Ina meninggalkan keluarganya demi bisa bersama Ranu, dengan cinta dan kesabarannya, Ina menemani Ranu meski masalah hidup datang silih berganti.
Setelah mengarungi bahtera selama bertahun-tahun, Ranu yang merasa lelah dengan kondisi ekonomi, memutuskan menyerah melanjutkan rumah tangganya bersama Ina.
Kilau pelangi melambai memanggil, membuat Ranu pun mantap melangkah pergi meninggalkan Ina dan anak mereka.
Dalam kesendirian, Ina mencoba bertahan, terus memikirkan cara untuk bangkit, serta tetap tegar menghadapi kerasnya dunia.
Mampukah Ina?
Adakah masa depan cerah untuknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Mia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
11
“Selamat menikmati!!” Ina tersenyum menyeringai seraya menghapus titik air matanya.
“Hati-hati panas, Yank!”
Suara Ranu yang dulu merdu, entah kenapa kini terdengar menjijikkan di telinga Ina
“Aaa, Mas. Aku suapin Kamu, ya?”
Telinga Ina terasa semakin sakit mendengarnya. Tapi dia masih enggan untuk beranjak. Dia masih menunggu ending dari drama itu.
“Kalau gitu mas juga suapin Kamu, jadi kita makan sama-sama.”
“Hoekkk…” Ina memajukan mulut dan bibirnya dengan seperti orang ingin muntah. Ketika melihat sang suami dan madunya saling mengarahkan sendok ke mulut masing-masing.
“Tiga, dua, satu…!” Di tempatnya mengintai Ina berhitung. Dan….
Hoekkk
Uhukkk.. uhukkk...
Ina tertawa sambil menutup mulutnya ketika reaksi yang dia tunggu terjadi juga.
“Yank, kok asin sekali sih?” Protes Ranu usai memuntahkan mie yang baru saja masuk ke dalam mulutnya. “Gak cuma asin, Yank. Ini sin banget, dan asam juga. Kamu kasih bumbu apa sih?” pria itu refleks marah.
“Ya mana aku tahu, Mas. Kan aku cuma masukin bumbu dari kemasannya saja. Aku gak nambahin bumbu lain kok.” Siska terdengar tidak terima disalahkan.
“Terus sekarang kita makan apa? Aku sudah benar-benar lapar ini.” Ranu terdengar kesal.
“Malah kamu tanya aku. Aku itu baru ya Mas, datang ke rumah ini. Harusnya Kamu bisa nekan istri kamu untuk melayani kita. Aku itu orang jauh. Masa dibiarkan kelaparan?” Siska membanting sendok dan garpu yang dia pegang. Mengenai piring di hadapannya hingga menimbulkan bunyi 'kelontang' yang begitu keras.
Ranu menarik bakul yang masih tersisa sedikit nasi di dalamnya. Dengan bersungut-sungut dia yuang semua nasi yang ada ke atas piring. Apa boleh buat. Daripada lapar, makan nasi tanpa lauk pun jadi. Tapi…
“Hoekkk…” lagi-lagi Ranu memuntahkan apa yang masuk ke mulutnya. “Kok nasinya asin?” pekiknya.
Siska yang tak percaya ikut menyendok sedikit nasi dan menyuapkan ke mulutnya. “Hoekkk” wanita itu juga memuntahkannya kembali.
Keduanya saling pandang dengan satu pemikiran yang sama. Hingga sedetik kemudian…
“Inaaaaaaa….” Suara teriakan Ranu terdengar menggelegar.
Ha ha ha ha ha...
Ina yang sudah berada di kebun di antara tanaman kangkung tertawa terpingkal-pingkal. Dipegangnya perutnya yang terasa kaku.
Beberapa saat yang lalu setelah dirinya dan Andri makan, Ina tahu kalau sebentar lagi pasti suaminya akan mencari makanan juga. Ina sengaja menyimpan lauk yang dia bawa dari rumah Bi Hindun. Lauk itu nantinya akan dia berikan khusus untuk lauk Andri.
Ember yang biasa digunakan untuk menampung air bakal masak, dia buang sebagian isinya hingga tersisa dua gayung saja. Setelah itu Ina memasukkan sebungkus garam dan sebotol cuka ke dalamnya, dia aduk hingga larut kemudian dia tutup.
Nasi yang dia sisakan sedikit pun, telah dia campur dengan garam dan serbuk merica. Ada mie instan di lemari dapur. Pasti itu yang akan dituju oleh Ranu.
Ina sangat hafal. Suaminya memang begitu sejak dulu. Terkadang tengah malam pun bilang lapar dan membuat mie instan. Padahal tidak bekerja apapun. Hanya main game di ponsel saja. Tapi nafsu makannya melebihi pekerja lembur.
Ina menghapus sisa-sisa air di sudut matanya. “Aku tidak akan menangis lagi. Aku tidak akan mengeluarkan airmata secara sia-sia untuk mereka,” tekadnya. “Dan aku juga tidak akan membiarkan diriku ditindas oleh mereka lagi.” sorot mata wanita itu berubah tajam berkilat merah.
"Let's play the game, MADU!!!"
***
“Na, kok kamu gak pergi ke rumah ibu sih?” Ranu kesal karena Ina malah sibuk ngurusin kangkung yang menurutnya gak penting.
