raya mencoba untuk tidak menunjukkan kekecewaannya. Ia tetap tersenyum ceria, meskipun perasaan di dalam hatinya sulit untuk disembunyikan. "Oh, gitu ya," jawabnya dengan nada ringan, walau di dalam hatinya masih ada pertanyaan yang mengganjal.
Ia berusaha menerima penjelasan itu, meski entah mengapa, perasaan kecewa itu masih ada, tersembunyi di balik senyumnya yang ceria.
"Kalo boleh jujur, aku mengagumi kakak dari awal kita ketemu," kata Raya dengan tulus, matanya menatap Bilal yang duduk di sampingnya.
Bilal terkejut mendengar pernyataan itu, namun ekspresinya cepat berubah menjadi tawa ringan. "Hahahaha, kamu bisa aja," jawabnya sambil menggelengkan kepala, seolah tidak terlalu serius menanggapinya.
Raya terdiam sejenak, tidak tahu apakah kata-katanya terdengar terlalu berlebihan atau malah dianggap remeh. Namun, ia merasa lega sudah mengungkapkan perasaan itu, meski dengan cara yang sederhana.
"Apa yang membuat kamu mengagumi saya ?" tanya Bilal, mencoba mengalihkan perhatian, mungkin untuk menghindari suasana canggung yang mulai terbentuk.
Raya tersenyum kecil, "Karena... Kakak itu beda dari yang lain. Ada ketenangan dan keyakinan dalam setiap langkah yang kakak ambil. Itu yang bikin aku kagum."
Bilal terdiam, sedikit terkejut mendengar pujian itu. "Makasih, Raya. Tapi ingat, jangan terlalu mengagumi seseorang hanya karena apa yang kelihatan. Setiap orang punya sisi lain yang belum tentu bisa dilihat dari luar," jawabnya dengan bijak.
"Kakak liat gak langit itu?" tanya Raya sambil menunjuk ke arah langit sore yang mulai berubah warna.
"Iya?" jawab Bilal, mengikuti arah pandang Raya.
"Aku suka langit sore," kata Raya singkat, matanya tetap menatap langit yang memancarkan warna oranye dan ungu yang lembut.
Bilal melihat ke arah langit, lalu kembali menatap Raya dengan senyum kecil. "Langit sore memang indah, ya. Ada ketenangan di sana."
Raya mengangguk, merasa nyaman dengan suasana saat itu. "Iya, ada sesuatu yang bikin hati tenang setiap kali liat langit sore. Rasanya segala hal yang berat jadi terasa ringan."
Bilal diam sejenak, menyadari makna yang lebih dalam dari kata-kata Raya. "Kadang, langit bisa jadi tempat kita berbicara tanpa harus mengucapkan apapun."
Raya tersenyum, merasa ada ikatan tak terucapkan antara mereka yang semakin kuat.
"Jadi... Kakak aku anggap aku sahabat sejauh ini?" tanya Raya pelan, matanya tidak menatap Bilal, merasa canggung dengan pertanyaan itu.
"Iya, sahabat," jawab Bilal hati-hati, menatap Raya dengan serius.
Raya terdiam sejenak, lalu perlahan mengangkat wajahnya dan tersenyum. "Iya, aku juga anggap kakak sahabat," katanya, suaranya lembut, seolah mengkonfirmasi sesuatu yang sudah lama ada di hatinya.
Bilal tersenyum, merasa lega mendengar jawabannya. "Sahabat, ya. Itu berarti banyak."
Mereka saling diam sejenak, menikmati keheningan yang tiba-tiba terasa begitu nyaman.