Ina yang baru mau masuk ke kamar mandi menghentikan langkahnya. Ditatapnya laki-laki yang berstatus sebagai suami itu dengan pandangan datar.
“Kamu sendiri, dan istri muda kamu, ngapain malah cuma duduk nonton TV di sini. Siska ini menantu kebanggaan ibumu kan. Bukankah seharusnya dia yang sibuk bantu-bantu di sana. Kenapa harus nunggu menantu yang tak berguna ini?”
Ina berbicara sambil bersedekap. Sorot matanya tajam sekaligus datar membuat Ranu menelan ludahnya. Dia seperti bukan sedang berhadapan dengan Ina. Dan anehnya dia tak berani bicara lagi.
Ina berlalu meninggalkannya. Tak penting mendengar yang akan pria itu ucapkan.
*
*
*
“Siskaaaa…!!”
Ina baru saja keluar dari kamar mandi tunggal yang ada di rumah itu. Dia ke dapur dengan tujuan untuk merebus air minum yang tinggal sedikit. Air untuk minum, ina memang merebus sendiri. Bukan membeli air galon.
Melihat penampakan dapur membuat darahnya mendidih. Tadi siang dia sudah membersihkannya sebelum ditinggal ke kebun, dan sekarang sudah berantakan dengan piring-piring, mangkok, gelas kotor, dan bekas pembungkus makanan berserak. Tampaknya tadi Ranu dan istrinya order makanan online.
Hanya ada bungkus kosong, apa Ranu tidak berpikir untuk membelikan juga untuk anaknya? Tapi bukan itu masalahnya. Yang paling membuatnya kesal adalah karena mereka tidak mau membereskan bekasnya.
“Ada apa sih, Na? Teriak-teriak seperti di hutan saja!” Ranu masuk ke dapur di ikuti Siska di belakangnya.
“Suruh istrimu membereskan semua ini atau aku akan menghancurkan rumahmu!” Kecam Ina. Matanya menatap tajam ke arah siska, dengan telunjuk jari mengarah pada meja makan.
“Apaan sih? Ish, ogah.” Siska membalikkan badan sambil mengibaskan rambut pirangnya, hendak berlalu dari tempat itu.
Tapi belum sampai lima langkah dia berjalan,,,,,
“Auwww…”
“Ina!!!” Ranu berteriak melihat apa yang dilakukan oleh Ina pada Siska.
“Mas, sakit..” Siska memegang bagian belakang kepalanya.
“Ina, apa-apaan kamu itu!!* Bentak Ranu yang segera mendekati Siska yang sedang meringis kesakitan. Bukan hanya sakit, tapi wanita itu juga merasa pedih di matanya.
Dia hendak pergi, tapi tiba-tiba mangkok beling berisi sisa kuah bakso bekasnya makan melayang dan tepat mengenai bagian belakang kepalanya.
“Aku sudah mengingatkanmu, tapi kamu tidak peduli.”Ina berkacak pinggang dengan nafas memburu menahan amarah. “Makan ditelan sendiri dan bekasnya kalian tinggalkan. Apa kalian pikir kalian punya babu di sini?” teriak Ina.
“Bersihkan sekarang, atau aku akan menghancurkan semuanya!” seru Ina lagi.
“Kamu itu kenapa sih. Cuma membereskan begitu saja kok pelit amat. Jadi istri itu…”
Pyar…
Satu buah piring jatuh dan pecah terburai di atas lantai ubin menghentikan ucapan Ranu. Pria itu terdiam seketika.
“Kalian mau lihat lagi?” Ina sudah mengangkat piring tinggi-tinggi.
“Tunggu..! Iya, iya. Aku dan Siska akan bereskan.” Ranu mengarahkan tangannya pada Ina. Meminta wanita itu menghentikan niatnya menjatuhkan piring. Tentu saja dia tidak mau perabot rumah itu habis. Lupa, padahal bukan dia juga yang beli.
“Mas, kok aku sih?” Siska protes tidak terima. Apa-apaan ini. Di rumahnya sendiri, semua dikerjakan oleh pembantu. Tapi di sini harus dia sendiri yang bergerak. Dia tidak mau.
“Sudah, Yank. Mas akan bantuin, kok. Ayo. Keburu semua piring dan gelas di rumah ini habis.” Ranu membujuk Siska untuk segera membantunya.
Siska menggerutu seraya memajukan bibirnya. Kepalanya mungkin benjol, wajah dan matanya masih terasa panas dan pedih akibat tumpahan kuah bercampur sambal. Sekarang harus beberes juga.
“Bersihkan seperti semula, dan jangan sampai ada satu biji beling pun tertinggal. Atau aku akan gunakan itu untuk merusak wajah kalian.” kecam Ina.
Tiba-tiba saja Ranu merasa seperti tak mengenali istri tuanya.
Siska berniat mengambil lap di dapur untuk membersihkan meja. Tersenyum licik saat berjalan di belakang Ina. “Lihat saja perempuan udik,” gumamnya sambil jalan berjingkat. Tangannya terulur untuk meraih kepala Ina yang berbungkus hijab instan. “Tiga, dua, satu. Hup!”
“Auwww… sakit, Mas.., tolong Mas!! Auwww”
“Ya Tuhan, Siska. Ina ... Lepaskan!”